Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hening Nugroho

Ibu Kaulah Segalanya Bagiku

Sastra | 2021-11-17 13:59:56
Sumber foto : istock

Langit masih gelap namun datangnya pagi sudah hampir tiba, nasibku harus bangun, tapi lagi-lagi tubuhku tergolek malas. Kedua mataku kuusap, samar-samar kulihat sosok manusia sedang jongkok, kepalanya menunduk, entah siapa, aku bangun.

Aku beranjak, memasang kursi roda, alat transportasiku satu-satunya yang selalu menemaniku. Aku masih ngantuk, Masyaallah, mulutku yang mungil ini menguap, kudengar suara air mengalir, aku cari asal suara itu, bercahaya lampu senthir, aku menggerakkan kursi rodaku. Setiap kali bergerak, aku rasakan sekali tubuhku seperti diayun ke kiri dan ke kanan, maklum landasan rumahku cuma sebatang bambu.

“Ya Allah!“

Aku tersentak, malu pada diriku sendiri, mengelus dada, ingin air mataku ini mengalir tapi tetap kutahan, tubuhnya renta, kulitnya sudah mengeriput, dia menunduk tak kuat tapi tetap dia paksa, membersihkan beras dengan air mengalir untuk dimasak.

“Ibu tidak usah dikerjakan biarkan aku saja!” pintaku

“Tidak usah nak, kamu sholat saja terus mandi biar ibu siapkan sarapan dulu ya,” kata ibuku dengan tulus

Kata-katanya merasuk ke dalam sukmaku, inginku membantu tapi ibuku tetap memaksa, aku menyiram tubuhku, tak lama, setelah itu sholat lalu menyantap sarapan yang sudah dibuat ibu. Perasaanku berkecamuk, setiap suap nasi yang masuk ke mulutku seolah hambar, aku kemudian melihat kedua kakiku yang membatu dan kaku tak bisa bergerak, dokter menganjurkan diriku untuk memakai kursi roda, penyesalan yang tiada akhir, kenapa secepat ini aku menyerah, tidak, aku harus bangkit seperti ibuku.

Kudengar ibuku berjuang mati-matian membiayai pengobatanku hingga seluruh perhiasan pernikahan dengan bapak dijual lantak tak tersisa, tapi nasehat dan dorongan ibuku terus dicerca ke dalam telingaku.

Matahari tak pernah lelah menampakkan sinarnya, panasnya menyengat kulit, aku menggeliat, menatap cermin, rambutku yang terurai panjang dan lurus, kata orang rupaku ini cantik tapi setelah melihat kondisiku saat itu apa yang akan dikatakan kemudian.

Ibuku datang, kudengar suara menggerosak di sekitar kerikil tajam tempatku berteduh, kiranya benar itu langkah kakinya yang rapuh, ibuku jongkok, kepalanya menengadah menghadapku yang sedang tertunduk lesu.

“Nak, makanlah bubur ini!” ibuku yang perhatian, bagiku dialah segala-galanya, kuambil mangkok yang berisi bubur itu, putih pucat seperti cermin itulah aku, lalu kutatap sorot mata ibu yang tampak bergelayut harapan.

“Nak, makanlah!” suruh ibu

“Ibu tidak makan?” kataku

“Sudah!”

Aku tahu ibu berbohong. Aku memakan bubur itu, satu-persatu hingga kutelan, penuh tenggorokanku hingga aku tersedak.

“Uhuk ... uhuk ...“

Ibuku berlari mengambil segelas air putih

“Minumlah nak! jangan buru-buru!” dan kurasa perutku sudah kenyang aku berhenti, kuletakkan piring itu merebah di kedua pahaku.

“Sudah nak dihabiskan makannya?”

“Tidak Bu, perutku sudah kenyang,” ibuku menghela nafas lalu terdiam sesaat.

“Nak, ibu ingin mengatakan sesuatu.”

Kusorot mata ibu yang sedih.

“Apa bu?”

“Ibu ingin bekerja sebagai TKI,” kata ibu dengan lirih

“Kenapa?”

“Kondisi keuangan kita sudah menipis, ibu sudah tidak punya apa-apa,” celaka benar diriku serasa tak berguna sedikitpun, kulepah pandanganku dari tatapannya, sepertinya sisa hidupku makin menyampah.

“Kenapa tidak bekerja disini saja bu?”

“Biaya pengobatan mahal nak, ibu tak sanggup membiayainya.”

Mulutku compang-camping, tak kurasa benar lidahku yang kelu.

“Lalu aku tinggal sama siapa disini bu?”

“Kamu sementara tinggal bersama saudara sepupu ya nak,” kata ibu berharap dan memohon setulus hati. Padahal aku peka, ibu tampak sangat menderita.

Ibu menyahut kedua tanganku dengan erat, dilekatkan di dadanya, kurasakan detak jantungnya, memohon kepadaku untuk melepaskannya. Kepalaku seperti mau pecah, kutahan, aku ingin berontak, tak bisa, gelap, hitam, semua gulita, aku takut, pasrah.

***

Pukul tujuh pagi segalanya berkumpul, sanak saudara, ibu dan aku, tas lengkap koper hitam besar duduk di sofa hitam, pandanganku buram, kuhitung jari-jemariku berulang, entah apa yang aku pikirkan semuanya terasa hitam. Aku serasa tak sadar diriku sendiri ada dimana.

“Ibu hati-hati,“ mulutku terucap, pedih sekali, kedua mataku tak sanggup menahan tangis, ibu memelukku, kurasakan sentuhan kasih sayangnya merasuk ke dalam sukmaku.

Oh Tuhan, inikah pelukan terakhir buatku, pikirku sambil memejam dan meremas kedua mataku.

Sekali lagi aku meraba wajahnya yang keriput basah air mata, tumpah ruah dalam rupanya.

“Nak jaga dirimu baik-baik.”

“Iya bu, hati-hati selalu kabari aku.”

“Iya nak, ibu akan selalu ingat.”

Air mataku diusap jari tuanya dengan sangat pelan melewati pinggiran kelopak mata hingga terisap kering tapi memang hatiku sudah tidak bisa menahan sedih, lingkaran mataku terus berlinang, tak bisa ditahan. Ibuku beranjak karena waktunya mepet, tangannya melepas genggamanku, sungguh pedih, kubiarkan sosok punggawa itu pergi meninggalkanku, ingin kutahan dirinya tapi tak bisa, kedua kakinya sudah melangkah, perlahan, nafasku semakin tersengal sesenggukkan, saudaraku menuntun kursi roda tapi tak bisa jauh, bus hitam besar menunggu, ibuku melangkahkan kakinya masuk ke dalam bus, berderet penumpang sudah rapi, ibuku duduk diposisi dua dari belakang, sekali-sekala dia papaskan wajahnya ke jendela menatapku, tangannya melambai, aku juga melambaikan tanganku, kurasa diriku ingin pingsan. Akhirnya ibuku menghilang pergi dari tatapanku, bus terus berjalan, merambat pelan hingga bergerak jauh tak bisa kupandang lagi, saudaraku menuntunku kembali ke rumah, rumah baru, rumah hidupku menjalani kehidupan setelah ibuku tak ada disisiku.

Dua bulan berlalu, sebuah surat mampir di rumahku.

Untuk anakku tercinta dari ibu,

Kutulis surat tangan ini dengan ujung jariku yang sudah usang dan sedikit tinta tertuang, ibu harap tulisannya sanggup kamu baca nak.

Ibu sudah sampai di tempat ini, sekali kuinjak tanah ini beda rasanya, segala wajahnya asing, bahasanya pun sulit dimengerti, tapi ibu mencoba untuk memahami, sedikit demi sedikit mulai kumengerti.

Bagaimana kabarmu disana nak? baik-baik sajakah? pagi hingga malam kumeratapi wajahmu, selembar foto yang masih ibu simpan di saku.

Lima hari berawal seperti berjalan di atas kaktus tapi lama berjalan pun sirna juga, mungkin nasib baik sedang menimpa.

Semua begawan di sini baik-baik nak, ibu selalu dituntun.

Setapak demi setapak kakiku melangkah tak kurasa lelah, berceceran peluh di tubuh hingga basah, semua ibu lakukan hanya untukmu seorang, doa ibu untukmu nak agar selalu sehat.

Nanti lagi ceritanya, ibu mesti kerja.

Aku membalas surat ibu.

Kepadamu ibu,

Setelah kepergianmu sangat sulit bagiku untuk bangun, sedih bercampur pilu selalu menemaniku, aku pungkang kedinginan di waktu malam, rabaan tanganku tak menemukanmu setelah aku tahu ibu tidak ada disisiku.

Aku baik-baik saja Bu, semua saudara membimbingku, syukurlah ibu baik juga disana, maaf ibu aku tak bisa membantumu disana, jalanku kini sudah mulai kencang, aku mulai terbiasa dengan kehidupanku seperti ini, aku mulai bangkit setelah menerima suratmu, sahabat mengejawantah, banyak sekali mereka hingga sulit kuhitung, dorongan demi dorongan terus mereka berikan, wajahku kini penuh harapan.

Oh iya Bu, aku ingin mengatakan sesuatu padamu, usiaku beranjak sembilan belas tahun, tak kusangka-sangka diriku yang bodoh ini dapat beasiswa, aku bisa kuliah Bu, aku senang, jantungku berdetak keras kala itu, sejumput harapan sudah aku pegang, sebentar lagi aku tuang, sudah ya Bu, tintaku kian menipis, sebentar lagi juga habis, kertasku sudah penuh, tanganku juga berceceran peluh.

Waktu malam tiba, detik berdetak menggetarkan jarum jam di dinding, pukul satu dinihari, ibuku terbangun mengangkat badannya dengan susah payah menengok waktu yang tersisa, berdiri mengerang, kedua otot kakinya mengejang, berdiri tertatih-tatih menuju kamar mandi mengambil air untuk berwudlu, sesaat dia keluar lalu merebahkan sajadah, memakai rukuh, mengambil posisi saat takbiratul ikhram hingga duduk bersimpuh mengucap dua salam, belum beranjak ibuku dari situ, kedua tangannya menengadah, dia terus berdoa menyampaikan segelumit harapan yang masih tersimpan, kedua tangannya merogoh sakunya, sekali-sekala meraba fotoku yang sudah lama kusut.

Sebuah surat mampir lagi dari ibu.

Untuk anakku,

Hampir tersesat, ibu lupa sesaat, selamat ulang tahun nak, semoga bertambah umurmu yang panjang dan sehat selalu.

Berbulan-bulan menghitung bulan, wajahmu tetap kusimpan, tak kulupakan mesti waktu terus menghilang, berbulan-bulan ibu bergulat dengan peluh, memundi-mundi nafkah hingga merekah, “sudahkah kamu terima uang dari ibu nak? Sedikit uang untuk jajan, ibu disini berjuang agar hidupmu yang malang takkan terulang.

Kepadamu Ibu,

Sedikit nafasku lega, kuucapkan, “terima kasih Bu, sekiranya dapat membantuku.”

Kala itu tubuhku berkeringat, sekumpulan orang menawariku, kencang benar emosiku hingga naik darah, sukaku bertambah parah, tersirat dalam surat sebuah yayasan memintaku untuk mengelolanya.

Tak kurasakan meskipun remukku tulang uangku terus kugalang hingga bertumpuk-tumpuk lipatan lembaran uang kusimpan.

Pintaku untuk ibu,

Ibu pulanglah, janganlah lama disana, kubelikan tiket untukmu agar ibu bisa cepat pulang.

Matahari semakin malas, sebentar lagi juga habis kalas, terseser-seser bayang hitam dibalik pijar cahayanya, aku duduk di kursi rodaku, nafasku memburu mengharap kedatangannya yang tak kunjung nampak di pelupuk mata, udara semakin menderu, menggidik tubuhku, aku tidak sendirian sanak saudara pun juga datang mereka saling bercengkerama tapi aku berbeda, tak bersuara, bisu, aneh ini mulut begitu seorang menemuiku aku malah terdiam, mataku menghujam menuruni kedua kakiku, terlihat gerak jari kakiku berjungkat-jungkit tak karuan, nafas kubuang lalu kusimpan cepat, seperti orang kedinginan, aku mendekap tubuhku.

“Ana kenapa kamu terdiam?” itulah namaku, seorang lelaki cakap berada disampingku, tatapan matanya seperti tak berjarak, melekat ke dalam mataku, aku pun memandangnya dengan penuh harapan nantinya.

“Kenapa belum datang?” kataku

“Sabar, sebentar lagi pasti juga sampai,” kata lelaki itu

Selama tiga tahun berpisah serasa hatiku tercacah, sebuah penantian yang tak kunjung sudah.

“Srekk, srekk,“ telingaku berdenging mendengar bunyi langkah itu, aku mengenalnya, serbuan kerikil disampar, gerak tubuhnya yang sudah tak asing bagiku, jauh kulihat masih samar-samar, nafas kutarik sedalam-dalamnya, tubuhku kembali berguncang, mataku semakin liar, mencari seorang di ujung pandang, alis mataku beradu, mengerut, kedua mataku aku tajamkan, meliuk-liuk badannya yang sekarang agak tambun, wajahnya dipenuhi dengan kebahagiaan, mulutnya terus menebar senyuman.

Mulutku tak kuat ingin berteriak, aku seperti kelebihan darah, semangatku berapi-api.

“Ibuuuu ... “ aku berteriak, semua tatapan mata tertuju padanya, kedua tanganku memutar kursi roda dengan cepat tanpa ampun, langkah ibu semakin cepat, berlari, ditemukan dalam sebuah peradaban, semua benda adalah wajahmu, aku berpelukan hebat, air mata menghujaniku, bajuku basah terlewat sudah, ceceran peluh melekat dalam tubuhnya, ibu terduduk simpuh di depanku, aku raba terus wajahnya sambil terus berlinangan air mata, mulutnya bergetar seperti orang kedinginan pula.

“Ibu aku rindu.”

“Anakku sudah lama kita tak bertemu, akhirnya Tuhan mempertemukan kita,” kembali kupeluk hingga kudekap tubuhnya, semua orang terhenyak diam merasakan kebahagiaan yang juga datang menghampirinya, tak sanggup mereka menahan air matanya, suara tangis menggelegar hebat dalam sebuah serangan hebat.

Ibu kaulah segalanya bagiku, sekujur tubuhmu adalah nyawaku, aku hebat bukan karena diriku tapi karena cintamu untukku selamanya.

Kutulis puisiku untuk ibu, “ah, tidak, ya, tidak,” puisiku tidak kutulis dalam sebuah sebuah surat, tapi tersirat di dalam hati sampai aku mati.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image