Permendikbud PPKS [Seharusnya] Mengatur Seks Bebas Juga
Politik | 2021-11-16 18:51:13Salah satu isu terhangat pemicu perdebatan di masyarakat kali ini hadir dari dunia pendidikan. Kemunculan Permendikbud Nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi disebut menyediakan jalan pelegalan perzinahan.
Penilaian tersebut didasari adanya klausul tanpa persetujuan korban pada penjelasan bentuk kekerasan seksual yang tertuang dalam Pasal 5 Ayat 2 Huruf L dan M.
Mulanya saya menyambut gembira, akhirnya ada payung hukum untuk menyikapi tindak kejahatan seksual di kampus. Karena memang kasus-kasus yang ada tidak pernah diselesaikan dengan baik sehingga memberikan efek jera bagi pelaku, ketidakberulangan kasus serupa dan keadilan bagi korban. Namun, ketika isinya dicermati justru ditemukan celah yang dapat mengizinkan aktivitas seks bebas ketika hal itu dilakukan berdasarkan kesukarelaan dari kedua belah pihak.
Asrorun Niam, Ketua MUI Bidang Fatwa dalam forum ijtima ulama yang digelar Selasa 9 November hingga Kamis 11 November menilai bahwa peraturan tersebut bertentangan dengan nilai syariat dan menimbulkan kontroversi. Untuk itu pemerintah diminta mencabut atau setidak-tidaknya mengevaluasi atau merevisinya.
Beliau menambahkan keterangan bahwa Islam tidak dapat dipisahkan dari urusan kebangsaan dan keumatan. Karenanya, para ulama memiliki tanggung jawab dalam memberikan arah bagi perbaikan bangsa secara terus menerus seiring dengan peran dakwah yang berkelanjutan tanpa jeda. (mediaindonesia, 11 November 2021).
Benar bahwa ulama memiliki tanggung jawab dalam mengarahkan umat pada perbaikan melalui amar makruf nahi munkar. Tentu ini harus disambut oleh pemerintah, khususnya kementrian yang sedang disorot sebab mereka ini yang menerbitkan peraturan formal. Instrumen hukum yang mengatur harus menyelesaikan kekerasan seksual tanpa menimbulkan problem baru yakni pelegalan seks bebas.
Selama ini seks bebas sudah mewabah, termasuk di lingkungan kampus. Muda-mudi melakukannya atas dalih suka sama suka atau persetujuan (consent). Lalu jika peraturan mas menteri Nadiem ini tetap bergulir, justru akan menjadi tameng pembenar perbuatan tersebut. Betul kalau kekerasan seksual itu salah, namun jangan lupakan juga bahwa seks bebas juga salah. Dua-duanya harus dilarang. Baik di lingkungan perguruan tinggi maupun di tempat lain.
Kalau dalam pandangan syariat Islam, sudah di atur dua hal ini. Kekerasan seksual di kenal dengan pemerkosaan. Yang dikenai hukum pelakunya, korban mendapat perlindungan hukum seperti pengajuan tuntutan qisas karena kerugian yang dialami. Korban juga tidak dijatuhi hukuman cambuk 100 kali (bagi yang belum menikah) maupun hukuman rajam (untuk yang telah menikah). Sedangkan hubungan seksual tanpa paksaan disebut zina. Sepasang pelaku mendapat ganjaran sesuai status apakah belum menikah ataukah sudah.
Jelaskan, Islam mengatur dua hal tersebut. Lalu kenapa pemerintah sekarang hanya membahas kekerasan seksual dan meninggalkan urusan seks bebas? Dasar filosofis membuat aturan menteri itu apa? Nilai syariat atau norma kebebasan bertingkah laku? Kalau syariat, tidak mencerminkan sama sekali. Kalau yang dengan persetujuan dibolehkan, mau diapakan pendidikan ini?
Di sisi lain, ada yang bilang kita tidak perlu khawatir dengan efek samping peraturan ini, alasannya karena negara sudah cukup membekali rakyatnya dengan pendidikan agama sejak dini. Di bangku sekolah setiap anak wajib mengikuti pelajaran agama. Sampai di perguruan tinggi pun setiap mahasiswa masih harus belajar agama. Belum lagi di rumah juga ada. Di lingkungan masyarakat sekalipun ada banyak ormas keagamaan yang mengadakan majlis taklim dan majlis dzikir. Ini menjadi argumen bahwa kita semua terbiasa dengan nilai agama, jadi tidak perlu takut dengan bahaya seks bebas.
Generasi muda kita dengan pendidikan agama yang begitu, mereka nilai telah memiliki kecakapan untuk menentukan keputusan sendiri berdasarkan norma ketuhanan yang telah ditanamkan ketika berhadapan dengan kehidupan serba bebas sekarang. Dengan begitu, kita tidak perlu khawatir sampai menganggap Permendikbudristek 30/2021 sebagai promotor seks bebas.
Sekilas, penjelasan tersebut menenangkan. Tetapi, fakta kerusakan yang ditimbulkan seks bebas jauh lebih lantang terdengar. Kehamilan di luar nikah, aborsi, pemerkosaan yang tidak jarang korbannya sampai mati, dan yang di sini sedang kita sorot kekerasan seksual dengan berbagai bentuk. Semua ini ada karena dasar keputusan melakukan hubungan seksual di luar nikah tidak mungkin karena agama. Lebih-lebih hal ini tidak di atur dalam hukum negara dengan tegas.
Kiranya kita harus dewasa dalam bernegara. Gunakan syariat sebagai pengatur hubungan di antara masyarakat karena terbukti haluannya jelas dan manusiawi. Salah benarnya perbuatan manusia di ukur dengan parameter tegas yang Allah tetapkan melalui kitab-Nya dan penjelasan Rasulullah.
Sudahi membuat aturan dengan mengenyampingkan agama karena itu berarti kita sedang tunduk pada sekulerisme. Bukankah kita diperintahkan untuk menjalani hidup dengan Islam seutuhnya? Jika sistem kehidupan ini tidak mengizinkan mengatur urusan seksual dengan syariat, maka menjadi tugas kita untuk menggantinya dengan sistem Islam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.