Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yuni Safanito

Se-fruit Cerita tentang Toxic Relationship.

Eduaksi | Saturday, 16 Jul 2022, 20:33 WIB

Pernah berada dalam hubungan yang toxic? Istilah populernya toxic relationship. Relationship dengan siapa? Dengan siapa aja. Pernikahan, pacaran, bahkan pertemanan bisa jadi toxic kalau hubungan itu merugikan salah satunya, phisically bahkan mentally.

Pertemanan seharusnya menyenangkan, saling berbagi, seneng-seneng sama-sama, empathy ketika salah satu merasa sedih. Pertemanan seharusnya simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan dalam vibes yang positif.

Lalu bagaimana menghadapi teman yang toxic?

Seorang teman bercerita, menjadi teman curhat adalah hal yang menyenangkan baginya. Mencoba memberi solusi ketika teman punya masalah. Bersimpati dan berempati ketika sedih. Trying to put herself in her friend’s shoes.

Waktu berlalu, times goes by. Dari sekedar mendengarkan curhat, memberi solusi, memberi perspektif positif atas semua masalah yang disampaikan.Mencoba memahami ketika dihubungi disaat2 yang kurang tepat. Menjelang tidur malam, tidur siang, sedang mengerjakan pekerjaan rumah, atau bahkan sedang mengajari anak menghadapi ujian. Dan waktu yang tidak singkat.

Masalah yang sama, brulang-ulang. Seperti kaset yang ga tau sudah diputar berapa kali.

"Sabar dan berusaha menjadi an empty cup setiap kali mendengarkan keluh kesahnya bagiku memang sudah sewajarnya. Walaupun bagi sebagian orang mungkin itu sudah over dosis". Demikian dia melanjutkan ceritanya.

Then, finally. Aku merasa menjadi sasaran kemarahan. Seperti samsak hidup. Bedanya ini tanpa sentuhan fisik. Kata kasar, kemarahan yang entah apa alasannya harus didengarkan. Almost everyday. Over and over again. Dan aku merasa lelah. Aku, somehow, merasa ini akan merusak aku perlahan-lahan. Aku merasa down ketika dia membentak di depan org, berteriak seolah menyalahkanku. Which is, literally (ups..) aku tau itu adalah kemarahannya buat orang lain. Just like previous days. I was trying to put myself in her shoes. Again. But, it didn't work. At all.

Sumber foto: Republika.co.id (Leisure)

Aku merasa harus bertindak. Untuk menyelamatkan mentalku. Its about the time. Menolak menerima transfer energi negatif. Sesuatu yang selalu kuhindari demi kesehatan mental yang aku percaya sangat mempengaruhi kesehatan fisik juga.

Aku putuskan untuk memberi ultimatum. Buat diri sendiri agar tidak membiarkan diri dijadikan sasaran kemarahan orang lain yang mengatasnamakan 'cuma lu orang dekat ma gw', 'you know me so well', 'i need you to hear me'. Enough. Aku bersuara. Ga peduli apa reaksinya.

Dan juga buat org lain jangan menjadikan teman sebagai sasaran kemarahan, hanya karena dia adalah orang yang paling mengerti. Memahami. Orang yang paling tau kamu seperti apa. Kecuali kamu sudah siap kehilangnanya. Hey, they are not a dust bin, buddy!

Dari cerita di atas, perlu diingat bahwa sangat penting menjaga mental health, gaes.. jangan sampai kita menjaga mental health org lain tapi pada akhirnya kehilangan mental health kita.

Mudah-mudahan kita terhindar dan dijauhkan dari pertemanan yang seperti itu yaa..

Salam sehat. Sehat fisik. Sehat mental.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image