Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hening Nugroho

Kita Putus

Sastra | 2021-11-14 01:36:54
Sumber foto : suara.com

“Giliranmu!”

“Giliranku?”

“Iya, emang kamu belum tahu?”

Ucok menggeleng

“Sekarang waktumu presentasi!”

“Presentasi apa?” Ucok bingung sekaligus takut maklum guru di depannya sangat sangar, wanita, masih muda tapi galak, namanya Bu Ita, kalau murid-muridnya sering plesetin namanya jadi, “Ih, takut! “ wajahnya judes abis, alisnya tipis seperti habis dikerok lalu diukir pakai pensil alis, bibirnya setipis silet, dan matanya seperti burung hantu.

Ivan yang duduk di samping Ucoke menyerobot, “ayo cepet sono maju!“ dengan berbisik dan mata melotot, “pidato pakai Bahasa Inggris,” katanya.

Ucok kalangkabut, belum dipersiapkan apa materinya karena satu hari yang lalu dia tidak masuk kelas alias sakit. Dan temannya pun tidak kasih tahu kalau ada tugas segenting itu. Bisa jadi tidak hanya genting tapi amat genting dan sangat pokok. Guru yang satu ini sangat senewen, bila ada yang ketahuan tidak mengerjakan tugas maka tidak ada kompromi langsung dihajar dengan nilai nol.

“Ucok pleasee... “

Guru yang senewen itu sudah memanggil-manggil, gila suaranya seperti auman singa yang siap menyantap. Ucok pun ketakutan, empat pilar ketrampilannya beladiri tiba-tiba saja langsung rontok, Pencak silat, Taekwondo, Karate, dan Kung Fu langsung gugur cuma menghadapi suara perempuan itu. Gurunya sendiri.

“Yes Ma’am,” jawab Ucok lugas tapi cenderung dibuat-buat, sadar kalau tugasnya belum dikerjakan, tangannya seperti sibuk mencari sesuatu di dalam tas, dibongkar, sedikit akting, diaduk-aduk lalu dirampasnya satu lembar kertas tulis bergaris berisi penuh dengan tulisan. Tapi entah tulisan apa itu, Ucok buru-buru menarik kertas itu ditunjukkan di depan orang-orang biar terkesan anak yang rajin mengerjakan tugas, selalu mendengar nasehat orang tua, dan rajin minum susu. Namun semua orang ternyata ketipu, belum tahu akal bulus si Ucok, kawannya yang duduk bersebelahan, Ivan, kelihatan cengar-cengir.

Kertas itu ternyata berisi untaian kalimat cinta untuk pacarnya sendiri : “halo sayang, lagi apa, sudah makan belum, kita ketemuan yuk, dan berakhir dengan kalimat cinta yang sudah karatan, “I Love You,” disusul gambar hati yang diwarnai spidol pink.

What! Berarti Ucok bohong. Sudah jelas.

Gaya Ucok ternyata manipulasi, dia berdiri dari kursinya, bersembahyang dalam hati, “ya Tuhan jangan sampai ketahuan,” kepalanya nunduk tidak berani menatap gurunya langsung, berjalan terbirit-birit. Selembar kertas yang baru dia ambil dilekatkan di depan dada. Nyaris Ucok berjalan seperti orang idiot.

Di depan kelas Ucok berdiri terpaku, matanya tidak jelas menatap kemana, mondar-mandir kesana-kesini, ternyata, aduh, bukannya menatap gurunya malah menatap pujaan hatinya yang duduk di kursi paling depan. Baru kali ini dia bisa menatap wajah pujaannya itu kalau sedang serius di kelas, cantiknya luar biasa, Ucok baru satu minggu menambatkan cinta dengannya, namanya Vera. Lengkapnya Vera Intan Purnamasari Mewangi Sepanjang Hari, panjang betul, namun teman satu kelas musyawarah sepakat manggil Vera cuma dengan sebutan VIP, singkatan dari Vera Intan Purnamasari. Dialah sang Primadona sekolah, tak cuma pintar, tapi juga cantik, punya segudang prestasi, bapaknya orang kaya, ibunya Kepala Polisi, macam-macam bisa dipenjara.

“Pleasee ... “ kata Bu Ita sedikit keras suaranya.

Ucok kaget, lamunannya buyar, mengerling ke arah Gurunya yang hampir geregetan karena Ucok sudah berdiri terlalu lama di depan kelas. Padahal giliran yang lain belum, sudah terkencing-kencing.

“Ucok, hurry up!” perintah Bu Ita lagi

“Yes Ma’am,” Ucok tegang, keringetan, tak tahu harus berbuat apa.

Sementara sang kekasih geregetan, dalam hatinya bilang, “dasar penakut!” seperti tak mengenal siapa yang sedang berdiri di depan kelas itu, kekasihnya sendiri.

“Ucok!” bentak Bu Ita dengan keras, kali ini sambil menggebrak meja, sangarnya minta ampun.

Ucok loncat, jantungnya hampir copot, “Yes Ma’am,” lagi-lagi cuma jawaban seperti itu.

Vera tak sabar, naik pitam, “Hey Ucok! what are you waiting for?”

Ucok memicingkan matanya ke arah Vera, aneh ada yang tak beres dengan diri Vera, berkali-kali Ucok mengedipkan mata ke arah Vera tapi Vera tak merespon. Ucok seolah tak mengenal diri Vera yang sebenarnya, apa mungkin karakternya berbeda ketika sedang di kelas. Raut wajah Vera tampak serius bukan main, matanya melototi Ucok.

Saking jengkelnya Vera menghambur ke depan kelas menghampiri Ucok dengan gagah berani.

“Wah gawat!” ucap Ivan

“Coba lihat kerjaanmu!” Vera langsung merampas kertas Ucok yang sejak tadi dilekatkan di dadanya. Ucok pasrah lagian Vera tahu surat apa itu, tak mungkin dia melaporkan kepada Bu Ita. Tapi wajah Vera memerah, bukannya merah malu tapi merah muram. Tak serius, suka bercanda, banyak bermain, kata Vera dalam hatinya. Vera bergegas menyerahkan kertas itu kepada Bu Ita.

“Ver?” Ucok ingin menghalangi tapi apa daya, gila, rasanya seperti disengat petir.

Apa sudah tak waras lagi cintaku itu, pikir Ucok.

“Ini Bu,” Vera menyerahkan kertas itu.

Bu Ita melotot, melihat kertas itu seperti melihat mangsanya yang siap untuk diterkam.

“Ini apa Cok?” tanya Bu Ita pelan, sabar, menahan amarah. Kertas itu ditunjukkan di depan kelas, hukuman moral bagi yang tidak mengerjakan tugas.

Serentak semua penghuni kelas itu merebahkan kepalanya, menajamkan mata, mengintip tulisan yang ada di dalam kertas itu, tapi yang paling jelas dilihat adalah simbol hati. Semua murid tertawa, dan meneriaki. Ucok berdiri lemas satu jam penuh di depan kelas. Itulah hukumannya.

***

Istirahat jam pertama, memasuki jam kedua, semua murid sudah tahu, ada pelajaran Matematika. Ucoklah jagoannya sekarang, pengajarnya kali ini berbeda, lelaki paruh baya yang punya tinggi badan hampir menyentuh langit pintu, 190 cm. Semua murid menghargai Bapak yang satu ini, namanya Pak Min, jebolan UGM, Cumlaude, semua orang menjulukinya Bapak Kalkulator, bisa dibayangkan hitungannya sangat cepat dan akurat, seperti kereta express. Dan hanya satu orang idolanya, selalu mendapat nilai sepuluh, dialah Ucok. Si anak kesayangan Pak Min. Tak ada yang bakal jadi pesaingnya kali ini.

Pak Min menuju ke kelas, kalau berjalan seperti jerapah. Sementara dua orang berisik sedang mengatur strategi di dalam kelas merencanakan sesuatu, angin berbisik menghembuskan adanya aroma balas dendam, entah pada siapa.

“Ini tikus putih, kasih mana?”

“Tasnya aja.”

Semua murid bergegas masuk ke kelas, dan seperti biasanya, jalannya melenggak-lenggok bak artis ibukota, mukanya menebar pesona, harumnya semerbak wangi, kulitnya putih minta ampun, Vera duduk di kursinya lalu seperti biasa tangannya merogoh di dalam tas, dan sontak Vera balik lagi berdiri, kalangkabut, seperti kerasukan setan, tapi bukan, ternyata tikus putih kecil sedang merambati tangan Vera.

Teriak, “Akkkhhh .... “

Vera belingsatan mengibaskan tangannya, mengusir tikus putih itu, kelas jadi riuh, semua tertawa tapi hanya satu orang yang tampak menyembunyikan muka, sesekali mengintip, matanya mencuri-curi. Sudah jelas, tanpa ampun, dengan muka garang Vera mendatangi orang itu.

“Ucoook, ini ulahmu?” kata Vera dengan keras, kelihatan sangat marah

Ucok diam saja, Vera terus mengejar siapa dalangnya, matanya beralih menatap Ivan yang duduk di samping Ucok.

“Ivan, kamu yang taruh tikus itu?”

Ivan geleng kepala.

“Katakan Van siapa yang taruh tikus itu di dalam laciku?” Vera marah besar, dia terus menginterograsi Ivan, dipaksa berkata jujur. Masih, tak ada yang mengaku.

Vera menarik nafasnya, mengeluarkan jurus jitu, sekarang suaranya lebih pelan namun tajam, “Ivan, katakan siapa yang taruh tikus itu?” tanpa emosi, sabar banget.

Ivannya masih bungkam.

“Kalau kamu tidak mau katakan, oke, aku laporkan guru BP.”

DUARRR, seperti mendengar peluru.

Ivan kepojok, perkataan Vera memang punya tendensi mengancam, wataknya nekat, itu yang sangat ditakuti Ivan. Lagipula Ivan tidak mau berulah dengan guru BP itu, Ivan tahu konsekuensinya jika bermasalah dengan guru BP, minta ampun galaknya, bahkan melebihi Bu Ita yang sangar itu, penguasanya adalah seorang laki-laki, matanya juga tajam, kalau menatap orang kepalanya agak ditundukkan sedikit, agak sipit, mulutnya lebar, ada tato di sekitar lehernya, bulat hitam seperti tembong, orangnya kekar, dan yang paling nyentrik bagian rambutnya, mirip Yakuza.

Akhirnya Ivan menyerah, tidak mau menyimpan rahasia lebih lama, tangannya menuding Ucok yang berada di seberangnya.

Vera muntab, wajahnya tidak lagi aduhai, malah lebih mirip serigala yang lagi meringis. Tangan Vera melayang.

“Plaak,“ Vera menampar Ucok

“KITA PUTUS!”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image