Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Samdy Saragih

Jejak Anies Baswedan di Dua Perpustakaan Jakarta

Gaya Hidup | 2022-07-13 08:50:57
Rak dan buku di Perpustakaan Cikini, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta./sumber: dokumentasi pribadi

Banyak cerita kontroversi di luar sana tentang Anies Rasyid Baswedan. Jika menulis tentang sosok Gubernur Jakarta tersebut, pasti orang-orang dengan entengnya langsung mencap kita entah sebagai kubu pendukung atau penentangnya.

Kalau mengesampingkan politik sebentar, kita mungkin punya satu kesimpulan tentang Anies. Figur pria berdarah Arab tersebut, menurut saya, punya cita atau rasa. Faktor internal dalam dirinya ini bisa terpancar dari sejumlah bangunan fisik karyanya sebagai pejabat.

Saya tidak mau berbicara soal Jakarta International Stadium (JIS)--yang sejak pembangunannya sampai selesai masih memantik pro dan kontra. Saya juga tidak berniat membahas soal jembatan penyeberangan orang di jalan protokol. Yang ingin saya kuliti adalah soal gedung perpustakaan.

Minggu lalu, saya membaca berita tentang kembali bukanya Taman Ismail Marzuki (TIM). Saat renovasi dikerjakan pada tahun 2020 lalu, kebijakan tersebut sudah memantik kontroversi. Biang keroknya adalah rencana pembangunan hotel di TIM. Hotel ini akan menjadi satu gedung (dinamai Gedung Panjang) dengan Perpustakaan Cikini dan Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin.

Saya penasaran dengan wajah baru TIM, terutama Perpustakaan Cikini. Guna menjawab rasa ingin tahu, saya pun mengunjungi perpustakaan tersebut Selasa kemarin,12 Juli 2022.

Hasil Renovasi

Sebelum TIM dirombak, gedung Perpustakaan Cikini milik Pemprov DKI Jakarta terletak di bagian selatan kompleks atau sebelah kanan dari pintu masuk Jalan Cikini Raya. Saya sebenarnya berharap gedung perpustakaan tidak perlu direlokasi karena toh disiapkan di zaman Gubernur Joko Widodo alias masih gres.

Pemindahan perpustakaan ke sebelah utara mungkin punya maksud tertentu. Barangkali area gedung lawas mau diperuntukkan untuk sarana lain. Apa pun alasannya, relokasi Perpustakaan Cikini memungkinkan perubahan desain gedung dan interior.

Jujur saja, gedung lawas sebenarnya sudah cukup memadai kendati memang masih mencitrakan perpustakaan standar. Gedung dibagi beberapa lantai sesuai peruntukannya. Di lantai untuk ruang baca umum, misalnya, terdapat rak-rak buku dengan meja baca.

Setelah berpindah ke Gedung Panjang, tampak desain perpustakaan mengadopsi model kekinian. Perpustakaan disiapkan tidak semata sebagai kolektor buku, tetapi tempat untuk menunjang gaya hidup modern generasi muda.

Zaman sekarang, kita melihat kafe sebagai tempat nongkrong favorit anak muda. Tidak semata minum atau bercengkrama melainkan medium untuk belajar dan bekerja! Terlebih, kegiatan akademik dan pekerjaan selama masa pandemi Covid-19 banyak dilakukan via perangkat komputer.

Karena itu, Perpustakaan Cikini tampak didesain untuk menampung tren zaman tersebut. Menyediakan fasilitas tempat duduk, meja, dan jaringan internet sudah pasti. Saat saya berkunjung, tampak kursi dan meja sudah dipenuhi oleh anak-anak muda sedari pagi. Mereka yang rata-rata berpenampilan mahasiswa itu umumnya tidak datang sendiri. Akibatnya, saat menjelang siang mereka sudah kehabisan tempat duduk.

Pengunjung Perpustakaan Cikini, Taman Ismail Marzuki, Jakarta./sumber: dokumentasi pribadi

Perpustakaan Kemendikbud

Saat berada di Perpustakaan Cikini, kepala saya langsung mengingat Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) di Jalan Sudirman. Memang keduanya tidak bisa dikomparasikan secara apple to apple. Namun, keduanya sama-sama mengusung desain interior kekinian guna membuat pengunjung lebih nyaman.

Sebelum direnovasi pada Agustus 2016 dulu, interior Perpustakaan Kemendikbud pun berdesain standar. Mejanya saja sudah terlalu tua. Mendapatkan colokan untuk mengisi baterai saja harus saling berebut. Renovasi gedung Perpustakaan Kemendikbud selesai pada Februari 2017.

Tampilan interior Perpustakaan Kemendikbud, Jakarta./sumber: dokumentasi pribadi

Siapa konseptor gedung Perpustakaan Kemendikbud tersebut? Orangnya adalah Anies Baswedan. Kendati sudah dicopot sebagai Mendikbud oleh Presiden Jokowi pada Juli 2016, Anies adalah perencana renovasi gedung Perpustakaan Kemendikbud. Peresmian gedung itu dilakukan oleh penerusnya, Mendikbud Muhadjir Effendy.

Dibandingkan kala menjadi menteri, memang lebih banyak sarana dan prasarana yang dibangun Anies sewaktu menjabat kepala daerah. Perpustakaan adalah benang merahnya. Dari hasil komparasi saya terhadap Perpustakaan Kemendikbud dan Perpustakaan Cikini tampak betul memang Anies memiliki cita tersendiri terhadap desain perpustakaan.

Jam Buka

Meskipun Anies punya selera khas dalam desain gedung dan interior, dia bukanlah kepala daerah favorit saya dalam urusan perpustakaan. Untuk satu ini, favorit saya adalah Tri Rismaharini.

Apa sebab? Di periode pertama menjabat Wali Kota Surabaya, Risma membuka Perpustakaan Balai Pemuda. Secara desain mungkin tidak sefuturistik gedung rancangan Anies, tetapi lebih terasa melayani dibandingkan dengan perpustakaan di Ibu Kota. Alasannya, Risma membuka perpustakaan tersebut dari pukul 07.00 WIB sampai 21.00 WIB alias 14 jam!

Seorang pengunjung perpustakaan mana yang tidak senang kalau layanan dibuka selama mungkin? Sebagai pembanding, Perpustakaan Kemendikbud sudah ditutup pukul 16.00 WIB dan Perpustakaan Cikini pukul 17.00 WIB.

Di sisa masa jabatannya sebagai Gubernur DKI, saya berharap Anies bisa mengikuti jejak Surabaya. Saat awal-awal beroperasi dahulu pada 2015, Perpustakaan Cikini sebenarnya sempat buka sampai pukul 20.00 WIB. Memang menjelang pukul segitu pengunjung sudah sepi sehingga kemudian bisa dijadikan alasan untuk memangkas jam operasional.

Logikanya, dan sudah terbukti pula, desain futuristik dan fasilitas Perpustakaan Cikini bisa menarik lebih banyak pengunjung bukan? Bukan hanya kian berjubel yang datang, tetapi mereka kian betah berlama-lama. Tidak salah rasanya berharap perpustakaan membuka pintunya lebih malam lagi.

Pejabat punya cita atau rasa mungkin menggembirakan. Desain dan gedung penting karena akan membuat orang untuk datang. Terlebih, manusia zaman sekarang suka mengabadikan foto untuk dipamerkan di media sosial.

Karena itu, persentuhan antara pengunjung dan perpustakaan seharusnya sampai batas kesanggupan jam biologis manusia. Entah itu untuk membaca, menulis, bekerja, atau sekadar jalan-jalan. Perpustakaan semestinya tidak membatasi layanannya serupa dengan kantor.

Selagi berkuasa, semoga Anies masih sempat mewujudkannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image