Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Layaknya Seorang Pedagang, Kita Harus Melakukan Evaluasi Harian

Agama | Wednesday, 13 Jul 2022, 07:35 WIB

Mendapatkan keuntungan atau menderita kerugian selalu menjadi perhitungan para pedagang. Karenanya mulai dari pedagang kecil sampai pedagang besar, mini market sampai mall besar selalu melakukan perhitungan atas usaha yang mereka lakukan.

Setiap hari, sebelum menutup warung, toko, atau tempat dagang lainnya sudah pasti dilakukan perhitungan transaksi yang berlangsung pada hari tersebut. Perhitungan ini identik dengan evaluasi.

Seorang pedagang atau karyawan sebuah perusahaan dagang akan melakukan evaluasi harian baik pendapatan, retur barang, jumlah pengunjung, barang yang kosong, barang yang banyak ditanyakan konsumen, barang yang laku dijual, bahkan barang yang hilang pada hari tersebut.

Evaluasi ini dilakukan selain untuk mengetahui jumlah pendapatan harian beserta labanya, juga untuk mempersiapkan barang yang banyak diperlukan konsumen. Selain itu, evaluasi ini dilakukan untuk memperbaiki pelayanan dan peningkatan kualitas pengelolaan usaha perdagangannya.

Kehidupan kita pun layaknya dunia jual beli. Bukan mengada-ada, Al-Qur’an telah menegaskan, kehidupan kita ini laksana jual beli antara seorang hamba dengan Allah swt.

“Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan surga yang Allah peruntukkan bagi mereka. Mereka berperang di jalan Allah sehingga mereka membunuh atau terbunuh. (Demikian ini adalah) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Siapakah yang lebih menepati janjinya daripada Allah? Maka, bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu. Demikian itulah kemenangan yang agung.” (Q. S. At Taubah : 11).

Layaknya transaksi jual beli, kita harus melakukan evaluasi setiap saat, tingkat paling minimal evaluasi harian. Dalam ilmu akhlak evaluasi identik dengan muhasabah. Lalu apa yang harus kita evaluasi?

Dalam hal ini, ada beberapa petuah yang selayaknya kita menjadikannya sebagai bahan renungan dalam melakukan evaluasi atau muhasabah.

Pertama, ketika malam tiba, Umar bin Khattab sering bertanya kepada dirinya, “Apa yang telah aku kerjakan pada hari ini?”

Kedua, ketika membaca surat Al Qiyamah : 2, “Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”, al Hasan berkata, “Tidaklah seorang mu’min menatap kecuali mencela dirinya, apa yang aku inginkan dengan ucapanku dan apa yang aku inginkan dengan makananku, dan apa yang aku inginkan dengan minumanku?” (Sa’id Hawwa, Al Mustakhlash fi Tazkiyatul Anfus, 2005 : 121).

Ketiga, Ibnu Jauzi bekata, “Setiap hari sebelum tidur aku senantiasa merenungi pejalanan hidupku. Aku berusaha menghitung perjalanan hidupku sebelum dihitung, menimbang perjalanan hidup sejak dari masa kanak-kanak sampai usia dewasa. Aku merenungi ibadah dan dosa-dosa yang telah aku lakukan” (Syaikh Muhammad Abdul Athi Buhairi, Nidatu ar Rahman li Ahli al Iman, 2005 : 245).

Keempat, Phytagoras, seorang filosof, pernah memberi petuah kepada murid-muridnya. “Kalian jangan tidur sebelum kalian merenungkan tiga hal. Perbuatan baik apa yang telah kalian lakukan dengan sungguh-sungguh pada hari ini?; perbuatan baik apa yang tidak kalian lakukan dengan sungguh-sungguh pada hari ini?; dan perbuatan baik apa yang kalian tinggalkan pada hari ini?“

Kita pun sudah seharusnya melakukan muhasabah atas perjalanan hidup, terlebih-lebih kehidupan kita pada saat ini sering sarat persaingan yang menuntut kita mengikuti hawa nafsu dan melanggar hukum-hukum agama. Kesibukan pekerjaan dalam mencari harta sering mengalahkan kewajiban kita untuk beribadah. Kejujuran sering terkalahkan dengan perbuatan bohong.

Waktu yang kita miliki lebih sering dipakai kesenangan duniawi daripada dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat ukhrawi. Viralitas, hasrat kita untuk terkenal di hadapan manusia mengalahkan hasrat untuk terkenal di hadapan Allah.

Kita lebih sering dan lebih senang update status di hadapan manusia daripada update status di hadapan Allah. Hal ini dilakukan demi popularitas di hadapan manusia, agar kita dianggap sebagai manusia terpandang. Kita pun lebih senang mendapatkan pujian dari manusia daripada mendapatkan pujian dari Allah melalui perbuatan baik yang dilakukan lillahi ta’ala.

Selayaknya kita menjadi manusia langit seperti Uwais al Qarni, seorang hamba yang tak dikenal di muka bumi, tapi Allah mengabarkannya kepada seluruh makhluk. Dia bukan dari kalangan sahabat dan tak pernah berjumpa dengan Rasulullah saw, namun kemuliaannya disabdakan Rasulullah saw. Ia pun pernah memerintahkan kepada para sahabat apabila kelak bertemu dengan Uwais al Qarni agar menyampaikan salam dan kabar gembira darinya.

Hidup kita tak mungkin mencapai seribu tahun, mungkin esok-lusa, bahkan mungkin esok hari atau hari ini hidup kita akan berakhir. Dunia dan segala aksesorisnya yang kita cintai akan kita tinggalkan, dan suatu kenyataan yang tak terbantahkan yang mengikuti kita hanyalah beberapa lembar kain kafan yang murah harganya dan perbuatan yang telah kita lakukan selama hidup di dunia.

Layaknya seorang pedagang yang telah melakukan transaksi, sudah seharusnya kita melakukan evaluasi, muhasabah atau perhitungan atas segala “transaksi” amal-amal kita selama hidup di dunia. Apakah kita banyak melakukan perbuatan baik dengan niat lillahi ta’ala, atau kita lebih banyak berbuat kemaksiatan tanpa merasa takut akan azab-Nya?

Sudah seharusnya pula kita tidak berlaku sombong atas harta dan jabatan yang kita miliki, semuanya hanya titipan yang suatu saat akan lenyap dari diri kita. Kalaulah pada saat ini kita termasuk orang kaya, kekayaan kita tak akan dapat menandingi kekayaan Qarun.

Demikian pula, jika pada saat ini kita menyandang suatu jabatan, kekuasaan kita tak akan bisa menandingi jabatan dan kekuasaan Fir’aun. Namun karena kesombongannya, baik Qarun maupun Fir’aun meninggal dalam keadaan hina-dina, diselimuti azab Allah.

Kita harus menyadari kemuliaan yang kita raih pada hari ini pada hakikatnya merupakan kasih sayang Allah yang telah menutup dosa dan aib-aib kita. Seandainya Allah membuka dosa yang telah kita lakukan, memperlihatkan aib-aib kita, tak akan ada satupun makhluk Allah yang akan menghargai diri kita.

“Lakukanlah evaluasi atau muhasabah atas diri kalian, sebelum kelak kalian dihisab Allah swt.” Demikian pesan Umar bin Khattab.

Ilustrasi :transaksi (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image