Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Agus Darwanto

Terjerat oleh Bai'at

Agama | Tuesday, 12 Jul 2022, 08:16 WIB

Fenomena banyaknya kelompok-kelompok Islam yang masing-masing mengangkat amir atau pimpinan membuat mereka berupaya mengikat pengikutnya dengan jeratan “bai’at”. Kemudian mereka membawakan hadits :

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Artinya : “Barangsiapa melepaskan tangannya dari ketaatan, maka ia akan menemui Allah pada hari Kiamat dalam keadaan tidak memiliki satu hujjah pun, dan barang siapa mati dalam keadaan tidak berbaiat, maka ia mati seperti kematian jahiliyyah.” (HR. Muslim)

Kemudian dengan berbekal hadits tersebut, mereka mengharuskan anggotanya untuk berbai’at dan menta’ati semua perintah pimpinannya. Bila ada anggotanya yang berani melanggar keta’atan, berarti bai’atnya batal dan dinyatakan kafir. Dalih mereka adalah kalimat “maka ia mati seperti kematian jahiliyyah” yang ditafsiri dengan mati dalam keadaan kafir. Tentu ini sebuah jebakan yang sangat berbahaya yang membuat seluruh anggotanya terjerat dalam keta’atan yang membabi-buta kepada amir atau pimpinan kelompoknya.

Mengenai makna sebenarnya dari hadits di atas, Imam Nawawi dalam Al-Minhaj berkata : “yaitu mati dalam keadaan tidak memiliki hujjah atas perbuatannya itu dan tidak ada alasan yang memberinya manfaat.”(1) Sedangkan penafsiran mati jahiliyah dengan mati dalam keadaan kafir disalahkan oleh Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Beliau mengatakan bahwa “mati dengan kematian jahiliyah” artinya mati seperti kondisi orang Arab jahiliyah yang tidak memiliki seorang pemimpin, karena bangsa Arab pada masa jahiliyah tidak tunduk kepada seorang raja atau amir pun.(2) Ada pun mengenai makna hadits tersebut, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menjelaskan bahwa ba’iat yang dimaksud adalah bai’at kepada khalifah kaum muslimin yang membawahi seluruh dunia Islam, bukan kelompok-kelompok yang ada pada jaman sekarang ini.(3) Karena bai’at di dalam Islam hanya diperbolehkan diberikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semasa hidupnya, khalifah yang memimpin seluruh dunia Islam seperti pada jaman al-khulafa’ ar-rasyidin, atau kepada kepala negara muslim yang sah. Tidak ada ba’iat kepada amir atau pimpinan sebuah jama’ah, kelompok, atau “kepala negara bawah tanah” yang tidak jelas mana rakyatnya dan mana wilayahnya. Sedangkan pada jaman sekarang dimana tidak ada khalifah yang memimpin dunia Islam, maka ba’iat hanya diberikan kepada kepala negara muslim yang sah, tidak boleh diberikan kepada seorang pemimpin dari sebuah jama’ah atau kelompok, sebagaimana penjelasan dari Dr. Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin.(4) Penjelasan para ulama di atas sejalan dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ

Artinya : “Hendaklah kamu menjauhi seluruh kelompok-kelompok itu, sekalipun kamu harus menggigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu sedangkan kamu harus tetap dalam keadaan seperti itu.” (HR. Bukhari)

Namun demikian, kelompok-kelompok yang mewajibkan bai’at berargumentasi dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِيْ سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوْا أَحَدَكُمْ

Artinya : “Jika tiga orang bepergian untuk musafir, maka hendaklah mereka mengangkat salah satu dari mereka sebagai pemimpin.” (HR. Abu Dawud dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani)

Syaikh Prof. Dr. Abdul Muhsin Al-Abbad menjelaskan bahwa pimpinan musafir tidak dibai’at, meskipun harus dita’ati oleh seluruh rombongannya selama dalam perjalanan.(5) Apalagi amir safar atau pemimpin perjalanan musafir sifatnya temporer, bukan berkelanjutan. Sehingga argumentasi tersebut tertolak dengan sendirinya. Oleh karena itu Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan mengatakan bahwa ba’iat hanya diberikan kepada pemimpin negara yang sah, bukan kepada pemimpin jama’ah atau kelompok.(6)

Ada pun pengertian ba’iat menurut Ibnu Khaldun adalah berjanji setia untuk ta’at kepada seorang pemimpin.(6) Meskipun demikian keta’atan hanya dalam perkara yang benar, bukan dalam bermaksiat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ

Artinya : “Tidak ada keta’atan dalam bermaksiat, karena keta’atan itu hanya dalam perkara yang ma’ruf (benar).” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, firman Allah ta’ala dalam Surat An-Nisa’ ayat 59 menyebutkan :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَطِيعُوا۟ ٱللَّهَ وَأَطِيعُوا۟ ٱلرَّسُولَ وَأُو۟لِى ٱلْأَمْرِ مِنكُمْ ۖ فَإِن تَنَٰزَعْتُمْ فِى شَىْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah, ta’atilah Rasul, dan ulil amri di antara kalian. Kemudian jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah perkaranya kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.”

Perintah menta’ati Allah dan Rasul-Nya selalu diawali dengan kata “ta’atilah”, namun perintah menta’ati ulil amri tidak diawali kata “ta’atilah”. Ahmad Al-Jauhari Abdul Jawwad menjelaskan bahwa keta’atan kepada pemimpin tidak berdiri sendiri, namun dikembalikan kepada keta’atan kepada Allah dan Rasul-Nya. Bila perintahnya melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya, tidak boleh dita’ati sama sekali.(7)

Keharusan memberikan bai’at kepada selain kepala negara yang sah bermula dari kalangan pengikut tharekat. Syaikh Abdul Aziz bin Baz menjelaskan bahwa bai’at yang dilakukan di kalangan pengikut shufi tidak memiliki landasan dalil dalam agama.(8) Oleh karena itu, Imam As-Suyuthi dalam Al-Hawi lil-Fatawa saat ditanya oleh seorang pengikut shufi yang memberikan bai’at kepada seorang syaikh mursyid, kemudian dia berbai’at lagi kepada syaikh mursyid yang lain, manakah bai’at yang berlaku ? Beliau menjawab bahwa bai’at yang pertama maupun bai’at yang kedua semuanya tidak berlaku, karena tidak memiliki dasar hukum sama sekali.(9)

Fatwa Imam Suyuthi dalam Ad-Da'wah Ilallah

Sangat disayangkan pada jaman sekarang ini banyak orang yang terjerat oleh syubhat ba’iat, kemudian merasa dirinya harus patuh sepenuhnya tanpa boleh membantah sedikit pun. Bahkan banyak yang terpaksa melakukan tindakan yang tidak sesuai harkat dan martabat manusia, seperti memutuskan hubungan dengan keluarga, memasrahkan kehormatan, hingga melakukan bom bunuh diri. Padahal tidak ada konsekuensi apa pun pada bai’at-bai’at yang demikian. Sekalipun membatalkan seluruh bai’atnya dan keluar dari keanggotaan jama’ah atau kelompok tersebut, tidak ada aturan agama sedikit pun yang dilanggarnya karena bai’at dan berkelompok semacam itu tidak ada landasan dalilnya sama sekali dari Al-Qur’an dan Hadits.

Referensi :

(1) Al-Minhaj bi Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajaj, cetakan Dar Ibnu Hazm, Beirut hal 1435.

(2) Syarah Masail Al-Jahiliyah, cetakan Dar Al-‘Ashimah hal 14.

(3) https://www.al-albany.com/audios/content/142103

(4) http://fatawapedia.com/33448

(5) https://ar.islamway.net/fatwa/32003/

(6) http://www.saaid.net/ahdath/51.htm

(7) https://www.alukah.net/sharia/0/96076/

(8) https://binbaz.org.sa/fatwas/17994/

(9) Ad-Da’wah Ilallah karya Syaikh Ali Hasan bin Ali bin Abdul Hamid, cetakan Maktabah Ash-Shahabah, Jeddah hal. 60.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image