Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Abdullah Abubakar Batarfie

Sepenggal kisah RM Tirto Adhi Soerjo

Sejarah | 2021-11-11 11:28:55

Walikota Bogor Bapak Bima Arya dengan berbusana bak seorang priyayi jawa telah meresmikan nama Jalan RM Tirto Adhi Soerjo sebagai pengganti salah satu nama ruas jalan di kota Bogor yang sebelumnya dikenal cukup lama oleh warganya sebagai jalan Kesehatan, yang lokasinya berada di kawasan tanah sareal karana ada kantor dinas kesehatan Bogor di ujung jalan tersebut yang tempo doeloe sering diucapkan orang dengan sebutan kantor DKK, singkatan dari Djawatan Kesehatan Kota. Letak kantor itupun bukanlah muasal berdirinya, melainkan relokasi dari tempat lain sejak bekas pacuan kuda yang sudah ada pada masa Hindia Belanda itu disulap menjadi sebuah pemukiman elit dan komplek kegiatan olah raga masyarakat kota sekitar tahun 70an, antaranya adalah lapangan sepak bola Purana.

Bagi warga kota Bogor, nama RM Tirto Adhi Soerjo bukan tidak punya alasan untuk diabadikan, karena tokoh pers Indonesia ini memang telah menjadi bagian penting dari sejarah serta pertumbuhan kota Bogor. Paling tidak, pemilik nama asli Raden Mas Djokomono yang wafat di Batavia pada tahun 1918 tersebut, merupakan sosok yang pernah menetap untuk sementara waktu sejak kota ini masih bernama Buitenzorg. Hingga jasadnya kini dibaringkan untuk selama-lamanya dengan penuh hormat di pemakaman Bluder kota Bogor, setelah kematian beliau yang makamnya sempat berada di Batavia.

Selama di Buitenzorg itulah, kurang lebih sembilan tahun sebelum kematiannya, selepas Hadji Samanhoedi mendirikan perkumpulan Sjarekat Dagang Islam bersama para pengusaha dan pedagang kain batik di kampung Laweyan-Surakarta (Solo) pada 16 Oktober 1905, sebuah perkumpulan serupa dengan semangat yang sama bersifat independet dan tidak memiliki hubungan struktural antar keduanya, Tirto bersama-sama dengan para saudagar Arab di Kampung Empang-Bogor, juga mendirikan perkumpulan Sjarekat Dagang Islamijjah pada 5 April 1909. Perbedaan nama perkumpulan di Laweyan dan di Empang itu hanya terletak diakhiran kalimat "Islam" dan "Islam-ijjah" saja. Tapi keduanya sama-sama disingkat dengan SDI.

Dalam buku "Api Sejarah" yang ditulis oleh Ahmad Mansur Suryanegara, disebutkan bahwa lahirnya SDI versi Tirto sengaja dibentuk sebagai tandingan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap SDI yang dibuat oleh Hadji Samanhoedi di kampung Laweyan. Selain para saudagar Arab, disebutkan pula ada dua orang tokoh bumipoetra yang juga ikut duduk dalam kepengurusan SDI versi Tirto, mereka adalah Mas Ralius dan Hadji Mohammad Arsjad. Nama tokoh terkahir boemipoetra yaitu Hadji Mohammad Arsjad, namanya memiliki kesamaan dengan Goesti Hadji Mohammad Arsjad, bangsawan pemimpin pemberontakan kala perang terhadap Belanda asal kesultanan Banjarmasin yang ditangkap dan dibuang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda ke kampung Empang-Bogor bersama dengan istrinya Ratu Zaleha dan anggota keluarga kerajaan lainnya. Ratu Zaleha sendiri merupakan cucu dari Pangeran Antasari, Pahlawan Nasional Indonesia.

Selama masa proses pendirian serta pengembangan Sjarekat Dagang Islamijjah, sebuah bangunan tua di kawasan Pecinan yang berada dekat dengan klenteng Hok Tek Bio menjadi saksi bisu Raden Mas Tirto Adhi Soerjo menghabiskan hari-harinya selama berada di kota Bogor. Bangunan tua itu adalah bekas "Hotel Passer Baru" tempat ia menginap yang sekarang kondisinya sangat memprihatinkan dan hanya tinggal menunggu waktu rata dengan tanah.

Raden Mas Tirto Adhi Soerjo sebagai seorang jurnalis yang telah bekerjasama dengan saudagar-saudagar Arab di Empang, dalam mewujudkan ambisinya kelak oleh sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer, sosoknya dilukiskan dalam buku sastra non-fiksi karyanya sebagai "Sang Pemoela".

Dalam buku itu disebutkan Tirto tampil menjadi aktor intelektual dibalik lahirnya Sjarekat Dagang Islamijjah yang kerap melontarkan kritik pedasnya kepada sang penguasa. Pramoedya seolah ingin menyeru, sekaligus menunjukkan kepada bangsa ini bahwa, titik tolak kebangkitan intelektual Indonesia pertama untuk sebuah kebangkitan nasional dalam rangka melepaskan diri dari belenggu penjajahan menuju Indonesia Merdeka, telah dimulai oleh Tirto melalui media yang dirintisnya "Medan Prijaji", koran berbahasa melayu pertama dan dijadikannya sebagai alat kritik terhadap kebijakan penguasa yang merugikan rakyat, salah satunya yang menimpa seorang buruh perkebunan di Deli-Sumatra Timur pada tahun 1909.

Karena itu dapat dipandang keliru jika ada yang berpandangan pembentukan Sjarekat Dagang Islamijjah di Buitenzorg dibentuk sebagai organisai tandingan yang dibuat oleh Belanda sebagai reaksi atas lahirnya Sjarekat Dagang Islam di Laweyan Solo. Selain inisiatornya adalah Raden Mas Tirto Adhi Surjo sendiri sebagai seorang jurnalis yang dianggap berbahaya oleh Pemerintah Belanda, disebutkan tujuan utama Sjarekat Dagang Islamijjah adalah "Mendjaga kepentingan kaoem Moeslimin di Hindia". (tirto.id).

Diperkuat lagi dengan adanya motivasi Tirto dalam mendirikan Sjarekat Dagang Islamijjah merupakan cara dia menjaga jarak dari lingkaran keningratan yang selama ini selalu menyertainya. Bagi Tirto, salah satu cara untuk dapat memajukan kaum "terprentah" atau seperempat manusia" janganlah memiliki keterikatan atau ketergantungan kepada bangsawan maupun pejabat pemerintah. Akan tetapi harus bergerak bersama dengan individu yang mandiri dan bebas bergerak, salah satunya dengan golongan saudagar atau pengusaha swasta.

Terungkap pula bahwa Sjarekat Dagang Islam di Surakarta yang dipimpin oleh Hadji Samanhoedi pernah dibantu dalam pengurusan aspek legalnya oleh Tirto yang berkat bantuannya, perkumpulan Rekso Roemekso di Solo sebagai sayap Sjarekat Dagang Islam tetap terjaga eksistensinya dari ancaman pembubaran oleh pemerintah kolonial. Bahkan disebutkan pula Tirto ikut membantu membuatkan rancangan Anggaran Dasar Sjarekat Dagang Islam bersamaan dengan pengukuhan statusnya sebagai badan hukum. Hal itu terjadi pada 9 November 1911.

Dari dua hal diatas, yang pertama motivasi Titro dalam melahirkan gagasan terbentuknya Sjarekat Dagang Islamijjah di Buitenzorg (1909), dan kedua adanya interaksi kongkrit Tirto yang justru telah membantu menjaga eksistensi Sjarekat Dagang Islam yang justru atas permintaan sendiri dari pemimpinnya Hadji Samanhoedi pada tahun 1911, merupakan argumentasi yang cukup kuat serta beralasan untuk membantah bahwa Tirto bukanlah kaki tangan Belanda dengan mendirikan SDI di Empang-Bogor tahun 1909 guna menandingi SDI yang didirikan di Laweyan-Surakarta pada 1905.

Menjadi terang benderang lagi bahwa pada tahun 1911 itu, Tirto bukanlah menyerah kalah dengan membubarkan SDI Empang-Bogor (1909) bentukannya karena tidak sanggup bersaing dengan SDI Laweyan-Surakarta (1905) seperti anggapan sejumlah ahli sejarah, akan tetapi justru di tahun itu Ia telah memainkan peranan pentingnya bagi kelangsungan perkumpulan yang dipandangnya memiliki semangat yang sama selama ini dengan keinginannya. Adapun masa periode SDI Empang di Bogor mengalami kemerosotan itu terjadi justru sesudah akhir tahun 1912, akibat Tirto dibuang ke pulau Boeroe oleh pemerintah Belanda, setelah sebelumnya sekitar awal tahun 1910 sempat mendekam dalam penjara selama 2 bulan karena di dakwa telah menghina pemerintah Belanda melalui surat kabar yang dipimpinnya.

Tidak ada bukti valid yang dapat dipertangung jawabkan SDI Empang-Bogor membubarkan diri pada tahun 1911. Pun tidak ada peristiwa yang mencatat adanya deklarasi peleburan kedalam SDI pimpinan Hadji Samanhoedi. Tapi secara personal sejak masih dalam tahun 1912, tokoh-tokoh penyokong utama SDI Empang-Bogor, saudagar-saudagar Arab tersebut telah terlihat terlibat aktiv dalam Syarekat Islam setelah nama ini mulai muncul menggantikan nama lamanya dari Sjarekat Dagang Islam (SDI) menjadi Sjarekat Islam (SI), sejak setelah berlangsungnya kongres Syarekat Islam di kota Surabaya yang dipelopori oleh seorang tokoh pergerakan Nasionalis Islam Indonesia Hadji Oemar Said Tjokroaminoto, sosok sang Guru Bangsa yang digelari "Raja Jawa Tanpa Mahkota".

Sebagai seorang yang dianggap berbahaya oleh Belanda, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo adalah orang pertama yang menggunakan surat kabar berbahasa Melayu yang dipakai sebagai alat propaganda dalam membentuk pendapat umum. Dia telah berani menulis kecaman-kecaman pedas terhadap kebijakan dan perangai pemerintahan kolonial Belanda dalam surat kabar yang dipimpinnya. Lagi-lagi ini dapat membantah salah satu argumentasi yang menyebutkan pembentukan SDI "tandingan" adalah buatan Belanda di Bogor, jika konpensasinya adalah media Tirto telah dibiayai pengelolaannya atas bantuan Ratu Belanda.

Sekembalinya dari tempat pengasingan yang menjadi "penjaranya tanpa jeruji" di bumi Maluku, kondisi kejiwaan Tirto jatuh terpuruk. Ia selalu dalam pengawasan yang ketat oleh pemerintah kolonial hingga mentalnya semakin terlemahkan dan kesehatan fisiknya semakin memburuk, bahkan disebutkan Tirto mengalami goncangan kejiwaan yang sangat dahsyat. Pada tanggal 7 Desember 1918, tirto wafat bersama kesunyian hidupnya tanpa kawan dan lawannya di kawasan Mangga Doea Abdat di Batavia (Jakarta) dalam usia 38 tahun.

Sebagai seorang jurnalis, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo pernah menerbitkan surat kabar Soenda Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) serta Putri Hindia (1908). Medan Prijaji dianggap sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh proses produksi dan penerbitannya ditangani oleh orang-orang pribumi Indonesia asli, yang karena itulah sosoknya digelari oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai "Bapak Pers Indonesia".

Satu-satunya sumber yang tercatat tentang susunan pengurus awal Sjarekat Dagang Islamijjah di Empang-Bogor ada pada buku sastra-non fiksi yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer "Sang Pemoela"; dengan susunan sebagai berikut; Presiden: Sjech Achmad bin Abdoerachman Badjenet (saudagar), Wakil Presiden: Mohamad Dagrim (dokter), Komisaris-Komisaris: Sjech Achmad bin Said Badjenet (tuan tanah), Sjech Galib bin Said bin Tebe (tuan tanah), Sjech Mohamad bin Said Badjenet (tuan tanah), Mas Ralioes (tuan tanah) dan Hadji Mohamad Arsyad (saudagar). Kasir: Sjech Said bin Abdoerachman Badjenet dan Sekretaris Advisor: Raden Mas Tirto Adhi Soerjo.

Disebutkan kantor pusatnya berada di gedung sewaan yang berada di Jalan Tanjakan Empang. Diduga kuat lokasinya yang kini menjadi SDN Empang dekat dengan Bogor Trade Mall di Jalan Raden Saleh Sjarif Boestaman. Sebagai sebuah perkumpulan yang inisiatornya dianggap berbahaya oleh pemerintah Belanda, secara administratif perkumpulan Sjarekat Dagang Islamijjah mengantongi izin hanya dari kepala kantor Pengadilan Negeri Bogor dan belum mendapatkan pengesahan resmi dari Gubernemen. Namun demikian hal izin diabaikan dan kegiatan perkumpulan itu tetap berjalan yang bahkan mengangkat C.J. Feith, pejabat Asisten Residen di Buitenzorg sebagai pelindungnya.

Sjech Galib bin Said Tebe merupakan tokoh dari kalangan saudagar Arab yang paling berpengaruh dan memiliki andil cukup penting dalam kelahirannya. Perannya dalam pergerakan kebangsaan terus di ikutinya hingga ia menjadi tokoh dalam pergerakan Sjarekat Islam di Batavia (Jakarta) dan di Buitenzorg. Ia juga merupakan tokoh penting pada periode awal kelahiran organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyyah yang dipelopori oleh Syaikh Ahmad Soorkatty tahun 1914 di Batavia, dan ikut terlibat dalam pembukaan cabangnya di kota Bogor pada tahun 1928. Para penerusnya (anak) kelak menjadi tokoh-tokoh penting di Al-Irsyad cabang Bogor antaranya adalah Ustadz Ahmad Tebe dan Ustadz Sulthon Tebe. Ustadz Sulthon pernah menjadi Guru dan Kepala Sekolah pertama di Perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyyah cabang Banyuwangi dan sempat mengajar dibeberapa sekolah Al-Irsyad di cabang-cabang lain dan Perguruan-perguruan Islam lainnya, termasuk ikut mendirikan sekolah Pendidikan Guru Agama (P.G.A) di kota Bogor.

Sjech Ghalib bin Said Tebe adalah seorang Arab totok (wulaiti) kelahiran Hadramaut-Yaman Selatan yang pernah diangkat sebagai Hoofd der Arabieren pertama berpangkat Luitenant di Buitenzorg (sebelum 1914). Koleganya di perkumpulan Sjarekat Dagang Islamijjah, Sjech Achmad bin Said Badjenet pernah meneruskan jabatannya sebagai Hoofd der Arabieren di Bogor untuk jabatan 1921-1929. Keluarga fam "Badjened" yang semuanya menduduki jabatan inti dalam perkumpulan ini, merupakan penyokong utama lahirnya Sjarekat Dagang Islamijjah.

Sjech Ahmad bin Said Bajened merupakan pemerakarsa berdirinya sebuah lembaga "Student Hadharimah" di Mesir, dimana salah seorang bekas pengajarnya Ali Ahmad Bakatsir, dikemudian hari tampil menjadi tokoh spirit dan propagandis kemerdekaan Indonesia melalui karya sastranya yang terkenal "Audatul Firadus" yang kini sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia oleh Nabil A.Karim Hayaze dengan judul "Kembalinya Surga Yang Hilang".

Sedangkan nama Hadji Mohammad Arsjad diduga kuat oleh penulis adalah Goesti Hadji Mohammad Arsjad, seorang tokoh buangan Belanda yang ditempatkan di Empang bersama dengan istrinya Ratoe Zaleha bersama anggota keluarga pagustian asal Kesultanan Banjarmasin lainnya. Gusti Hadji Mohammad Arsyad adalah menantu sekaligus penerus perjuangan Pangeran Antasari yang memberontak dan melawan kepada penjajah Belanda yang berhasil ditangkap dan diasingkan bersama istrinya ke Buitenzorg di Kampung Arab Empang yang sekarang kita kenal kawasan bekas rumah pembuangannya tersebut dengan nama Gang Banjar.

Bogor 11 November 2021, Abdullah Abubakar Batarfie, Selamat Hari Pahlawan dan ucapan selamat atas diresmikannya nama ruas jalan yang telah mengabadikan RM Tirto Adhi Suryo di kota Bogor oleh Bapak Bima Arya

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image