Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image saman saefudin

Ajaran Ibrahim yang Abadi dan Monumental

Agama | Sunday, 10 Jul 2022, 10:38 WIB
Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/kementerian-agama-kemenag-menyampaikan-syarat-penyelenggaraan-penyembelihan-hewan_200706234054-455.jpg

Selain Nabi Muhammad Saw, barangkali Ibrahim As menjadi salah satu nabi/rasul yang paling familiar dengan umat Islam. Sebab nama Ibrahim selalu disandingkan dengan nama Muhammad Saw setidaknya dalam bacaan takhiyat akhir saat shalat. Bahwa setelah bershalawat atas Rasulullah, lalu disambung dengan; kama shallaita ala ibrahim, wa’ala ali ibrahim. (Sebagaimana aku bershalawat atas Ibrahim dan keluarganya).”

Tanpa bermaksud membedakan satu nabi dengan nabi lainnya, tetapi shalawat yang kita baca untuk Ibrahim dan keluarganya itu sudah menunjukkan sesuatu yang istimewa. Lebih dari itu, kalimat shalawat ini seolah ingin menegaskan ihwal kontinyuitas risalah Islam akhir zaman dengan apa yang dirisalahkan oleh Ibrahim. Dan momentum untuk merefleksikan hubungan tersebut tidak lain adalah pada Hari Raya Idul Adha, Idul Qurban, hari raya haji, karena semua ibadah tersebut tidak bisa dilepaskan secara historis dari figur Ibrahim dan keluarganya.

Dalam sebuah hadits, Idul Adha bahkan disebut sebagai hari yang agung, keagungannya melebihi Idul Fitri, karena dua hal, yakni karena ibadah kurban (an-nahr) dan momentum berkumpulnya jutaan para jamaah haji di Mina pada 11 Dzulhijah (al-qarr). Dan untuk menyebut semua yang terkait dengan ibadah haji dan kurban, bukankah ini semua berakar dari ajaran Ibrahim? Cukuplah untuk menyatakan bahwa seluruh ajaran Ibrahim adalah monumental, abadi karena dilembagakan menjadi ajaran dan ibadah di masa Rasulullah Saw sebagai nabi/rasul terakhir. Dan menariknya, sosok Ibrahim tidak hanya istimewa bagi umat Islam, tetapi juga mendapat tempat pula di kalangan penganut Yahudi dan Kristiani

Selain aspek ibadah, setidaknya ada tiga ajaran Ibrahim yang menjadi pondasi penting dan monumental, terawat kontinyuitasnya sampai saat ini.

Pertama, adalah nilai-nilai Tauhid. Meski semua nabi/rasul sejatinya membawa risalah tauhid, namun proses yang dilakoni Ibraim dalam proses pencarian Tuhan terbilang mengagumkan. Keyakinan atas tauhid atau monoteisme tidaklah didapat Ibrahim dengan mudah, tidak jatuh dari langit, melainkan melalui proses observasi dan penelitian yang sungguh-sungguh. Tidak heran sebagaimana diakui sejumlah sejarawan barat seperti Karen Amstrong, ajaran monoteisme Ibrahim adalah akar dan titik temu agama besar dunia (agama samawi), yakni Yahudi, Nasrani, dan Islam sendiri. Setidaknya ada dua drama besar yang digambarkan Alquran dari proses pencarian Tuhan yang dilakukan Ibrahim. Sejak muda, Ibrahim telah menunjukkan kegelisahannya (skeptis) terhadap konsep ketuhanan yang dianut masyarakatnya saat itu, di mana sebagian besar menyembah berhala dan sebagian lainnya menyembah benda-benda langit. Pun proses ini menjadi lebih rumit karena ayah Ibrahim sendiri diketahui sebagai salah satu seniman pembuat patung berhala yang bonafit. Maka Ibrahim pun menjalankan dua peristiwa besar dalam prosesnya menemukan Tuhan.

Drama pertama adalah saat ia seorang diri nekat menghancurkan patung-patung berhala di sebuah kuil pemujaan milik Raja Namruz. Dia hancurkan seluruh patung-patung (tuhan), dan menyisakan patung terbesar dengan mengalungkan kapak di lehernya. Ibrahim pun diadili dengan dakwaan menghancurkan tempat peribadatan. Tetapi pledoi yang disampaikannya menggelitik. “Kenapa tidak kalian tanyakan pada patung yang paling besar, toh ada kapak di lehernya.” Dalam keyakinan masyarakat saat itu, patung terbesar dalam sebuah kuil itu meresperentasikan derajat ketuhannya yang semakin besar pula. Namruz dan para pengikutnya pun marah, karena pernyataan itu telah mempermalukan keyakinan mereka.

Karena aksinya ini pula Ibrahim dihukum bakar oleh Raja Namruz.

Drama kedua, adalah saat Ibrahim mengamati benda-benda langit dan mengidentifikasikannya dengan tuhan. Ia terpesona dengan bintang dan menyangkanya sebagai tuhan, tetapi begitu bintang itu hilang ia kecewa. Saat melihat bulan, Ibrahim muda juga menyangkanya tuhan, tetapi esoknya juga hilang. Dan paginya ia saksikan benda langit paling besar: matahari, ini lebih layak menyandang predikat tuhan. Sayangnya, begitu sore matahari pun terbenam. Dalam logika Ibrahim, tuhan semestinya tak timbul tenggelam, tidak bergantung pada waktu. Proses ini juga dilukiskan Alquran dalam surah Al-An’am: 76-78.

Tahapan dan metode yang dilakukan Ibrahim dalam mencari tuhan ini dalam dunia sains dikenal sebagai fasilifikasi atau uji kesalahan, lawan dari verifikasi, sebuah metode menguji keabsahan sebuah kebenaran. Dalam falsifikasi, hal-hal yang paling dekat dengan kesalahan, paling menyangsikan, harus dieliminasi terlebih dahulu, sampai pada keyakinan (hipotesa) yang paling tidak meragukan. Ibarat menyortir barang hasil produksi, yang afkir singkirkan dulu. Dan hasil dari proses pencarian Ibrahim atas tuhan melalui falsifikasi ini dijelaskan pada QS. Al-An’am: 79;

Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.

Bahwa ada Tuhan yang Esa yang telah menciptakan benda-benda langit yang sebelumnya disangka sebagai tuhan. Senafas dengan itu, Allah pun melekatkan Ibrahim dengan karakter al-hanief, yang condong pada kebenaran. Sementara para sejarawan agama mendaulatnya sebagai The Father of Monitheism.

Monumen kedua adalah Islam. Bahwa dari proses pencariannya atas Tuhan Yang Esa itu, Ibrahim akhirnya mendapatkan kesimpulan bahwa bintang, bulan, matahari, dan bahkan alam semesta ini ternyata hanya tunduk patuh pada hukum Tuhan, itulah milah Ibrahim, itulah Islam dalam makna generiknya, yakni sikap tunduk dan patuh pada hukum Tuhan, sebagaimana matahari yang terbit dan tenggelam, benda-benda langit yang bergerak pada garis edarnya, sebagaimana pula benda-benda akan jatuh saat dilempar ke atas. Termasuk, saat apel yang jatuh dan mengenai kepala Isaac Newton di pelataran rumahnya, dan akhirnya dirumuskan Newton sebagai hukum gravitasi, itu juga bagian dari hukum alam (sunnatullah) yang dilekatkan Tuhan atas semesta.

Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah (aslim) !" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh (aslamtu) kepada Tuhan semesta alam". (Al-Baqarah: 131)

Sikap ketundukpatuhan Ibrahim pada Tuhan ini juga bisa dilihat dalam dua perintah amat berat yang harus dijalankannya. Pertama, saat ia menerima titah Tuhan untuk menyembelih Ismail, anak yang telah ia nanti selama berpuluh-puluh tahun kelahirannya. Yang kedua, saat Ibrahim diperintahkan meninggalkan Hajar dan bayi Ismail di Mekah tempo dulu, sebuah padang pasir yang gersang dan tandus, nyaris tanpa vegetasi. Karena dua perintah besar itu dilaksanakannya, maka ajaran ini pun melembaga sampai saat ini. Ada ibadah kurban dan haji. Dan Islam sebagai sikap ketundukpatuhan total ini akhirnya dilembagakan menjadi agama Islam pada era kenabian Muhammad Saw (Al-Maidah: 3).

Pondasi ketiga yang diajarkan Ibrahim adalah pendidikan keluarga. Sebagai lembaga sosial paling dasar, keluarga tidak sekadar sebagai pratana untuk proses reproduksi keturunan, melainkan harus didesain untuk melahirkan generasi unggul (shalih). Hal itu tergambar dari doa Ibrahim yang masyhur sampai saat ini:

Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. (QS. As-Saffat: 100)

Doa itupun terkabul, Ibrahim sukses melahirkan generasi unggul di mana sebagian menjadi nabi dan rasul, melalui dua putranya, yakni Ismail (dari Hajar) dan Ishaq (dari Sarah). Melalui garis Nabi Ishaq lahirlah Nabi Ya’kub (akar bangsa Yahudi) dan Isa (akar Nasrani), dan dari Islamil lahirlah nabi akhir zaman,; Muhammad Saw dengan risalah Islamnya.

Dari Ibrahim pula para orang tua layak belajar tentang ilmu parenting, yakni melalui bagaimana Ibrahim As membangun kedekatan dan komunikasi yang berkualitas dengan anaknya. Tengoklah saat ia melaksanakan perintah menyembelih Ismail. Meski itu perintah Allah yang mutlak dan tak bisa ditawar, ia tetap mendialogkannya dengan putranya yang bahkan masih berusia anak-anak.

Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". (QS. Ash-Saffat: 102)

Kebijaksanaan Ibrahim pada akhirnya menuai kesabaran Ismail. Dan atas kesabaran Ibrahim dan Ismail dalam berislam, maka Tuhan menghadiahinya sebuah kejutan; sebuah domba sebagai ganti Ismail.

Dari penjelasan tersebut, pantaslah jika umat Islam juga bershalwat untuk Ibrahim dan keluarganya. Karena risalah yang dibawanya abadi, menjadi monumen yang dilembagakan hingga akhir zaman.

“Dan kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. (Qs. As-Saffat: 108)

Wallahu a’lam. []

Versi lain dari tulisan ini pernah penulis publikasikan di sini

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image