Ultimatum Peti Mati
Sastra | 2021-11-09 20:54:13Jengkal demi jengkal yang sudah berlalu. Menapak jalan terjal berliku. Segala hal tentang kehidupan bermula, kita mulai dengan belajar berjalan tertatih dan terjatuh lalu menangis. Disambut dengan dekapan hangat ayah ibu yang senantiasa tersenyum bersahaja. Berulang kali kejadian itu terjadi, hingga kita lancar berjalan. Seakan kehidupan tak akan pernah terhenti, buktinya siang dan malam kita sibuk mencari segala hal untuk membangun kehidupan yang tak abadi ini.
Berlomba untuk lebih dan lebih diantara manusia. Berbusung dada, berbangga-bangga untuk hal yang tak selamanya. Banyak anak cucu, harta dan apa saja yang kita punya. Nyatanya tak menyadarkan kita bahwa kehidupan ini fana. Apa makna bahagia jikalau hidup itu akan usai. Bahagia hanya melengkapi hari-hari yang tak sempurna. Bahagia yang pada akhirnya juga bukan tawa dan bukan rasa bahagia.
Bahagia yang berujung dengan bulir-bulir air mata. Gradasi tingkat rasa dari terang benderang dan gelap gulita. Dari ada dan berakhir tiada. Dari bersama dan berakhir pisah. Dari tampak dan berakhir sirna. Dari menapaki dan berakhir terkulai lemah. Dari terpuji dan berakhir biasa. Dari sosok dan berakhir bukan siapa-siapa. Dan dari berdiri gagah hingga berakhir di peti mati yang terlupa.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.