Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image taufik sentana

Meneladani Spirit Nabi Ibrahim AS

Agama | Thursday, 07 Jul 2022, 10:16 WIB
Dok. Masjid Agung Aceh Barat. NN. Media aceh

Meneladani Spirit Nabi Ibrahim AS

===

(“Siapakah yang paling baik agamanya selain dari yang mengikuti ajaran Nabi Ibrahim yang lurus?”) Al-Quran.

====

Bagi kaum muslimin khususnya, yang sedang berada di bulan haji, tentu sangat sayang bila melewati rekam jejak sosok Nabi Ibrahim. Beliau termasuk Nabi Ulul-azmi karena perjuangan dakwahnya yang berat.

Dari sulbinya pula risalah kenabian berlanjut hingga ke Nabi Muhammad SAW sebagai khatamul-anbiya'. Bahkan dari do'a Nabi Ibrahim pula yang menjadi wasilah terbangunnya masyarakat Arab dan berkembangnya Makkah menjadi tempat berpautnya seluruh hati ummat manusia.

Sebagian cedekiawan (juga yang muslim) menganggap Ia sebagai bapak tiga agama samawi (langit), walau penulis tidak sepakat, karena realitas agama langit yang dibawa para Nabi hanyalah satu, yaitu ajaran menyembah Allah dan berserah diri (berislam) padaNya, yang di akhir Risalah kenabian barulah diformalkan menjadi Islam (wa radhitu lakumul-islama dina).

Pengakuan akademik seperti yang dimaksud cendekiawan di atas, khawatirnya, bisa mengarah pada menjadikan agama sebagai bagian dari ranting budaya manusia. Juga dikhawatirkan bisa menjadi pembenaran atas sebutan bahwa semua agama itu sama.

Walaupun demikian, ini menandakan bahwa dalam literasi Yahudi dan Nasranipun diakui bahwa Nabi Ibrahim adalah figur yang sangat sentral. Sampa-sampai ada masyarakat Makkah saat itu yang menyatakan bahwa Ibrahim adalah Yahudi dan lainnya mengatakan Ibrahim itu Nasrani.

Lalu Quran menyebutnya sebagai hanifan (lurus) musliman (berserah diri), pada redaksi lain, Quran mengajak mubahalah (minta sumpah dilaknat oleh Allah) atas klaim tersebut juga bersama Nabi Muhammad (yang muslim, dalam tradisi Ibrahim), tapi mereka menolak mubahalah tersebut (karena mereka yakin akan dilaknat sebagaimana Allah Melaknat kaum sebelum mereka).

Tapi entah kenapa, dalam seratus tokoh yang berpengaruh di dunia, (buku Michael H, 1992) Nabi Musa dianggap berpengaruh dalam ajaran Yahudi daripada Nabi Ibrahim AS, sebagaimana Nabi Isa memberikan pengaruh bagi kalangan Nasrani tapi bukan sebagai penyebar ajaran mereka.

Terlepas dari itu, dan kembali ke maksud dari tulisan kecil ini, ada beberapa nilai spiritualitas Nabi Ibrahim yang dapat kita coba praktikkan dalam keseharian. Kita ambil kata spiritualitas karena jama' digunakan untuk makna sikap rohani dan ruhiyyah.

Adapun urgensi dari spiritualitas tadi semakin menonjol di tengah kehidupan masyarakat kita yang condong materialistik.

Maka sangat elok kiranya bila kita dapat menggali beberapa nilai spiritulitas Nabi Ibrahim, tanpa mengesampingkan betapa ia cerdas secara kognitif dan kuat secara fisik dan ekonomi dengan puluhan ribu ternaknya.

Pertama, rasa ketuhanan.

Rasa ini selalu memenuhi ruang hati Nabi Ibrahim, hingga ada dialog romantis antar ia dan Tuhannya: Tunjukkan padaku bagaimana Engkau Menghidupkan yang mati? Jawab Allah: Apakah engkau belum percaya?. Nabi Ibrahim menjawab: hanya untuk menenangkan hati, hanya untuk tahu saja dan lebih mantap hatiku.

Rasa ketuhanan ini pula memberi ia kekuatan untuk rela dibakar”, tetapi Allah menolongnya, tentu karena keihlasannya dalam bertuhan. Dengan sikap ini pula ia berpindah(hijrah) dari Iraq ke Palestina, lalu ke Mekkah yang tandus yang jaraknya hingga 2000an Km, untuk kemudian kembali lagi ke Palestina (kota Hebron,Tepi Barat, Hebron berarti Khalil, gelar beliau, wafat di sana setelah periode dakwah di Mekkah).

Kita pahami bersama bahwa rasa ketuhanan Nabi Ibrahim bukan rasa yang gombal atau palsu, tetapi rasa bertuhan yang ikhlas penuh sikap tunduk dan dan rela berkorban serta menyesuaikan diri dengan perintah dan larangan.

Atas sikap ini pula Nabi Ibrahim diuji dengan perintah untuk menyembelih anaknya, yang memang akan ia lakukan dan anaknya pun juga ikhlas penuh sabar.

Hingga Allah menggantinya dengan kibas, karena Allah tahu Nabi Ibrahim bakal betul-betul menyembelih Ismail sesuai perintah. Lantas tradisi menyembelih hewan qurban (dalam rangka dekat ke Allah) menjadi ritus tahunan ummat muslim.

Kedua, selalu mengaduh (awwah) ke Allah.

Sikap pertama tadi mendorong Nabi Ibrahim untuk memelihara interaksi yang intens terhadap Allah. Di mana ia merasakan betul betapa dekatnya Allah dan betapa Allah akan mendengar doanya.

Sikap mengaduh ini bukanlah sikap yang cengeng sebagai hamba, tetapi sebagai sikap keterikatan diri akan Tuhan, Rabb semesta Alam. Dari sikap ini akan muncul percaya diri, keberanian dan ilham bagi manusia biasa” seperti kita.

Sikap inilah yang membuatnya rela menanti waktu yang panjang (hingga usia 80-an tahun) dalam mengharap kehadiran anaknya. Penantiannya pun dijawab Allah dengan garansi bahwa diantara mereka banyak yang menjadi Nabi pula.

Sikap awwah beliau ini seiring dengan sikapnya yang penuh kasih sayang, yaitu mengharap seluruh kebaikan untuk ummatnya, menjadikannya memiliki visi untuk perkembangan peradaban manusia di bumi Allah.

Ketiga, Munajatnya yang panjang.

Sebagian kita mungkin mengeluh karena doa yang tak' terkabul, padahal Allah mendengar doa tersebut dan mencatatnya sebagai kebaikan yang akan berat di Mizan kelak.

Tidak dengan Nabi Ibrahim, munajatnya yang panjang dan doa-doanya yang lengkap telah menjadi nyata di dunia.

Diantara doanya adalah, meminta Makkah yang tandus menjadi kota yang terbaik dan diberkahi.Nabi Ibrahim juga meminta agar dibangkitkan seorang Nabi dari keturunnya yang nabi tersebut secara khusus menjadi lanjutan ajarannya. Pada waktu lain ia juga meminta agar selalu bisa menegakkan shalat demikian juga keturunannya.

Demikianlah sekelumit nilai spiritulitas Nabi Ibrahim yang bisa menjadi amalan lanjutan kita dalam mengisi hari-hari hingga mata batin kita terasah dalam menunaikan kewajiban utama di bumi ini.

Taufik Sentana Staf ikatan da'i Indonesia cabang Aceh Barat. [email protected]

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image