Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Cut Elviani

Buku Tematik SD Ibarat Gado-Gado

Curhat | 2021-11-06 22:41:46

(Bagai gado-gado yang diaduk-aduk oleh si Penjual sebelum diserahkan ke pembeli)

Selama pandemi hampir dua tahun siswa sekolah daring dari rumah, yang mana peran orang tua lebih utama untuk belajar. Di sinilah saya mulai mempelajari buku tema sekolah dasar secara mendalam.

Saya coba mendampingi anak-anak anak saya yang masih bersekolah tingkat SD mulai dari mereka kelas ini 4 sampai kelas 6. belajar tematis dengan buku tema, saya harus mendampingi dua anak sekaligus dalam proses belajar daring. Konsep belajar tematis adalah beberapa pokok bahasan dalam mata pelajaran yang berbeda dikumpulkan dalam konteks tema tertentu. Misalnya dengan tema globalisasi (Buku tema 4, SD kelas 6).

Pokok bahasan setiap pelajaran tergabung dalam 1 buku yaitu buku tema, dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, IPS, Matematika, PPKN dipaparkan dalam tema globalisasi itu. Di buku tersebut ada teks, ada aktifitas, ada latihan dan diskusi.

Pengalaman dari seorang tenaga pendidik yang menjadi guru les private anak saya, membuat penelitian yang intinya buku tema tidak tepat sebagai solusi pendidikan dasar.

Karena modalnya bercampur, tidak mudah mencari bagian tertentu, di dalam buku tema ini. Semua bercampur. Misalnya, anak diminta menulis sambungan teks ekplanasi dalam suatu paragraf. .... “Solusi dari persoalan ini adalah Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) ...... (anak disuruh melanjutkan kalimat ini hingga akhir paragraf). Ini high order of thinking.

Buku harus dibolak-balikkan untuk mencari konteks yang diminta pada latihan ini. Dibaca berulang-ulang, Itupun akhirnya tidak ditemukan hasil atau jawabannya.

Contoh lain, anak diminta mendiskusikan tentang dampak globalisasi, dengan tema sentral berfikir global bertindak lokal. Setelah diskusi anak disuruh mengisi matriks tentang contoh, sikap, dampak dll. Saya sendiri yang berpendidikan sarjana sulit untuk memahami akan buku tema tersebut bahkan harus saya buka google untuk mendapat jawaban dari materi anak SD. Tidak semua orang tua siswa memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolah mereka.

Keluhan-keluhan mengenai buku tematis banyak dikeluhkan para wali murid yang tingkat pendidikan mereka berbeda-beda. Keluhan terdekat yang langsung diceritakan ke saya dari seorang buruh cuci yang bekerja di rumah saya dengan tingkat pendidikannya hanya lulusan sekolah dasar.

Sulit membayangkan bagaimana buku ini dapat dimengerti oleh anak SD. Pengetahuan dan wawasan apa yang sudah mereka punya sebagai bahan dasar diskusi. Sedangkan orang tua yang mendampingi di rumah pun pusing tidak dapat membantu.

Model tematis seperti ini sangat tidak jelas bisa dikatakan kabur dalam mencerna materi, tidak jelas kompetensi yang hendak dibangun pada setiap bagian. Konteks yang dipilih terlalu kompleks, tidak sesuai dengan perkembangan kognitif anak. Pemilihan tema, kosa kata terlalu sulit. Misalnya cara kerja panel surya, dengan banyak istilah teknis, lebih cocok untuk anak SMA yang sudah belajar fisika.

Materi yang bercampur ini bagaikan gado-gado yang sudah diaduk-aduk oleh si penjual, baru disajikan ke anak. Benar-benar tidak efisien, tidak menarik dan menghilangkan semangat belajar pada anak hingga menjadikan sianak menjadi frustrasi. Banyak anak tidak mau menuntaskan belajarnya karena bingung dan membuat si anak menjadi malas.

Kepada departemen yang mengelola pendidikan . Berhentilah bereksperimen gonta-ganti kurikulum, macam poco-poco saja. Maju selangkah mundur dua langkah. Begitu juga dengan mutu pendidikan, bukan tambah membaik melainkan jauh ketinggalan karena buku gado-gado yang disebut tematis itu.

Mahal sekali dampaknya, banyak energi dan waktu yang hilang dengan model kerja coba-coba seperti ini. Nanti di luar itu, sekolah disalahkan, dituding berkualitas rendah, skor PISA jeblok. Butuh bertahun-tahun bagi guru untuk dapat beradaptasi pada model-model belajar yang berganti-ganti ini.

Kita bagaikan orang tak berpendirian, sebentar ganti, sebentar diubah. Pejabat bagai tidak sudi melanjutkan program yang dibuat pendahulu, tak sudi menyiang yang sudah tumbuh, lebih suka menanam baru. Bagai kodok, kapan teringat, langsung melompat. Tak dikaji jauh-jauh sebelumnya.

Akhirnya semua jadi proyek-proyek baru, proyek buku, proyek pelatihan, proyek monitoring serta evaluasi. Biayanya tidak sedikit. Sadarlah, harus berapa banyak generasi yang dikorbankan untuk eksperimen coba-coba seperti ini

Jika sebuah sistem yang sudah baik dan bisa diterima oleh generasi pendidikan, ada baiknya sistem tersebut dilanjutkan dan pemerintahan selanjutnya tinggal memikirkan bagaimana kelanjutan untuk lebih baik kedepan bukan menciptakan eksperimen-eksperimen baru...[CeZa].

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image