Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MOH ZULHAM ALSYAHDIAN

QUO VADIS GURU DI ERA DISRUPSI : PELUANG ATAU TANTANGAN ?

Guru Menulis | 2022-07-04 09:05:18

Hari ini kita berada di era Disruption. Era di mana dunia hari ini ditandai dengan Vitality, Uncertainty, Complexity, dan Ambiguity. Hidup di era disruption ini membuat kita harus terus mengupdate dan mengupgrade diri, untuk meningkatkan kompetensi. Karena angin perubahan tidak pasti, dan bisa sewaktu-waktu datang menghampiri. Pandemi Coronavirus Diseaese 2019 (selanjutnya Covid-19), telah mengajarkan kita agar terus mempersiapkan diri, untuk menghadapi tantangan yang datang silih berganti.

Menghadapi tantangan ini, seakan kembali menemukan relevansinya, sebagai upaya untuk menjadikan guru menjadi survive di tengah gelombang transformasi kehidupan. Pilihannya apakah bisa memanfaatkan momentum untuk bisa memaksimalkan situasi dan kondisi, untuk sebanyak mungkin memajukan dunia pendidikan, ataukah pasrah, menyerah dan kalah.

Memang sebuah perubahan (dimanapun) itu, pasti sulit diawal. Akan ada yang antipati bahkan resistensi. Apalagi bagi mereka yang sudah lama berada di zona aman dan nyaman (comfort zone). Tapi percayalah, sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Heraclatos, filsuf Yunani, Nothing endures but change. Tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan itu pasti akan datang, cepat atau lambat. Apalagi, perubahan yang terjadi berlaku secara cepat, massif, dan berdampak besar pada perkembangan di masa depan.

Tidak terkecuali bagi Guru. Persoalannya, bagaimanakah eksistensi guru dalam menghadapi era disrupsi yang sangat dinamis dan cepat berubah, sulit diprediksi, rumit dan penuh komplikasi, serta membingungkan dan penuh paradoks ini. Guru seharusnya tertantang untuk tetap survive dengan cara menempatkan dirinya sebagai individu yang mampu bersifat adaptif menerima dinamika kehidupan.

Disruption : Sebuah Era Baru

Pada tahun 1997, Clayton M. Christensen (Kasali, 2017), memperkenalkan teori yang kelak dikenal sebagai Disruption. Kata Disruption ini menjadi amat populer karena bergerak sejalan dengan muncul dan berkembangnya aplikasi-aplikasi teknologi informasi dan mengubah bentuk kewirausahaan biasa menjadi start-up. Disruption adalah sebuah inovasi. Inilah inovasi yang akan menggantikan seluruh sistem lama dengan cara-cara baru. Disruption berpotensi menggantikan pemain-pemain lama dengan yang baru. Disruption menggantikan teknologi lama yang serba fisik dengan teknologi digital yang menghasilkan sesuatu yang benar-benar baru dan lebih efisien, juga lebih bermanfaat. Disruption kata Christensen menggantikan ‘pasar lama’ industri, dan teknologi, dan menghasilkan sesuatu kebaruan yang lebih efisien dan menyeluruh. Ia bersifat destruktif dan creative.

Konsep dasar Disruption itu sebenarnya simpel. Disruption adalah perubahan dengan kekacauan, jadi bukan asal perubahan. Ia menjadi berbeda, karena hadirnya pelaku-pelaku bisnis baru yang membawa masa depan ke masa kini, Tomorrow is today. Disruption merupakan suatu proses. Ia tidak terjadi seketika. Dimulai dari ide, riset atau eksperimen, lalu proses pembuatan, pengembangan business model. Ketika berhasil, pendatang akan mengembangkan usahanya pada titik pasar terbawah yang diabaikan, lalu perlahan-lahan menggerus ke atas, ke segmen yang sudah dikuasai incumbent.

Dalam konteks Indonesia hari ini, betapa ketika Pandemi Covid-19 yang terjadi pada akhir tahun 2019, yang meluluhlantakkan berbagai sendi kehidupan masyarakat di seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Indonesia mengalami “shock attact”, sehingga terjadi kegamangan dan kebingungan untuk beradaptasi dalam pembelajaran pada masa Pandemi Covid-19. Tidak heran, banyak guru yang dalam melakukan proses pembelajaran, sekedar memberikan tugas dan tugas silih berganti, demi mengejar penuntasan kurikulum an sich, dalam kata lain para guru terjebak pada materialisme kurikulum. Tidak ada upaya untuk mengeksplorasi lebih jauh materi pembelajaran dan penugasan, dalam bentuk sesuatu yang lebih kontekstual (contextual learning) dan bermakna (meaningfull learning).

Sehingga yang banyak terjadi di institusi pendidikan kita (dari berbagai jenjang), yang ditandai dengan carut marutnya dunia pendidikan dengan berbagai problematika yang kompleks, mulai dari tingginya angka bolos/alfa dalam kegiatan Pendidikan Jarak Jauh (selanjutnya PJJ), tugas yang tidak diselesaikan, yang berimbas pada angka putus sekolah yang semakin tinggi. Belum lagi isu karakter/sikap siswa selama proses PJJ ini.

Guru dan institusi pendidikan akan terus menghadapi berbagai tantangan sesuai dengan zamannya. Hanya saja tantangan kali ini merupakan batu uji untuk mengetahui, sejauh mana indepedensi dan eksistensi guru, di dalam menghadapi dinamika kehidupan yang bergerak semakin tidak terprediksi dan terkendali. Era disrupsi dengan segala dampaknya akan mengubah secara fundamental model dan kultur dunia pendidikan yang selama ini cenderung tertinggal.

Peluang atau Tantangan : Qua Vadis Guru Di Era Disrupsi

Dalam menghadapi dilema situasi dan kondisi di atas, para guru (di mana pun berada) seakan dihadapkan pada pilihan antara berubah atau menyerah, resistensi atau adaptasi, transformasi atau stagnasi. Sementara itu, situasi dunia sudah banyak terjadi perubahan di berbagai lini kehidupan. Bagi siapa yang tidak menyikapi dan mengikuti perubahan, niscaya akan dilindas zaman. Itulah hukum besi perubahan.

Ada sebuah metafora yang sangat bagus dari Rhenald Kasali di dalam menghadapi setiap tantangan, yaitu menjadi telur atau bola kasti. Telur memang keras (cangkangnya), tetapi ketika dihempaskan ke lantai dia langsung pecah. Inilah gambaran Sang Pecundang (the looser), yang cepat menyerah kalah ketika menghadapi setiap tantangan. Sebaliknya bola kasti, semakin kuat dihempaskan ke lantai, maka pantulannya akan semakin tinggi, semakin kuat semakin melambung tinggi. Inilah gambaran dari sosok Sang Pemenang (the winner), yang menjadikan setiap tantangan sebagai momentum untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas diri. Sebagaimana ungkapan William Friedericht Nietzche, “Segala sesuatu yang tidak membunuhku akan membuatku kuat.”

Dalam mengantisipasi realitas dunia hari ini (dan mendatang), para guru harus terus berubah dan berbenah. Mereka harus terus meningkatkan kualifikasi dan kompetensi diri untuk menjadi guru yang (benar-benar) profesional. Karena sebagaimana sebuah ungkapan inspiratif, “guru yang berhenti belajar, berhentilah mengajar”.

Momentum Pandemi Covid-19 menjadi kesempatan emas bagi siapa pun para insan pendidik untuk belajar dan terus belajar. Kalau pada masa sebelumnya, sangat sulit bagi para guru untuk belajar guna meningkatkan kualifikasi diri (baik itu melalui diklat, seminar, pelatihan, dan semacamnya), berbanding terbalik dengan situasi hari ini, di mana para guru dengan sangat mudahnya untuk belajar dan mengikuti berbagai kegiatan pengembangan diri, kapanpun, dimanapun dan dari siapapun, melalui kegiatan yang diselenggarakan secara online (baik via zoom cloud meeting maupun google meet).

Pun juga Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek), secara berkala dan kontinyu melakukan berbagai kegiatan untuk peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru melalui aktivitas Guru Belajar, Guru Berbagi, Guru Penggerak, Sekolah Penggerak, Organisasi Penggerak, dan berbagai aktivitas lainnya.

Mungkin pada saat inilah terjadi masifikasi kegiatan pengembangan diri untuk pengembangan kompetensi diri guru. Untuk gambaran saja, sebagaimana informasi yang dilansir di portal Guru Belajar dan berbagi, 4 Juli 2022 06:00 WIB, bahwa total jumlah penggunanya mencapai angka 1.220.543 orang. Belum lagi para guru yang mengikuti kegiatan Pendidikan Guru Penggerak, yang sudah mencapai angka 24.400 guru (per angkatan 5) 2022.

Pada akhirnya, bagi para guru saatnya untuk berubah. Memang perubahan itu tidak menjamin keberhasilan, akan tetapi tidak ada keberhasilan yang bisa diraih tanpa perubahan. Kalau bukan sekarang kapan lagi, kalau bukan kita siapa lagi. Sebagaimana ungkapan bijak dari KH Abdullah Gymnastiar (AA Gym), “Mulailah perubahan itu dari sendiri, Mulailah perubahan itu dari hal keci, dan Mulailah perubahan itu saat ini juga”. Bukan malah justru memfosil, membeku, seraya bernostalgia dengan masa lalu.

Moh Zulham Alsyahdian, S.Hum, M.Pd

Bertugas sebagai Guru di SMP Negeri 1 Keritang, Kecamatan Keritang Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau. Penulis berdomisili di Dusun Duku Desa Kotabaru Seberida Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir Provinsi Riau, Kode Pos 29274

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image