Mempertanyakan Urgensi PCR di Saat Kurva Melandai
Politik | 2021-11-04 05:46:03Oleh: Siti Subaidah Pemerhati Lingkungan dan Generasi
Penurunan kasus COVID-19 di Indonesia saat ini membuat kebijakan pemerintah ikut berubah. Salah satunya dalam mode transportasi udara. Saat ini pemerintah telah mengizinkan pesawat mengangkut penumpang dengan kapasitas penuh atau 100 persen seiring pemberlakuan syarat tes polymerase chain reaction (PCR) bagi penumpang pesawat. Dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) Nomor 53 Tahun 2021, pemerintah mewajibkan penumpang perjalanan udara membawa hasil tes PCR (H-2) negatif sebagai syarat penerbangan pada masa PPKM.
Adapun sebelumnya pemerintah hanya mewajibkan pelaku perjalanan udara menunjukkan hasil negatif antigen (H-1) sebagai syarat penerbangan. Ketua Bidang Penanganan Kesehatan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Alexander Ginting mengatakan bahwa kebijakan itu diubah untuk mencegah penularan virus corona ketika mobilitas mulai meningkat sehingga screening harus lebih diperketat.
Terbitnya kebijakan baru ini tentu menimbulkan beragam asumsi di tengah masyarakat. Mengapa kebijakannya harus berubah? Jika dahulu dengan antigen saja cukup, mengapa di saat kurva melandai justru harus menggunakan PCR? Apalagi kebijakan ini sangat memberatkan masyarakat karena biaya PCR yang harganya jauh lebih mahal dibanding dengan antigen. Di samping itu jika dilihat lebih jauh, kebijakan ini tidak sejalan dengan upaya pemerintah yang saat ini sedang menggerakkan iklim pariwisata dan ekonomi nasional yang sempat terjun bebas.
Sebagaimana kita ketahui pemerintah telah menetapkan kebijakan demi memulihkan ekonomi akibat terpuruk karena pandemi, namun dilihat dari sisi kebijakan ini tak ada korelasinya yang terjadi, justru masyarakat jadi berpikir dua kali untuk bepergian karena mahalnya biaya yang dikeluarkan. Sejumlah pihak pun ikut mengkritik kebijakan ini.
Salah satunya Kepala Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Aceh, Taqwaddin Husin. Ia juga menyarankan agar kebijakan tes PCR sebelum terbang menggunakan pesawat udara perlu ditinjau kembali dan bahkan dibatalkan. Kebijakan Untuk Siapa? Walaupun berdalih bahwa kebijakan ini telah melalui pertimbangan yang matang. Namun, tetap saja terlihat kebijakan ini murni bukan untuk kepentingan bahkan keselamatan masyarakat. Jika dengan alasan kesehatan, mengapa hanya berlaku bagi mode transportasi udara tidak untuk semua mode transportasi?.
Maka dari sini wajar jika asumsi diluar berkembang liar. Kebijakan ini sarat akan bisnis. Lagi-lagi siapa yang diuntungkan tentu maskapai penerbangan dan penyedia jasa PCR, dalam hal ini bisa kita kategorikan sebagai pengusaha atau para kapital. Dalam sistem kapitalisme yang diemban oleh negeri ini, wajar sekali kita menemukan kebijakan yang demikian. Kebijakan yang mementingkan kepentingan pengusaha ketimbang kepentingan masyarakat. Kapitalisme sendiri berasal dari kata kapital yang artinya pemilik modal.
Di mana lazimnya dalam sistem ini, pemilik modal atau para pengusaha lah yang diutamakan. Siapa yang dapat memberikan keuntungan yang banyak maka dialah yang dilayani. Tak perlu jauh-jauh mencari contoh. UU Ciptaker, UU Migas, UU Minerba adalah serentetan kebijakan yang memihak pada pengusaha, sementara rakyat jadi korban. Berbeda jika kita menengok sistem Islam. Islam menempatkan kepentingan umat di atas segala-galanya. Khalifah akan senantiasa berhati-hati dalam mengambil kebijakan.
Berusaha memberikan yang terbaik untuk umat, karena inilah tanggung jawab yang ia pikul sebagai seorang pemimpin. Kebijakan yang diambil pun tidak akan sampai memberatkan apalagi membebani umat. Apalagi jika ini menyangkut keselamatan umat. Segala sesuatunya akan dipikirkan matang-matang.
Kebijakan yang diambil pun selalu disandarkan pada Al-Qurâan dan As Sunnah. Sumber hukum yang pasti adil karena berasal dari Yang Maha Adil. Tidak seperti sekarang hukum bisa dibuat oleh manusia sesuai dengan hawa nafsunya dan kepentingannya. Sejatinya umat akan selalu terpuruk dalam lubang kedzaliman selama sistem kapitalis dibiarkan terus bercokol mengatur urusan umat. Umat akan selalu jadi korban dari kebijakan yang hanya memenuhi kerakusan para kapital. Sudah saatnya kita beralih pada sistem yang paling adil, yakni Islam. Wallahu a'lam bishawab
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.