Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Mutiara Permata Hati Soleha

Mewujudkan Negara Hukum yang Berkeadilan

Politik | Saturday, 02 Jul 2022, 14:06 WIB

Permasalahan tentang keadilan telah menjadi pertanyaan yang telah ditanyakan sejak awal peradaban manusia. Oleh karena itu, semua orang pada umumnya mendambakan keadilan dalam hidupnya. Sangat penting bahwa keadilan mulai muncul bersamaan dengan konsep keadilan. Berbicara tentang sistem peradilan, tidak terlepas dari teori kekuasaan kehakiman John Locke dan Montesquieu, yaitu kekuasaan kehakiman harus dipisahkan dari kekuasaan lainnya. Pemisahan kekuasaan bertujuan untuk mencegah kesewenang-wenangan dan menjamin independensi lembaga peradilan (politik, administratif, struktural dan personal) sesuai dengan prinsip negara hukum.

Proporsi lainnya, dengan adanya pemisahan kekuasaan, diharapkan para penegak hukum memiliki kebebasan untuk menegakkan keadilan, karena perselisihan atau persoalan harus diselesaikan dengan nilai-nilai filosofis humanis keagamaan. Bagi bangsa Indonesia, nilai-nilai tersebut sudah ada cerminnya, Pancasila. Dari sudut pandang ini, aparat penegak hukum atau pejabat otoritas kehakiman harus merefleksikan penegakan keadilan. Namun yang terjadi, aparat penegak hukum tidak mau bercermin pada Pancasila ketika menjalankan fungsi-fungsi sistem peradilan, bahkan menyimpang dari nilai-nilai yang dikandung Pancasila.

Konsep keadilan di Indonesia adalah berasaskan keadilan sosial sebagaimana tertuang dalam Sila Kelima dari Pancasila. Dipertegas lagi dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan “ terbentuknya dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. selanjutnya, dikatakan bahwa Pemerintah Indonesia “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”. Konsep tersebut mengandung pengertian kesadaran penuh dan oleh karena itu keadilan sosial harus dilaksanakan sepenuhnya dalam masyarakat. Namun pada kenyataannya, makna dan isi keadilan sosial sangat kurang dipahami sehingga cita-cita masyarakat adil dan makmur jauh dari harapan semua orang di Indonesia, terutama mereka yang mencari keadilan.

Mohammad Hatta senantiasa mengemukakan Pancasila terdiri dari dua lapis fundamental, yaitu: fundamen politik dan fundamen moral. Jika landasan moral didahulukan, negara dan pemerintahnya akan mendapatkan landasan yang kokoh dan memerintahkan mereka untuk melakukan hal yang benar. Keadilan sosial telah tercipta bagi seluruh rakyat Indonesia dengan menjunjung tinggi moralitas kebijakan pemerintah. Selanjutnya dikatakan: Landasan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah landasan yang membimbing cita-cita bangsa kita, dan memberikan jiwa untuk berjuang mencapai semua yang benar, adil, dan baik. Pada saat yang sama, fondasi manusia yang adil dan beradab adalah kelanjutan dari perilaku dan praktik hidup, bukan fondasi sebelumnya. Landasan keadilan dan kemanusiaan yang beradab harus diikuti dan dipadukan dengan landasan pertama. Tempatnya tidak terpisahkan karena harus dilihat sebagai kelanjutan dari amalan hidup ketimbang cita-cita dan tindakan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jika proses penegakkan hukum di Indonesia berjalan sesuai dengan Pancasila maka tujuan hukum pasti akan tercapai. Namun buruknya mental para penegak hukum membuat tujuan hukum sangat sulit tercapai. Perlu pembaharuan yang komperehensif agar ada perubahan dari paradigma yang telah tertanam di pemikiran para penegak hukum. Permasalahan dalam proses penegakkan hukum di Indonesia tidak berjalan dengan benar adalah karena hukum kita bisa di beli. Money oriented menjadi tujuan dari hukum Indonesia. Karakterisitik pemidanaan yang kurang tegas mengakibatkan tidak adanya efek jera untuk para penegak hukum yang lain. Selan itu, budaya korupsi sudah sangat mengakar dan sangat sulit untuk dihilangkan. Perlu terobosan yang sangat luar biasa untuk membenahi seluruh aspek penegakkan hukum di Indonesia.

Untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum yang berkeadilan sosial adalah dengan memperbaiki proses penegakkan hukum. Penegakkan hukum di Indonesia harus bersih dan bebas korupsi. Jika penegakkan hukum di Indonesia bersih, maka tidak akan ada lagi istilah hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, karena hukum akan memandang semua orang sama derajatnya di mata hukum (equality before the law) sebagaimana teori keadilan Aristoteles.

Indonesia memiliki lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun kita tahu bahwa kinerja dari KPK belum maksimal, tapi sedikit banyak hadirnya KPK menjadi angin segar bagi para masyarakat yang telah lama menginginkan keadilan. Begitupun sebaliknya, KPK ditakuti oleh para koruptor. Perlu peningkatan secara Sumber Daya Manusia dan finansialnya serta profesionalitas agar KPK dapat bekerja secara maksimal.

Memang korupsi telah semacam menjadi budaya. Hal inilah yang harus dirubah secara perlahan-lahan. Peningkatan taraf hidup mungkin perlu dilakukan. Tetapi, selain peningkatan taraf hidup, pemberian hukuman untuk kasus korupsi perlu juga ditingkatkan agar memberi efek jera. Disinilah tugas para legislatif dan eksekutif. Perlu dilakukan revisi terhadap undang-undang tindak pidana korupsi dengan menambahkan sanksi yang berat.

Jika kita bisa menghilangkan budaya korupsi para penegak hukum, proses penegakkan hukum pasti akan berjalan dengan lancar. Tujuan dari hukum yaitu keadilan pun akan terlaksana. Proses penegakkan hukum yang bersih, akan membuat para pencari keadilan lebih merasakan arti negara hukum yang diamanatkan oleh konstitusi. Untuk mendapat keadilan tidak lagi perlu mengeluarkan biaya yang mahal, tapi mendapat keadilan sudah menjadi hak tiap-tiap warga yang telah dijamin konstitusi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image