Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Institut Daarul Quran

Kajian Perspektif Akademis Kabinet Indonesia Maju SEMA Idaqu

Info Terkini | 2021-11-02 15:03:15

SEMA (Senat Mahasiswa) Idaqu menggelar webinar bertemakan “Perspektif Akademis Kabinet Indonesia Maju”. Acara ini dibuka oleh Wakil Rektor III Idaqu, Ustadzah Rina Susanti Abidin Bahren, lalu sebagai pemandu jalannya acara Darmansyah, Mahasiswa Prodi MBS bertindak sebagai moderator. Webinar berlangsung pada Sabtu, (31/10).

Dalam webinar kali ini mengundang Fauzi Hadi Lukita S.IP., M.H . Yang merupakan seorang Penulis Buku KPK dan Ormas Islam Dalam Politik Hukum Antikorupsi. Sebagai awal pembahasan materi Pak Fauzi menceritakan beberapa masalah-masalah tentang kenegaraan yang sedang viral.

Setelah itu Pak Fauzi pun meilustrasikan bapak Presiden dan Kabinetnya sebagai seorang mahasiswa. Perspektif ini disatukan terlebih dulu yang dimana bahwa seorang mahasiswa duduk di semester 4 sedang menempuh empat mata kuliah wajib. Mata kuliah ini menjadi salah satu rating yang dibicarakan dalam negara ini. Baik di media sosial atau di warung-warung kopi. Berikut ini mata kuliah nya :

1. Ekonomi

2. Politik

3. Kebijakan Publik

4. Penegakan Hukum

Pertama dalam hal ekonomi, isu ekonomi dalam sub bahasan bantuan sosial, dalam 2 periode pak presiden ini 2019 akhir hingga dilantik ini sekarang 2021 kurang lebih dua tahun tepat persoalan pandemi ini muncul di awal tahun 2020. Pak Presiden dan para kabinetnya dalam menangani pandemi ini bahwa di menteri keuangan awalnya telah menggelontorkan anggaran APBN 405 triliun. Uang ini dibagi menjadi ke 4 sektor, yang pertama sektor kesehatan 75 triliun, bantuan sosial 110 triliun dan intensif pajak serta kredit usaha 70,1 triliun dan pemulihan ekonomi itu 150 triliun. Kabar terakhir dibulan lalu bahwa Ibu Sri Mulyani Indrawati Menteri Keuangan sudah menangani pendanaan keuangan ini sejumlah 705 triliun.

Begitu banyak anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintah khususnya dalam mengambil APBN itu sendiri. Lembaga para riset mengatakan bahwa proses bantuan sosial ini tidak terdistribusikan secara merata, ada yang mendapatkan full, ada yang mendapatkan setengah, ada juga yang bahkan tidak mendapatkan apapun. Ini menjadi persoalan ditambah lagi kita tahu bahwa Menteri Sosial Juliari Peter Batubara yang seharusnya menenangkan warga Indonesia dengan sembakonya justru mengambil 10.000/paket sebagai bantuan sosialnya.

Hal ini pun diketahui oleh para KPK dan ini menambah kegalauan presiden, yang seharusnya para anak buahnya membantu presiden tapi sebaliknya membuat presiden memiliki citra menjadi buruk di mata rakyat, karena di masa pandemi melakukan korupsi. Ini memberikan masalah yang begitu fatal di pemerintahan presiden periode kedua. Filsuf dari Perancis bernama Simone de Beauvoir berkata bahwa “Kegagalan dari Menghadapi Pandemi ini Justru Sebenarnya Bagian dari Kesuksesan Para Kapitalisme”. Jadi ketika ada kelompok yang menganggap bahwa pandemi ini pemerintah gagal menjalankan kebijakan ekonomi dalam konteks pandemi ini disatu sisi ada kelompok-kelompok yang diuntungkan dengan kegagalan ini yang disebut sebagai oligarki.

Jeffrey A. Winters mengatakan oligarki ini adalah sekelompok orang yang memiliki kekayaan berjumlah besar yang memang tujuannya untuk mempertahankan dan menambah kekayaannya. Dengan inilah berkorelasi para elite di pemerintah kita ini. Dalam mata kuliah kebijakan publik dalam sub bahasan bantuan sosial pak Fauzi menilai dengan ipk C dalam bobotnya.

Lalu pada mata kuliah yang kedua, mata kuliah politik dalam sub bahasan konsolidasi politik. Pak Presiden hingga partainya dan konsulnya itu sebenarnya cerdas, mengapa demikian dikatakan cerdas? Karena di awal pasca pilpres 2019, Pak Presiden mampu meredam tensi kerasnya dua kubu. Isu ini menjadi umum pada pendukung pak Presiden dan pak Prabowo. Isu ini berhenti hanya dengan kebijakan pak Presiden mengangkat oposisi terkuat nya pak Prabowo ke dalam menteri pertahanan.

Namun keluhan juta pendukung dari pak Prabowo menjadi sakit hati, karena Indonesia telah kehilangan oposisi yang terkuat. Jika mengingat perkataan Cak Nun bahwa “Negara demokratis itu indikatornya salah satunya adalah ada oposisi.” Oposisi pak Prabowo dengan partai Gerindra itu seharusnya bisa ikut juga dengan para penguasa. Dalam kabinet ini tidak menjadi oposisi alasannya untuk keamanan bangsa. Itu menjadi perdebatan.

Tapi kita dapat melihat bahwa setelahnya ditariknya masuk pak Prabowo justru masa reshuffle yang pertama pak presiden juga kembali memanuver orang yang mendampingi pak Presiden bapak Sandiaga Uno dengan menjadi menteri pariwisata dan lengkap sudah kabinet alumni pilpres 2019. Tapi yang menjadi buruknya suara konflik oposisi, hingga yang mengkritik presiden dan kabinet selain partai-partai yang sebelumnya Gerindra yang paling kuat dalam komentar mengkritik presiden pada periode pertama pun tidak ada lagi.

Selanjutnya dalam mata kuliah politik sub bahasan demokrasi. Pak Presiden diuji dengan lahirnya UU ITE. UU ini menjadi kontroversial memunculkannya perdebatan karena melahirkan budaya saling melapor. Sehingga tercatat dalam beberapa laporan yang diterima, banyaknya laporan orang-orang yang mengkritik baik secara langsung maupun di media sosial itu dapat diproses kepolisian hingga UU tersebut yang dibuat banyak kesalahan dan tidak sesuai dengan UU No.11 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan.

Secara hukum ini cacat hingga di sidang paripurna berikutnya akan dikoleknas dan direvisi kembali. Agar UU ini tidak menjadi polemik di kemudian hari seperti sekarang. Dari 2 sub bahasan ini pak presiden di mata kuliah politik ini pak Fauzi memberinya dengan knilai 70 saja atau nilai ipk B yang bobot hingga 70-75.

Kemudian ketiga, pak Presiden dalam mata kuliah kebijakan publik sub bahasan penanganan covid. Ini cukup umum dan luas bahwa yang kita lihat pak presiden tidak berdaya karena adanya interferensi dari para oligarki internasional dan oligarki nasional. Oligarki internasional yang dimaksudkan nya adalah W.H.O yang dimana W.H.O ini sudah memberikan informasi kepada seluruh negara bahwa pandemi covid-19 ini adalah bencana dalam skala internasional.

Dalam keadaan ini presiden harus mengambil tindakan dan kesempatan sebaik-baiknya untuk persoalan pandemi. Namun kita lihat kebijakan yang dilakukan oleh presiden di masa pandemi ini mengalami kelabakan, lahirnya UU No.06 2018 di pasal 1 itu tentang karantina wilayah menjadi buah bibir perbincangan di publik karena pada akhirnya UU tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya. Maka dapat dilihat ketidaksiapan kabinet dan presiden ketika melakukan reshuffle pertama, menteri kesehatan diganti oleh Budi Gunadi Sadikin yang portofolio berbeda tidak sesuai dengan job koordinator.

Negara harus bisa melakukan sesuai dengan koridor hukum yang telah dibuat didasarkan dengan diskresi-diskresi oleh presiden sehingga inilah yang menyebabkan koordinasi antar kabinet itu semakin tidak jelas karena tidak berdasarkan pada UU itu sendiri. Pada Maret 2020 hingga Juli 2021 itu bahwa telah disahkan kurang lebih 600 peraturan untuk para menteri dan surat satgas pandemi 1000 peraturan untuk daerah yang terkena Covid-19. Tanpa arahan yang jelas dan kepimpinan menyebabkan kebingungan dilapangan dimana menerapkan kebijakan dan surat-surat edaran Covid-19 satgas dan sebagainya dan tidak ada yang memimpin dan tidak ada komunikator satu dengan yang lain pada publik.

Maka seharusnya segera membuat evaluasi jangan sampai itu dibiarkan larut hingga menjadi polemik hingga masa nanti. Terakhir dalam mata kuliah penegakan hukum menjadi satu sub bahasan yang menarik kita lihat dalam beberapa kasus yang terjadi dalam negara ini berikut ini isu-isunya :

1. Isu UU revisi KPK.

2 tahun lalu mahasiswa turun ke jalan melakukan demonstrasi tentang UU KPK karena revisi ini hanya dibuat dalam satu bulan saja. UU yang dalam prosesnya tidak dilakukannya dengan prosedur, bahkan partisipasinya itu setelah substansinya sudah dibahas baru mencari partisipasinya. Artinya UU ini dibahas di ruang gelap-gelap parlemen sehingga sudah jadi saja lalu kemudian mencari partisipasi untuk mengaminkan UU itu yang pada kenyataannya tidak ada feedback dari masyarakat dan lembaga-lembaga hukum untuk melihat koreksi tersebut. UU KPK ini seperti UU titipan yang jika dilihat dalam buku politik hukum itu seperti “Koruptor vs Feedback”. Jadi koruptor itu bukan perlawanan kembali. Perlawanannya ini pada para penegak hukum.

Contohnya, spekulasi KPK di hari ini semakin amburadul tidak memiliki kejelasan sebab direvisinya UU itu. Ada 21 orang yang dipecat dan 21 orang ini yang sebenarnya pengaman, integritas nya bagus. Lembaga KPK saat ini tidak independen secara kenegaraan ini menjadi masalah. Lembaga kpk yang seharusnya kita anggap sebagai jalan keluar persoalan korupsi tapi sebaliknya malah diotak-atik oleh negara itu sendiri.

2. UU Omnibus Law

UU yang dibuatnya pada masa pandemi ini disahkan bulan Juni 2020. UU ini yang sebenarnya hanya menguntungkan para oligar, para pengusaha besar seperti pengusaha kelapa sawit, batu bara karena adanya UU ini mereka diuntungkan dengan tidak membayar pajak. Dalam UU ini sebenarnya akan dikoleknas dengan direvisinya kembali.

Padahal kita tahu ini baru saja disahkan, ini membuktikan pemerintah legislatif dan eksekutif tidak begitu mengamati dengan baik bagaimana proses UU ini. Jika direvisi kembali maka diperlukannya anggaran lagi dalam pembuatan UU tersebut, yang anggarannya tidak sedikit dalam setiap pembuatan UU.

3. Isu terbunuhnya 6 orang pengawal pemuda yang kita sebut mengawal Habib Rizieq

Pemuda itu meninggal ditembak oleh aparat hingga sampai saat ini proses pengadilannya masih belum jelas. Padahal aparat negara itu substansinya harus bisa bertanggung jawab. Pihak keluarga yang ditinggalkan tidak tahu harus bagaimana dan lembaga hukum sampai saat ini tidak lagi mencuat. Karena kasus ini menjadi padam dengan adanya pandemi.

4. Isu presidential thresholdPada periode pertama dan kedua pak Presiden bahwa ini sudah dirancang hanya dua calon. Jadi hanya pada partai-partai yang mempunyai suara 25% di parlemen yang bisa mencalonkan Presiden. Jadi jika kita tidak memiliki suara di parlemen, tidak punya suara di legislator maka kita tidak bisa mengusulkan presiden padahal bunyi konstitusi UUD nya bahwa “Presiden boleh diusulkan oleh satu partai atau gabungan partai dan tidak ada ambang batas suara parlemen”.

Tapi pemerintah di masa periode pertama membuat UU itu sehingga menerapkannya pada masa pemerintah kedua ini yang kita sebut dengan presidential threshold. Akbar Faisal Cecar mantan DPR RI itu mengatakan “Presidential Threshold adalah bagian dari hak suara atau dukungan tertentu dalam pemilu”. Maka negara hanya memilih dalam pilpres calonnya hanya 2 saja karena faktanya di dalam parlemen sekelompok partai oposisi atau PDI yang secara logikanya dapat mengusulkan satu calon. Ini menjadi oligarki substansi pemilu.

Jadi dapat disimpulkan pada mata kuliah penegak hukum sub bahasan ini bahwa pak presiden hingga para kabinetnya sudah malas kuliah. Sering bolos hingga ipknya lebih rendah lagi mungkin E.

Kemudian setelah pak Fauzi memaparkan ilustrasi tersebut dilanjutkannya dengan pertanyaan oleh para audiens. Pertanyaan itu hanya ada 2, diajukan oleh Bu Rianty dan Mas Nanang lalu setelahnya dijawab oleh pembicara kemudian karena waktu hanya tersisa sedikit maka ditutup dengan doa.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image