Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atropal Asparina

Islam di Internet: Antara Tekstual dan Kontekstual

Agama | Sunday, 31 Oct 2021, 07:35 WIB
Beberapa halaman utama bagian "Islam Digest" Republika yang terbit setiap hari Minggu.

Ajaran Islam selamanya tidak akan pernah terlepas dari sumber-sumber teks, yakni al-Qur’an dan Sunnah. Namun, untuk memahami teks secara baik, perlu adanya konteks atau situasi yang ada hubungannya dengan suatu teks, sehingga situasi itu dapat menjadi pendukung atau menambah kejelasan makna dari suatu teks. Lambat laun, keduanya dipahami secara terpisah dan mempunyai pendukung fanatiknya masing-masing. Lahirlah pertentangan, yang satu menyebut berislam cukup hanya dengan teks, sedang satunya lagi mengaku bahwa teks tidak ada artinya tanpa konteks.

Misalnya, kasus cadar (niqāb) yang sempat riuh di bumi Indonesia. Bagi kelompok yang menggunakan cadar (misalnya Komunitas Niqab Squad) menyebut teks ayat al-Qur’an atau Hadis sebagai rujukan utama. Karenanya bagi mereka, bercadar adalah sesuatu yang disunnahkan bahkan diwajibkan. Sebaliknya, kelompok yang mengaku feminis di Indonesia, akan lebih memberikan perhatian besar pada maksud global kehadiran Islam untuk perlindungan terhadap perempuan, daripada meributkan soal pakaian, kerudung, apalagi cadar. Yang pertama mengacu teks sepenuhnya dan yang kedua mengacu konteks sepenuhnya.

Permasalahannya, seringkali dunia internet dengan jelas mengadu domba kedua cara pandang atas ajaran itu dengan sangat mengenaskan lewat judul-judul video atau tulisan yang dramatis. Pembaca atau penonton yang tidak tahu awal mulanya, akan sangat mudah tersulut untuk segera membenci salah satu pihak yang diadu domba oleh internet.

Permasalahan lebih rumit muncul dari adanya figur-figur di media sosial, yang hanya mempunyai kecenderungan pada salah satunya dengan menegasikan yang lain. Ada figur agama yang hanya berpaku pada teks, sebab menurutnya hanya teks yang punya garansi kebenaran lebih pasti. Sedangkan lainnya, hanya berpaku pada konteks, sebab menurutnya, tanpa konteks, teks-teks agama akan sangat sulit dipahami dan dibumikan pada masa ini, dan jika pun mampu dipahami maka pemahamannya cenderung rigid dan kaku. Yang pertama sering dituduh radikal, sementara yang kedua sering dituduh liberal.

Sikap saling tuduh dan curiga itulah yang mewarnai dunia Islam di internet. Sikap itu kemudian semakin membelah dan meruncing dalam peristiwa-peristiwa menyangkut hajat orang banyak seperti pemilu. Begitulah, berganti hari dan tahun, semakin pengap.

Solusi Pertama: Moderasi Beragama sebagai Pilar Literasi

Jika sekarang ditanyakan pada semua pegiat literasi di media sosial, apakah pilar penting bagi literasi terkait konten-konten Islami di internet? Maka, hanya memberikan jawaban rajin membaca menulis plus berusaha memahami konten bacaan atau tontonan, akan sangat naif. Bukan apa-apa, konten keislaman di dunia internet hari ini, bak samudera tak bertepi. Siapa yang memberanikan diri terjun bebas, maka akan terseret dan tenggelam pada arus-arus kuat yang ada di dalamnya. Entah itu arus kiri ekstrem atau kanan ekstrem, dan lainnya dan arus lainnya.

Jawaban paling tepat menurut saya atas pertanyaan itu adalah “moderasi beragama”. Moderasi (wasathiyah) mempunyai makna yang tidak hanya mengindikasikan tempat di tengah-tengah, namun juga upaya menyadari posisi-posisi yang ada sehingga kita mampu dan sadar memosisikan diri di tengah-tengah—tidak ekstrem. Kemampuan memahami adanya ekstrem kanan dan ekstrem kiri, adanya yang teramat keras dan sangat lembek, yang radikal dan liberal, adalah pilar utama lietrasi di lautan konten-konten keislaman internet hari ini. Moderasi beragama, adalah simpul dan formula paling mutakhir untuk sampai di titik itu.

Itulah mengapa, moderasi beragama jadi muara jawaban para ulama dan pakar Islam terkemuka di dunia. Konsultasi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama dan Cendikiawan Muslim dunia di Bogor (3 Mei 2018) menghasilkan nilai moderasi sebagai hal yang harus dikampanyekan dan diwacanakan di negara-negara Muslim dunia. Begitu juga, Yusuf al-Qaradhawi (ulama besar Timur Tengah) dalam bukunya Dirāsat fi Fiqh Maqāṡid Asy-Syarī‘ah (Fikih Maqashid Syariah) dan Muhammad Hasyim Kamali (pakar hukum Islam internasional) dalam bukunya Shari‘ah Law: An Introduction yang dalam versi Indonesia Membumikan Syariah, sama-sama menjadikan wasathiyah (moderasi) sebagai jawaban penting.

Soal tekstual dan kontekstual, yang paling terbaru Abdullah Saeed (ahli tafsir kontemporer dunia) melalui rangkaian karyanya, seperti Reading the Qur’an in the Twenty-First Century (Tafsir al-Qur’an Abad-21) menawarkan keseimbangan dalam mengacu pada teks dan konteks secara bersamaan dalam menafsirkan al-Qur’an. Saeed menyebutnya memang dengan nama “Tafsir Kontekstual”. Namun di balik nama itu, Saeed rupanya berupaya mengimbangi trend cara pandang tekstual yang disebutnya masih sangat dominan di dunia Muslim hari ini. Jadi, meski namanya tafsir kontekstual, namun substansi cara kerjanya masih sama dan sebangun dengan spirit moderasi seperti pakar-pakar sebelumnya. Artinya, teks-teks sumber ajaran Islam, tidak pernah diabaikan apalagi ditinggalkan, dan dalam waktu yang bersamaan, konteks dikait-kelindankan sebagai pertimbangan penting analisis.

Solusi Kedua: Mengintip-Ikuti Keseimbangan Media Arus-Utama

Solusi kedua ini sejatinya lebih praktis dan mudah dilakukan. Caranya, kita tinggal dengan setia mengikuti dan membaca konten-konten keislaman yang disuguhkan media arus-utama, bukan media sempalan. Banyak media yang berkomitmen tinggi dalam menjaga keseimbangan konten-konten keislamannya, sehingga pembaca tidak digiring pada satu kutub ekstrem tertentu. Misalnya, Islam Digest yang dihadirkan Republika setiap hari Minggu.

Setiap hari Minggu, Republika memberikan ruang yang besar pada bagian Islam Digest. Kajian keislaman yang dihadirkan, jika dicermati, menunjukkan upaya tim redaksi dalam menjaga keseimbangan baik dari segi komposisi latar penulis atau konten keislaman antara sejarah Islam masa lalu, Islam dunia, Islam nusantara, dan keislaman hari ini. Selain itu, pada bagian Islam Digest juga, hadir cerpen dan puisi-puisi yang notabene bernafaskan Islami.

Berbeda dengan Islam Digest yang dihadirkan secara daring (online), dalam versi koran cetak kajian keislaman yang tersuguh lebih kompleks, mendalam dan detail. Analisis-analisis yang tersaji di koran cetak, lebih komprehensif dengan judul-judul yang memikat. Sedangkan secara daring terasa masih sangat elementer.

Keseimbangan konten-konten keislaman yang disuguhkan dalam berbagai halnya, adalah yang dibutuhkan khalayak saat ini. Seolah ketakberpihakan pada satu kubu merupakan kelemahan dan kekaburan. Padahal, ketakberpihakan yang dibangun secara seimbang dan terbuka justru adalah modal besar untuk mendewasakan pembaca sehingga tak mudah menghakimi sesuatu. Di sinilah poin penting jawaban dari judul “antara tekstual dan kontekstua”, yakni belajar tak mudah menghakimi—apalagi secara emosional—segala yang terkait keyakinan beragama orang lain di media sosial. Sebab yang lebih penting dari upaya menilai pandangan orang lain, adalah memahami posisi-posisi yang ada sekaligus mengupayakan supaya diri kita berada di posisi “tengah-tengah” terutama dimulai dari cara berpikir.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image