Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image SAIFUL ANWAR

URGENSI KAJIAN POSKOLONIAL DALAM PEMBELAJARAN SEJARAH

Sejarah | 2021-10-30 20:04:00
sumber gambar: https://www.fajarpendidikan.co.id/ternyata-ada-5-daerahgh-yang-sulit-di-taklukkan-oleh-penjajah-belanda-di-indonesia/

Ada kejadian menarik tatkala saya menjalani wawancara kerja. Seorang pewawancara bertanya “apa guna belajar sejarah?” Seketika saya bingung, tak tahu mesti menjawab apa. “Apa guna sejarah?” bagi saya adalah pertanyaan yang sulit dijawab. Belajar bahasa Inggris akan membuat anda mahir berbahasa inggris sehingga memudahkan anda berkomunikasi dengan orang Amerika Serikat atau Inggris atau Australia. Belajar elektro akan membuat anda mengerti perlistrikan, memungkin anda bisa membenahi kabel di rumah anda yang rusak. Tapi belajar sejarah? Apa guna? Sebongkah batu tak akan bergeser sesenti pun setelah anda menceritakan kegagalan Sultan Agung mengusir VOC di Batavia.

Apa guna belajar sejarah? Sungguh, ini pertanyaan sulit. Bahkan setelah saya menuntaskan studi di jurusan sejarah, pertanyaan ini belum juga menemu jawaban pasti. Ada puluhan filsuf, akademisi, dan orang bijak yang berkata bahwa sejarah itu penting. Tapi sepenting apa?

Jawaban dari pertanyaan “apa guna sejarah?” baru saya temukan setelah saya berkenalan dengan poskolonial. Poskolonial adalah kajian baru dalam studi sosial humaniora. Ia baru muncul tahun 1978 setelah kelahiran buku Orientalisme karya Edward Said. Secara garis besar kajian post-kolonial berfokus pada dampak-dampak yang ditimpulkam kolonialisme Eropa, terutama di bidang budaya.

Sepanjang abad 18 hingga awal abad 20 negara-negara Eropa berlomba-lomba menjajah benua Asia, benua Afrika, dan benua Amerika. Inggris, Perancis, Belanda adalah yang terdepan dalam perlombaan ini. Inggris menguasai India, Afrika Selatan, Malaysia, Singapura, dan beberapa wilayah lain. Perancis banyak menjajah negara Afrika dan Indochina. Sedangkan Belanda menguasai kepulauan Hindia dan sebagai kecil wilayah di benua Amerika. Amerika Serikat, yang muncul sebagai kekuatan baru dunia, kemudian menyusul dengan menjajah Filipina pada 1896.

Penjajahan Eropa (juga Amerika Serikat) berdampak besar kepada negara-negara yang dijajahnya. Ada dampak di bidang politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Agar pembahasan tak melebar, saya akan berfokus pada penjajahan Belanda di Indonesia, dan mengapa kajian post-kolonial sangat penting untuk menganalisis masa ini.

Bagi saya sederhana, melalui kajian post-kolonial saya menjadi sadar bahwa pola pikir dan cara pandang masyarakat Indonesia hari ini dibentuk oleh sistem kolonial. Ini bukan pernyataan tegas, melainkan hipotesa yang saya tawarkan. Masih bisa diperbedatkan.

Baiklah, mari kita mulai dengan menengok ke masa lalu. Sejak akhir abad 19 hingga awal abad 20 Belanda memperluas wilayah kekuasaannya di nusantara dengan mencaplok Aceh pada 1874, Bali pada 1904, dan wilayah-wilayah lain di luar Jawa pada tahun-tahun sekitar itu. Penaklukan-penaklukan itu berlangsung di bawah slogan “Pax Nederlandica”. Tentara-tentara KNIL yang sebagian besar orang Jawa dikerahkan untuk membunuh penduduk Aceh, Bali, dan wilayah lain yang menolak tunduk pada Gubernur Jendral Hindia Belanda. Pada permulaan abad 20, ketika berhasil menguasai wilayah dari Sabang sampai Merauke, kedudukan Belanda di dunia semakin kuat.

Kedudukan Belanda di Hindia semakin kuat setelah masuk modal dari Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang. Pabrik-pabrik berdiri dan pemerintah hanya berperan sebagai anjing penjaga. Masa ini dikenal dengan nama “masa kebijakan politik terbuka”.

Pada ranah sosial pemerintah kolonial menciptakan kasta di masyarakat. Kasta tertinggi diisi oleh orang Eropa. Kasta kedua diisi golongan Timur Asing yang di dalamnya berisi orang Tionghoa, Arab, dan India. Sedangkan kasta terendah dihuni oleh orang Pribumi. Semua itu berdampak pada hampir semua sektor kehidupan. Hak, kewajiban, hingga fasilitas publik diatur dengan sistem kasta tersebut.

Pada ranah ilmu pengetahuan dampaknya bahkan lebih besar. Melalui riset para intelektual kolonial Belanda menggali dan membangun ulang narasi sejarah bangsa Hindia dan menempatkannya pada titik paling rendah. H.J de Graff, seorang sejarawan kolonial, dalam suatu tulisannya menulis bahwa bangsa Jawa sejatinya bodoh. Orang Jawa bisa beradab karena dibantu peradaban India dan Arab. Sungguh saya geram saat membaca kalimat itu.

Lantas apa pentingnya semua itu untuk pembelajaran sejarah?

Mengajar sejarah tidaklah mudah, perlu antusiasme dan pengetahuan yang luas. Bagi saya kajian post-kolonial sangat membantu dalam proses pemblejaran sejarah. Pada saat saya mengajar materi sejarah Indonesia masa pemerintahan kolonial, saya harus menyampaikan informasi tentang kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial pada masa lalu dan dampaknya terhadap rakyat Hindia saat itu. Hal yang saya sering saya lakukan adalah mengkontekstualisasikan pola masa lalu untuk mengkaji peristiwa masa kini. Misalnya begini; pada masa lalu pemerintah Hindia Belanda memisahkan orang Tionghoa dan orang Jawa. Akibat dari itu interaksi antara orang Jawa dan orang Tionghoa menjadi minim, sehingga muncul kecurigaan antara kedua kelompok masyarakat ini. Kondisi itu sangat menguntungkan pemerintah kolonial. Intel-intel gubermen bisa dengan mudah menciptakan konflik untuk mengadu domba orang Jawa dan Tionghoa. Kolonialisme selalu menegaskan perbedaan, memecah belah masyarakat dan lalu mengadudombanya.

Pola kolonial semacam itu masih ada sampai hari ini. Kita tentu ingat pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, salah satu calon gubernur, menjadi sasaran ujaran kebencian pendukung calon lain. Narasi “cina” atau “kafir” menyeruak dan memenuhi ruang-ruang publik. Sekelompok masyarakat berusaha menegaskan perbedaan. Ahok adalah orang cina, dan orang cina bukanlah penduduk pribumi Indonesia maka tidak pantas menjadi pemimpin, begitulah kira-kira. Hal itu sangat tidak berdasar karena dalam konteks budaya tak ada yang benar-benar asli.

Nah, penjelasan di atas adalah bagian dari kajian poskolonial, sebuah kajian yang membongkar pola pikir dan sistem kolonial. Kebencian terhadap etnis tertentu atau kepercayaan diri berlebih terhadap budaya yang dimiliki adalah buah dari sistem kolonial. Pada kajian sejarah masa kolonial Belanda post-kolonialisme menemu gong-nya.

Lalu bagaimana dengan sejarah Indonesia masa yang lain? pra aksara, masa Hindu-Buddha, dan masa setelah kemerdekaan? Apakah kajian post-kolonial masih dibutuhkan? Jawaban saya: iya, masih. Konstruk ilmu pengetahuan, termasuk sejarah, sangat mungkin dipengaruhi oleh kekuasaan kolonial. Perlu ada upaya besar-besaran untuk membongkar itu semua. Benar kah Mgeanthropus Paleojavanicus adalah manusia tertua di Jawa? Benar kah Ken Arok adalah penjahat yang menjadi raja? Betulkah sejarah Singhasari dipenuhi dengan pertumpahan darah? Masih banyak keringat yang harus kita keluarkan untuk menjawab itu semua.

Belajar sejarah memang tidak memiliki manfaat praktis, tak seperti belajar ilmu teknik atau bahasa. Tapi dengan belajar sejarah kita bisa mengetahui masa lalu sehingga lebih bijak menyikapi masalah-masalah hari ini. Lebih dari pada itu kajian poskolonial, menurut saya, mampu memperkaya manfaat kajian ilmu sejarah.

Semarang, 30 Oktober 2021

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

Terpopuler di

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image