Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Prof. Dr. Budiharjo, M.Si

Legalisasi Ganja untuk Medis, Mungkinkah?

Info Terkini | Sunday, 26 Jun 2022, 20:16 WIB
Penyalahgunaan narkotika sangat tinggi di Indonesia, meski pelaku dikenakan hukuman mati. Sebelum legalisasi ganja, sebaiknya dipikirkan dampak negatifnya. Foto: Republika.co.id

Jagat media sosial heboh dengan legalisasi ganja untuk kepentingan medis. Penyebabnya adalah foto seorang wanita yang berdiri saat car free day pada 26 Juni 2022 dengan tulisan “Tolong, Anakku Butuh Ganja Medis.” Menariknya, tulisan itu berbarengan dengan Hari Antinarkotika Internasional yang juga jatuh di tanggal sama. Foto viral itu pun mengundang netizen untuk mengomentari legalisasi ganja untuk kepentingan medis.

Ganja atau mariyuana merupakan zat narkotika yang menurut UU Narkotika No. 35 Tahun 2009 masuk dalam narkotika golongan 1. Kategori yang sebenarnya terbatas hanya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi. Begitu terbatasnya, disebabkan ganja memiliki potensi ketergantungan yang tinggi. Ganja yang dimaksud adalah semua jenis tanaman cannabis, termasuk biji, buah dan hasil olahan.

Jika sudah pernah mengonsumsi ganja, ketergantungan tubuh pun semakin meningkat. Cannabis merupakan zat yang berdasarkan efeknya masuk ke dalam golongan depresan atau downer. Disebut begitu karena dapat menekan sistem saraf sehingga menurunkan aktivitas fungsional tubuh. Ganja pun menyebabkan penggunanya lebih lebih tenang dan tertidur. Zat tetrahidrokanabinol dan cannabidiol (CBD) yang ada dalam ganja menimbulkan perasaan euforia pada pemakainya.

Meski begitu mengerikan dampak ganja, namun ada beberapa negara yang melegalkannya untuk kepentingan medis. Menurut negara-negara itu, berdasarkan penelitian, ganja dapat menyembuhkan beberapa penyakit seperti glaukoma, alzheimer, fibromyalgia, kanker, HIV/AIDS dan penyakit-penyakit lainnya.

Di Belanda, ganja tersedia sebagai obat resmi di apotek. Obat ini biasanya diresepkan untuk pasien sindrom tourette, nyeri kronis, sklerosis ganda, kerusakan sumsum tulang belakang, orang yang menjalani perawatan kanker dan HIV/AIDS.

Negara bagian Amerika Serikat juga melegalkan ganja untuk medis. California sejak 1996 telah melegalkan ganja untuk pengobatan. Sayangnya, di balik legalisasi ganja untuk medis, upaya penyalahgunaan juga meningkat. National Institute on Drag Abuse (NIDA) pada 2018 merilis hasil penelitian yang mencengangkan di mana 11,8 juta orang dewasa muda mengonsumsi ganja di sejumlah negara yang melegalkan ganja. Dan, konsumsi ganja itu tidak ada hubungannya dengan penyakit apapun. Ganja disalahgunakan secara luas karena sangat mudah didapat dan harganya murah. Ini menjadi konsekuensi dari legalisasi ganja yang awalnya untuk kepentingan medis.

Untuk Indonesia saja, negara yang secara keras terhadap peredaran narkotika, jumlah korban yang menyalahgunakan obat-obatan terlarang itu mencapai 3,4 juta orang. Itu berdasarkan data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 2021. Lalu, bagaimana jika ganja bisa diperoleh dengan mudah di apotik karena dilegalkan untuk medis. Tentu, tidak ada jaminan jika penyalahgunaan tidak akan terjadi.

Budi Waseso pernah merilis buku yang berjudul Budi Waseso: Yang Selalu Mengejutkan Jilid III”, menyatakan legalisasi psikotropika dibutuhkan untuk kondisi tertentu sebagai sesuatu yang dibesar-besarkan aktivis LSM. Begini pernyataannya:

“Mereka didukung pihak asing supaya Indonesia cepat hancur karena narkoba. Apakah ada pembuktian medis bahwa ganja bisa mengobati penyakit? Undang-undang di Indonesia melarang penggunaan narkoba sebagai obat. Jika ingin legalisasi ganja, silakan pindah ke luar negeri. Begitu saja kok repot.”

Budi Waseso tentu tidak main-main dengan pernyataannya. Sebagai mantan Ketua BBN, Buwas memang terkenal keras dan tidak kompromi dengan suara-suara yang ingin melegalkan ganja.

Beberapa lembaga negara pun sudah menyatakan menolak legalisasi ganja. Selain BNN, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pun menolak wacana tersebut. Data KPAI menunjukkan anak yang terlibat dengan narkotika mencapai 2,29 juta. Data dikumpulan dari 13 ibukota provinsi di Indonesia pada 2018. Begitu mengerikannya dampak narkotika bagi kehidupan anak, maka dibutuhkan sinergitas antarlembaga agar perlindungan anak maksimal terhadap ancaman narkotika.

Jika ditanyakan, mungkinkah legalisasi ganja untuk kepentingan medis? Tentunya masih banyak yang harus dilewati oleh kita semua. Konsekuensi dari kebijakan legalisasi ganja tidak sebanding dengan ancaman yang begitu besar dan mengerikan bagi kita semua. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image