Era Digitalisasi, Sastra Indonesia Redup?
Sastra | 2021-10-28 23:12:48Tak dapat dipungkiri bahwa era digital membuka peluang yang luas bagi siapapun untuk maju. Teknologi internet yang juga semakin berkembang menambah peluang masyarakat untuk mendapatkan lebih banyak informasi baik secara nasional maupun global. Namun, apakah perkembangan akses informasi ini menguntungkan bagi sastra serta bahasa Indonesia?
Sudah jarang terlihat masyarakat membuat sebuah puisi, pantun atau prosa. Berbeda dengan zaman dahulu, salah satu contohnya ketika acara jenaka yang seringkali membuat lelucon dari sebuah pantun. Minat masyarakat Indonesia terhadap sastra sudah menurun. Itu sangat terasa, apalagi dengan adanya sastra asing yang masuk ke Indonesia. Penurunan tersebut juga bisa dilihat dari databoks.katadata.co.id hanya 3,5% calon mahasiswa yang meminati jurusan sastra dan bahasa. Disamping itu, pembelajaran terkait sastra dan bahasa Indonesia memang masih ada, namun ketertarikan generasi Z ini sangat minim. Ditambah lagi dengan Pendidikan Jarak Jauh (PJJ) yang membuat generasi saat ini terkadang tidak memperhatikan pembelajaran dengan baik.
Terdapat seorang anak berusia 12 tahun yang bertanya mengenai tugas sekolah kepada kakaknya, "Kak, âbantuinâ itu kata baku atau bukan?â âGak baku lah sejak kapan ada imbuhan âinâ?â terlihat mimik muka kebingungan dari si adik terhadap jawaban kakaknya.
Kakaknya seketika balik bertanya, âDi sekolah emang gak belajar bahasa atau sastra? kok kamu kayaknya bingung banget.â lagi-lagi dengan muka kebingungannya si adik bertanya âSastra apaan?â Kakaknya pun kaget mendengar pertanyaan itu, âPantun, puisi, novel, dongeng, ga tau?â Adiknya menjawab âOh.. tau kok, tapi aku ga tau itu namanya sastra,â ternyata anak yang duduk di bangku sekolah itu tidak akrab dengan karya sastra. Selain dari fenomena itu, di lingkungan sekitar seperti keluarga dan teman pun banyak yang merasa bahwa karya sastra itu ketinggalan zaman.
Bukankah di era digital ini, mereka dapat mengakses segala informasi dengan baik? Apakah karya sastra sangat minim dipublikasi, sehingga mereka tidak pernah melihatnya di internet? Jika terus seperti ini, bukankah sastra Indonesia akan redup atau bahkan hilang?
Melihat kedua fenomena tersebut, sebenarnya, di era digital ini sastra dan bahasa bisa dikembangkan. Perkembangan zaman dan teknologi tidak membuat sastra semakin ketinggalan zaman, karena seperti yang dikatakan oleh penyair, Sapardi Djoka Damono, di Kompas.com bahwa sastra juga turut berevolusi dan berkembang. Di era digital ini sudah banyak platform untuk menyalurkan berbagai hal. Tiktok, instagram, youtube, twitter dan media sosial lainnya, bisa kita salurkan karya sastra dengan pembawaan yang lebih menarik.
Bagaikan drama musikal di youtube Indonesia Kaya yang ramai diperbincangkan pada tahun lalu. Drama musikal yang membawakan dongeng âMalin Kundangâ ini dikemas dengan sangat berbeda. Menyatukan karya sastra dongeng dengan selingan alunan lagu, animasi dan terjemahan bahasa Inggris, tentunya ini tidak ketinggalan zaman, justru ini sangat menarik perhatian dan mudah untuk diingat. Seiring dengan maraknya pengguna media sosial, karya tersebut bahkan tersebar ke semua media sosial.
Namun, sayangnya karya sastra seperti itu tidak banyak yang naik ke permukaan media. Tentunya ini menjadi tantangan untuk generasi muda terutama milenial dalam meningkatkan eksistensi sastra Indonesia. Kita dapat memanfaatkan teknologi canggih saat ini untuk menyalurkan karya sastra dengan mudah. Ditambah, hampir seluruh masyarakat Indonesia mempunyai gadget dan internet. Terutama dengan pembawaan sastra yang di evolusi menjadi lebih modern, tentunya tanpa menghilangkan kekhasan dari sastra itu sendiri.
Jangan sampai digitalisasi ini malah melunturkan rasa cinta dan bangga terhadap sastra dan bahasa Indonesia. Apalagi sampai melupakannya. Saya sangat yakin bahwa banyak sekali anak-anak muda yang memiliki kreativitas tinggi sehingga mampu meningkatkan eksistensi sastra Indonesia dan menyelamatkan anak-anak yang minim pengetahuan soal sastra. Sangat disayangkan jika sastra Indonesia benar-benar redup. Kita akan kehilangan salah satu identitas bangsa kita sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.