Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image azzahra firdaus

Cara Jurnalis Memanusiakan Narasumbernya

Eduaksi | Thursday, 28 Oct 2021, 21:15 WIB
Sumber: https://pixabay.com/

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) jurnalis adalah orang yang pekerjaannya mengumpulkan dan menulis berita di media massa cetak atau elektronik. Akan tetapi, bagi Jakob Oetama, seorang jurnalis yang sudah menghabiskan sepanjang hidupnya dalam dunia jurnalistik, pekerjaan ini lebih daripada pengertian yang diberikan oleh KBBI. Ia beranggapan bahwa kerja media tak semata soal sumber penghidupan, tetapi panggilan hidup pula.

Bagi sebagian orang, jurnalis identik dengan sorotan tajam mata Najwa Shihab ketika sedang mewawancarai narasumbernya. Bagi sebagian orang lainnya, jurnalis tidak lebih dari mereka yang gemar membuat clickbait demi menarik perhatian pembaca. Bagi saya, mahasiswi jurnalistik semester 5, tidak ada kata yang lebih tepat mewakili perasaan saya selain kekaguman. Kekaguman itu muncul seiring dengan pengetahuan bahwa jurnalis adalah pekerjaan yang berada di gerbang paling depan untuk menyebarluaskan kebenaran.

Sebagai profesi yang dapat membantu publik untuk mengkonstruksi atau membentuk realitas yang sebenarnya, jurnalis harus memiliki kemampuan berbahasa yang baik. Kemampuan tersebut akan berguna tidak hanya dalam proses penulisan berita, tetapi juga dalam proses peliputan berita, salah satunya adalah proses wawancara dengan narasumber.

Seorang jurnalis harus dapat memperlakukan narasumbernya dengan baik, terutama dalam proses peliputan berita traumatis. Beberapa waktu yang lalu, seorang jurnalis dari salah satu media menceritakan pengalamannya ketika sedang meliput konflik. Saat itu, ada satu korban yang meninggal akibat di tembak di bagian leher. Salah seorang jurnalis dari media yang lain bertanya kepada orang tuanya, “Apakah anak ibu terlibat dalam organisasi radikal islam?”

Apakah pertanyaan seperti itu penting untuk diajukan? Ketika sedang meliput berita tentang konflik atau sesuatu yang bersifat kesedihan, seorang jurnalis harus memahami bagaimana memanusiakan narasumbernya. Jurnalis tidak boleh melihat narasumber hanya sebagai objek atau sumber berita saja.

Lalu, apa yang harus dilakukan oleh seorang jurnalis ketika berhadapan dengan situasi yang didominasi oleh kesedihan? Apakah mereka harus bersikap profesional dan selalu mengikuti kode etik jurnalistik yang sudah ditetapkan? Atau apakah mereka harus mengenyampingkan rasa kepedulian mereka hanya demi eksklusivitas berita?

Cara jurnalis meliput kesedihan sebenarnya sudah diatur dalam pasal 2 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menyebutkan wartawan Indonesia menempuh cara-cara profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Itu berarti bahwa seorang jurnalis wajib menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, dan suara.

Meskipun jurnalis dikejar oleh deadline atau ketidaksabaran ruang redaksi untuk mendapatkan artikel atau foto, jurnalis harus tetap melakukan pendekatan sebaik dan sefleksibel mungkin. Sebelum melakukan proses wawancara, jurnalis dapat mengatakan bahwa ia sangat menyesal atas kerugian narasumbernya, tetapi tidak boleh mengatakan “Saya paham”. Anda tidak paham. Yang terpenting, bersikaplah akurat dan tidak berpura-pura menunjukkan simpati.

Ketika sedang melakukan wawancara, seorang jurnalis harus berhati-hati dalam memilih pertanyaan. Jangan pernah menanyakan “Bagaimana perasaan Anda?” karena itu merupakan pertanyaan yang tidak sensitif. Ini akan membuat pihak yang diwawancara kembali ke perasaan dukanya. Jurnalis hanya akan dapat memperoleh air mata sebagai jawabannya serta lebih sulit mendapatkan jawaban yang sesuai dan penuh makna.

Menurut saya pribadi, seorang jurnalis seharusnya selalu melibatkan otak dan hatinya ketika sedang memberitakan sesuatu, terutama jika itu berhubungan dengan kesedihan. Otak akan berfungsi untuk mencari informasi yang sesuai dengan fakta, sedangkan hati akan bertugas untuk tetap memelihara rasa simpati dalam diri seorang jurnalis.

Seorang jurnalis harus bersikap sangat hati-hati dalam menggunakan bahasa. Beberapa saat yang lalu, seorang dosen mengatakan bahwa jurnalisme itu orientasinya untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri. Oleh sebab itu, jurnalis juga harus menjaga perasaan narasumbernya. Menurut saya, kata-kata seorang jurnalis dapat diibaratkan seperti pisau bermata dua. Satu kata dari mereka bisa menyembuhkan, atau justru membunuh.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image