TRANSFORMASI AKAD TABARRU MENJADI AKAD MUAWADHAT : ANALISIS AKAD HIWALAH DAN AKAD KAFALAH DI LEMBAGA
Edukasi | 2022-06-21 21:41:41Akad atau perjanjian merupakan sebuah pernyataan permintaan (ijab) dan penerimaan (qabul) yang berpengaruh terhadap sebuah objek perikatan. Sehingga dengan sebuah akad akan melahirkan hak dan kewajiban di antara para pihak. Seorang yang beragama Islam (Muslim) ketika hendak transaksi muamalah harus memperhatikan rukun, syarat, dan bentuk transaksi yang diperbolehkan dalam ajaran Islam. Satu di antaranya adalah akad. Dengan akad para pihak akan melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagaimana ketentuan yang disepakati bersama.
Maka secara tidak langsung, akad atau transaksi menjadi Undang-Undang bagi para pihak sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Berdasarkan tujuannya akad terbagi menjadi dua, yaitu: Pertama, akad mu’awadhat yaitu akad yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan. Adapun yang termasuk akad ini adalah akad pertukaran (jual beli, ijarah dan ju’alah) dan akad penyertaan (musyarakah, mudharabah, musaqah, muzaraah dan mukhabarah, mugharasah, qismah, dan muhaya’ah). Kedua, akad tabarru’ yaitu akad yang dilakukan dengan tujuan membantu pihak lain.
Adapun yang termasuk akad ini adalah akad pemberian (hibah, wasiat, wakaf, luqhatah, al-hajr, zakat, sedekah dan al-shulh) dan akad utang piutang (wadi’ah, ‘ariyah, qardh, hiwalah, rahn dan al-ibra’) serta akad penyerahan diri (wakalah dan kafalah). Berkaitan dengan akad tabarru’ yang bersifat utang piutang adalah pemindahan utang (hiwalah) dan penjaminan utang (kafalah). Kedua akad ini bersifat tolong menolong dalam jangka waktu mendesak. Artinya, pihak yang ditolong tetap memiliki kewajiban membayar utang kepada pihak yang menolong tersebut. Namun sejatinya kedua akad tersebut menyelamatkan pihak yang memiliki utang yang sudah jatuh tempo dan sudah tidak bisa membayar kewajibannya. Sehingga kedua akad ini merupakan pemindahan kewajiban membayar utang dari orang yang berutang kepada orang lain menjadi berutang kepada orang yang menolongnya membayarkan utang.
Namun dalam perkembangannya, kedua akad tersebut berubah kedudukannya menjadi sebuah akad yang bersifat mu’awadhat. Artinya, pihak yang menolong tersebut mensyaratkan sebuah imbalan terhadap jasa bantuannya tersebut. Sehingga hal itu merubah nama akad yang dilakukan. Bagi akad pemindahan utang (hiwalah) berubah menjadi akad hiwalah bi al-ujrah dan bagi akad penjaminan utang (kafalah) berubah menjadi akad kafalah bi al-ujrah. Para ulama berbeda pendapat terhadap kedudukan akad tersebut. Ada yang membolehkan ada juga yang melarang. Dengan demikian, penelitian ini membahas mengenai transformasi akad tabarru’ menjadi akad mu’wadhat khususnya pada akad hiwalah dan kafalah. Penelitian bertujuan untuk menemukan fakta akan perubahan pada status akad tersebut dan kedudukannya dapat diketahui dengan melihat dan menganalisis praktiknya di lapangan khususnya di lembaga keuangan syariah (LKS).
Akad transformasi akad tabarru’ menjadi akad mu’awadhat di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) sudah dilakukan. Transformasi Akad Perbankan Syariah dalam Pembentukan Hukum Perikatan Nasional. Transformasi akad perbankan Syariah ke dalam hukum perikatan nasional berada pada tatanan konsep hukum. Sebagaimana yang tertuang dalam bentuk fatwa DSN-MUI tentang Akad Perbankan Syariah, UndangUndang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah dan lain sebagainya. Akad perbankan syariahmempunyai ciri khusus yang berkaitan dengan rukun dan syarat perjanjian yang dilakukan kedua belah pihak dengan mencegah terjadinya riba, gharar, maisir, dan lainnya yang membatalkan (dilarang dalam Islam). Di samping itu, Witro, Nuraeni, dan Januri tentang classification of aqad in sharia economic law, menjelaskan klasifikasi akad secara umum dalam hukum ekonomi syariah, di mana difokuskan kepada akad tabarru’ dan akad tijarah. Transformasi akad baik akad tabarru’ dan akad tijarah sudah dilakukan. Sebagaimana penelitian transformasi akad muamalah klasik dalam produk perbankan syariah yang dilakukan.
Disimpulkan setidaknya ada dua metode yang dapat dilakukan dalam transformasi akad muamalah klasik dalam perbankan syariah yaitu pertama, dengan memodifikasi akad muamalah klasik secara terbatas. Hal ini bertujuan untuk membuat akad muamalah tersebut menjadi aplikatif pada ranah perbankan. Kedua, dengan cara membuat akad baru yang diderivasi dari akad klasik. Kajian-kajian perubahan akad juga dilakukan, Perubahan Akad Wadi’ah. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara dokumentasi yaitu mengumpulkan dan mencari berbagai referensi dari kitab ulama klasik, buku, jurnal, dan sumber yang lainnya yang berkaitan dengan objek penelitian. Teknik analisis data yang digunakan adalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Transformasi akad tabarru’ (hiwalah dan kafalah) menjadi akad mu’awadhat (hiwalah bi al-ujrah dan kafalah bi al-ujrah) berdasarkan fatwa DSN/MUI yang mengacu kepada kebutuhan masyarakat (LKS dan Nasabah) yang tetap memperhatikan ketentuan nash dan tingkat kemaslahatan. Sehingga secara tidak langsung, DSN/MUI selalu menggunakan kaidah “Jalbu alMashalih wa Dar al-Mafashid” (meraih maslahat dan menolak mafsadat). Di mana apabila kedua akad tersebut tidak diberlakukan. Maka para muhil dan ashil merasa kesulitan dalam menyelesaikan masalahnya karena tidak dapat menemukan muhal ‘alaih dan juga kafil yang membantu secara sukarela bahkan terancam terjadinya perpecahan dengan muhal dan makful lah akibat tidak dapat memenuhi kewajibannya (membayar utang). Adapun kedua akad tersebut dipraktikkan dalam produk pengalihan/penjaminan utang atau pembiayaan yang dilakukan LKS sebagai lembaga independen terhadap nasabah yang memiliki utang kepada pihak lain, baik kepada perorangan, LKS lain bahkan kepada LKK sekalipun.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.