Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Akmal Keysava

Masjid, Mushola, Langgar, dan Perkembangan Umat Muslim di Surabaya

Agama | Monday, 20 Jun 2022, 14:16 WIB
Sumber Gambar: Wikimapia

Jika Anda adalah seorang yang tinggal di Indonesia terutama di Pulau Jawa, tentu sudah sering mendengar penyebutan masjid dan mushola bagi tempat ibadah yang digunakan oleh umat muslim. Tapi pernahkah Anda terpikir sebenarnya apa yang membuat penyebutan untuk rumah ibadah ini perlu untuk dibedakan, meskipun secara umum fungsinya tidak begitu berbeda. Pertanyaan ini yang saya ajukan kepada bapak saya ketika berada di meja makan, sebuah obrolan ringan yang menjadi diskusi cukup mendalam terkait etimologi dan aspek fungsional sebenarnya dari berbagai unit rumah ibadah agama Islam ini.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi masjid disebutkan sebagai “bangunan tempat beribadah orang Islam”, artinya dapat dipahami secara umum penggunaan istilah ini dipakai untuk menyebut semua tempat peribadatan yang diperuntukkan untuk digunakan oleh umat Islam. Definisi ini juga selaras dengan deskripsi etimologis dalam bahasa Arab yang juga memberikan keterangan bahwa istilah masjid (مسجد) secara umum merupakan sebutan untuk tempat peribadatan atau tempat sembahyang, yang kemudian lebih identik digunakan untuk menyebut tempat yang secara spesifik digunakan oleh umat Islam. Kemudian bagaimana dengan dua istilah lainnya?

Mushola dan langgar dalam KBBI memiliki definisi yang hampir serupa yakni tempat Shalat atau masjid kecil yang mana tetapi tidak digunakan untuk menyelenggarakan Shalat Jumat. Karena definisi yang kurang lebih sama ini saya juga akan menggunakan deskripsi etimologis yang sama untuk kedua istilah ini, kata mushola berasal dari turunan bahasa Arab dari kata Shalat (صلات) yang berarti beribadah, dan kemudian dikembangkan menjadi mushola yang mana digunakan untuk menyebut tempat Shalat selain masjid yang pada umumnya berukuran kecil. Langgar sendiri jika merujuk pada keterangan bapak saya, dalam masyarakat Jawa khususnya di Surabaya digunakan untuk menyebut kedua jenis tempat ibadah yang disebutkan di atas yaitu baik masjid maupun mushola, sebelum kedua istilah ini menjadi lebih populer di kemudian hari.

Nah itu tadi adalah penjelasan teoritis mengenai akar istilah dari masjid, mushola, dan langgar, namun bagaimana dengan penggunaan nyata dari berbagai istilah ini? Diskusi saya menekankan pada poin ini namun hanya akan berfokus penggunaannya secara terbatas di Kawasan Surabaya dan sekitarnya. Daerah lain mungkin memiliki cara tersendiri dalam memberikan arti kepada istilah-istilah ini sesuai dengan praktik penggunaannya masing-masing, dan mungkin juga akan saya singgung di kesempatan lain waktu.

Keterangan berikut merupakan pengalaman empiris bapak saya, seorang warga kelurahan Kendangsari, kecamatan Tenggilis Mejoyo, Surabaya, saya akan sebisa mungkin memberikan pendekatan sesubjektif mungkin terkait topik meskipun sumber informasi yang saya miliki kurang lebih kurang dapat mencerminkan hal tersebut. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, istilah langgar digunakan secara luas untuk menyebut baik tempat ibadah yang besar maupun kecil, digunakan Shalat Jumat ataupun tidak. Namun secara lebih spesifik, istilah langgar kemudian lebih dekat kepada arti kata mushola tetapi yang juga menyelenggarakan kegiatan belajar mengaji, yang mana pada awalnya dimiliki oleh para tetua agama atau Kyai pada satu komunitas kecil. Seiring berjalannya waktu pembedaan langgar dan mushola semakin kabur dan hari ini tempat ibadah yang sebelumnya disebut sebagai langgar atau masjid kecil berubah nama menjadi mushola.

Memasuki dekade 1980-an, istilah mushola dan masjid menjadi semakin sering digunakan untuk membedakan antara langgar besar dan kecil di kalangan umat muslim di Surabaya. Ketika saya mempertanyakan perihal peralihan istilah tersebut, keterangan yang bisa bapak saya berikan adalah karena hal tersebut sudah menjadi semacam tren penggunaan istilah tersebut di kalangan Kyai dan pengurus langgar di Surabaya kala itu. Hal tersebut juga bisa dikorelasikan dengan semakin meluasnya penggunaan bahasa Indonesia sebagai selingan bahasa lokal di kalangan masyarakat tradisional atau perkampungan Surabaya.

Peralihan nama dari langgar ke mushola dan masjid ini juga memberikan motivasi tersendiri bagi warga di komunitas perkampungan untuk memperbaiki kualitas bangunan serta fasilitas yang ada di langgar mereka masing-masing. Secara khusus di wilayah kecamatan Tenggilis Mejoyo, gelombang pemugaran bangunan peribadahan ini terjadi mengikuti semakin berkembangnya sektor perindustrian dan perdagangan di wilayah Rungkut tak jauh dari kecamatan Tenggilis Mejoyo. Terbukanya berbagai lowongan pekerjaan baru juga memberikan dampak perbaikan ekonomi serta menjadi faktor penarik bagi para pendatang untuk tinggal di sekitar zona ekonomi tersebut, sehingga menambah jumlah populasi serta kepadatan penduduk di perkampungan wilayah Tenggilis Mejoyo.

Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk di wilayah perkampungan Kecamatan Tenggilis Mejoyo tersebut menjadikan semakin perlunya ada peningkatan kualitas bangunan ibadah sehingga lebih representatif untuk digunakan dalam potensi volume jamaah yang ada. Usaha pemugaran beberapa bangunan langgar lama ini juga didukung oleh peningkatan kekuatan ekonomi masyarakat di kawasan tersebut. Dengan demikian lambat laun sistem fungsional masjid dan mushola yang lebih dikenal dewasa ini semakin menunjukkan rupanya.

Cerita kecil ini mungkin sebagai mana namanya hanya akan memberikan gambaran kecil dari kondisi yang lebih luas baik di Surabaya sendiri atau tentu saja di wilayah yang lebih besar seperti Jawa Timur dan Indonesia. Namun dari cerita singkat ini, penulis berharap akan membuka rasa ingin tahu dari orang-orang lain di luar sana yang mungkin akan memberikan kontribusi cerita mereka mengenai topik ini di kesempatan yang lain. Mungkin cerita ini akan berkembang lagi ketika penulis bisa mendapatkan kesaksian serta keterangan dari narasumber yang lebih luas khususnya di wilayah Surabaya, namun untuk sekarang mungkin hanya sebatas ini informasi yang penulis bisa gali dari dialog singkat bersama bapak penulis.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image