Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image ferry wahyu

Pengaruh Media Sosial Terhadap Intoleransi di Indonesia

Eduaksi | 2022-06-15 20:34:49

Kehidupan manusia yang berkembang secara dinamis telah membuat perubahan yang besar. Percampuran sosial-budaya yang beragam diikuti dengan pengaruh media sosial merupakan penyebab dari lahirnya perubahan. Media sosial digunakan masyarakat sebagai sarana mengekspresikan pendapat. Maka, bisa kita temui segala bentuk saran, kritik, pendapat, dan bahkan celaan muncul diberbagai platform media sosial.

Banyak pendapat yang muncul dari beberapa kelompok masyarakat berdasarkan pandangan dan argumen yang dianut. Bagaimana kita bisa terima peristiwa terorisme yang terjadi hampir setiap tahun dengan alasan jihad untuk menegakkan ajaran agamanya. Selain itu, konten berbau SARA yang beredar bebas di media sosial juga akan membelah dan menggiring pandangan masyarakat. Alhasil, konten tersebut akan dibanjiri komentar warganet yang sebagian dari mereka tidak memastikan kebenaran yang sesungguhnya. Perang komentar antarwarganet tidak bisa dihindari bahkan mereka sering mengeluarkan hinaan dan celaan untuk menyerang kelompok yang berbeda pendapat. Ketika memasuki tahun politik, media sosial dipenuhi dengan konten-konten terkait tokoh politk dan isu politik sehingga masyarakat terbagi menjadi beberapa kelompok. Muncul respon beragam dari pendukung masing-masing kelompok dan tidak sedikit respon yang hanya merendahkan salah satu kelompok. Beberapa hal diatas merupakan sebuah bentuk intoleransi yang terjadi di masyarakat melalui media sosial.

Situasi dan kondisi yang terjadi di Indonesia harus segera disikapi secara tepat oleh Pemerintah. Pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk tidak berbuat intoleransi masih rendah dibuktikan dengan peristiwa diatas. Sikap intoleransi harus segera dikurangi atau bahkan dihilangkan karena akan mengancam kesatuan dan persatuan bangsa. Media sosial diharapkan membawa dampak positif dalam masyarakat tetapi dalam praktiknya masih banyak dampat negatif yang ditimbulkan. Oleh karena itu, perlunya kesadaran bersama untuk menjaga toleransi dan upaya pencegahan agar hal serupa tidak terulang kembali.

Globalisasi membawa perubahan pada dunia menjadi lebih dinamis dan tanpa batas. Media sosial adalah salah satu produk dari perkembangan teknologi dan globalisasi yang membuat masyarakat dunia dapat berinteraksi satu dengan yang lain tanpa adanya batasan ruang dan waktu. Menurut Kevin Keller media sosial adalah tempat bagi pengguna untuk menyebarkan atau membagi infromasi antar individu atau perusahaan (Kotler dan Keller, 2012). Tak bisa dipungkiri jika dampak media sosial sangat besar dalam kehidupan. Media sosial bahkan mempengaruhi berbagai sektor kehidupan manusia seperti ekonomi, sosial, budaya, dan masih banyak lagi. Namun, pada kenyataannya kehadiran media sosial masih membawa dampak negatif. Salah satu contohnya adalah masih maraknya kejadian intoleransi di media sosial.

Indonesia adalah negara yang kaya akan suku, agama, ras, dan budaya. Keberagaman itu merupakan anugerah Tuhan yang tidak bisa ditolak oleh manusia (Hendri dan Krisbaya, 2021). Hal tersebut menjadikan Indonesia dikenal dengan negara multikultural. Menurut Parekh (2010) multikultural merupakan point of view dalam kehidupan manusia untuk saling mengerti dan memahami sesama di lingkungan masyarakat yang berbeda-beda. Keberagaman bisa menjadi penyebab terjadinya tindakan intoleransi. Keberagaman juga tidak luput dari sentuhan perubahan teknologi terutama media sosial. Media sosial dianggap sebagai perwujudan kebebasan berekspresi masyarakat sehingga berbagai komentar baik menyinggung atau tidak bisa kita jumpai di media sosial. Menurut riset dari Wearesosial Hootsuite (2019) pengguna media sosial di Indonesia sekitar 150 juta atau lebih dari setengah dari total penduduk. Sedangkan, pengguna gadget sekitar 130 juta atau 48% dari total penduduk. Banyaknya penduduk didukung naiknya pengguna internet menimbulkan berbagai tindakan intoleransi muncul.

Perkembangan kehidupan yang saat ini memanfaatkan teknologi disinyalir mampu mengubah mindset manusia untuk tidak lagi membutuhkan bantuan orang lain. Sikap individualis kian meningkat di kalangan masyarakat saat ini. Masyarakat saat ini mudah terkontaminasi terhadap paham-paham radikal atau bahkan intoleran karena sifat-sifat di dalam diri manusia yang ingin tau dengan mudahnya akses informasi. Masyarakat ketika mengakses media sosial bisa saja terjerumus ke dalam konten-konten intoleran yang dikemas semenarik mungkin serta dapat membius pemahaman mereka yang masih polos terutama terhadap generasi millenial.

Sikap intoleran ini juga dapat tumbuh akibat kemampuan akan memiliki informasi yang dirasa kurang cukup sehingga mulai mencari informasi dari berbagai media tanpa mengetahui dasar kebenarannya dan akhirnya memperoleh informasi yang salah sehingga timbul sikap antipati. Yaitu anggapan tentang mampu hidup sendiri atau hanya bergabung dengan golongan sendiri yang pada akhirnya dapat memicu sikap toleransi masyarakat semakin menurun.

Tidak lepas dari hal tersebut, sikap antipati ini dapat merambah terhadap fenomena yang akhir-akhir ini sering terjadi yaitu ujaran kebencian melalui media sosial. Ujaran kebencian sendiri memiliki arti menurut hukum yaitu perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari tindakan tersebut.Pada sosial media tindakan-tindakan ujaran kebencian dapat berupa penghinaan, pencemaran nama baik, penghinaan, menghasut, dan penyebaran berita hoax. Tren ini mulai berkembang pada beberpa waktu yang lalu marak terjadi pada saat pilkada atau bahkan pilpres di indonesia. Dari masing-masing kubu saling mencela dan menjatuhkan. Hal ini apabila terus dibiarkan maka akan dapat berdampak terhadap persatuan bangsa nantinya.

Kementerian Komunikasi dan Informatika telah menangani konten mengenai ujaran Suku, Agama, Ras dan Antargolongan (SARA) sebanyak 3.640 konten sejak tahun 2018. Juru Bicara Kementerian Kominfo, Dedy Permadi menyatakan konten itu telah dilakukan pemutusan akses atau takedown. Angka tersebut menunjukkan bahwa permasalahan tentang intoleran sudah sangat bahaya, terlebih lagi dengan adanya akses internet dan sosial media semua masyarakat indonesia dari sabang hingga merauke dapat menyaksikannya dan menyebarluaskannya dengan mudah. Oleh karena itu dibutuhkan tindakan dan upaya pengontrolan terhadap penggunaan media sosial untuk mencegah tindakan intoleransi ini terus mewabah.

Beberapa tahun kebelakang, Pemerintah telah membentuk badan-badan yang secara khusus mengemban tugas untuk menjaga keamanan dan mengawasi aktivitas media sosial di internet. Seperti yang kita ketahui Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) memiliki wewenang untuk memantau aktivitas di media sosial. Hal itu bertujuan untuk menjaga persatuan dan kesatuan serta menjadi filter terhadap informasi-informasi yang berdampak buruk bagi masyarakat Indonesia. Kominfo juga tidak jarang untuk memblokir situs atau akun yang memuat beritta-berita provokasi, hoax, intoleransi, dan segala bentuk penghasutan. Selain itu, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang berada di Direktorat Tindak Pidana Siber, Badan Reserse Kriminal Polri juga memiliki wewenang menegakkan hukum terhadap kejahatan siber. Kejahatan siber yang dimaksud seperti pencurian data, peretasan, manipulasi data, ujaran kebencian, penipuan, dan masih banyak lagi.

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) telah menjamin kebebasan beragama bagi masyarakat Indonesia. Beberapa pasal menjadi pedoman seperti Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berisi; “Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 berisi; “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya” (Muhammad Rusdi, (2021). Kemudian, menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) perbuatan intoleransi yang banyak terjadi telah merenggut kebebasan dan hak asasi manusia. Menurut Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang berisi; “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai yang merupakan hak asasi.” Sehingga rasa aman merupakan hak konstitusional yang wajib ditunaikan oleh negara (KOMNAS HAM, 2021). Hak atas kebebasan memeluk agama juga ada di dalam Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemerintah juga telah menerbitkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menuai banyak polemik ditengah-tengah masyarakat. Disamping semua itu, UU ITE memiliki tujuan untuk mengatur informasi elektronik dan dokumentasi elektronik di dalam Internet. Dalam pelaksanaanya UU ITE telah banyak menjerat pelaku-pelaku intoleransi dan pelanggaran lainnya. Pada awal tahun 2021 muncul berita tentang tindakan intoleransi yang terjadi di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat. Pihak sekolah meminta siswi non-muslim untuk memakai jilbab selama di sekolah. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyayangkan tindakan yang terjadi di SMKN 2 Padang dan akan memberi sanksi yang tegas untuk para pelaku yang terlibat. Kemendikbud langsung merespon dengan mengeluarkan Siaran Pers Nomor: 010/sipres/A6/I/2021 tentang ketentuan mengenai pakaian siswa/siswi telah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 45 Tahun 2014. Permendikbud Nomor 45 Tahun 2014 tidak boleh membuat peraturan model pakaian agama tertentu sebagai seragam sekolah (Kemendikbud, 2021). Hal tersebut menunjukkan sisi diskriminatif dan merenggut kebebasan dalam memeluk agama yang telah diuraikan pada penyataan diatas.

Dari uraian tersebut kemudian dapat ditarik kesimpulan bahwa intoleransi masih marak terjadi bahkan semakin berkembang saat ini. Hal ini tidak lepas dari dampak sosial media yang sangat dinamis serta kecanggihan teknologi masa kini yang dinilai makin memperparah permasalahan ini. Kemudahan akses dan penggunaan teknologi sosial media saat ini memerlukan adanya kontrol atau pengendalian agar tidak memberikan dampak buruk salah satu contohnya ialah berkembangnya sikap intoleran di kalangan masyarakat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Terpopuler di

 

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image