Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ressy Arda

Immamah Dan Khilafah

Agama | Monday, 18 Oct 2021, 16:44 WIB

Kepemimpinan atau leadership dalam dunia Islam menjadi wacana yang terus berkembang seiring perkembangan zaman. Dimana pemimpin di satu sisi sebagai kepala Negara yang mengurus segala kebutuhan masyarakat juga dapat menentukan hitam putih dan corak keagamaan masyarakat disisi lain. Dalam perkembangan umat Islam, konsep kepemimpinan dapat dipastikan selalu mengarah dan merujuk apa yang pernah dicontohkan Nabi. Ketika Nabi Muhammad SAW wafat pada tahun 632 M, dimana Umat Islam antara kelompok Anshor dan Muhajirin mulai memperlihatkan tentang perbedaan pilihan meraka terkait siapa yang layak atau lebih pantas menggantikan posisi Nabi. Hal itu wajar terjadi mengingat Nabi tidak pernah mewasiatkan langsung dan tidak memberi prosedur buku yang berkaitan dengan siapa dan bagaimana pengganti beliau nantinya.

Sehingga munculah beberapa istilah-istilah yang merujuk pada sistem kepemimpinan umat Islam, seperti Immamah dan Khilafah. Immamah sendiri adalah ism madshar atau kata benda yang berasal dari kata amama yang memiliki arti “di depn” dan sesuatu yang didepan disebut dengan “imam”. Itulah sebabnya, dalam kehidupan sehari-hari kata imam sering dimaknai untuk menunjuk orang yang memimpin atau pemimpin negara yang ruang lingkupnya diperluas menjadi pemimpin religion-politik sekaligus bagi umat Islam.

Adapun istilah Khilafah yaitu, kata Khilafah menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan oleh seseorang, yaitu seseorang yang disebut dengan Khalifah. Sedangkan secara teknis, Khilafah adalah suatu lembaga pemerintahan Islam yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Sunnah. Istilah Khilafah sendiri adalah sebutan untuk masa pemerintahan Khilafah. Dimana dalam sejarah, Khilafah adalah sebutan bagi suatu pemerintahan pada masa tertentu, seperti pada masa Khilafah Abu Bakar, Khilafah Umar bin Khattan dan Khilafah seterusnya untuk melaksanakan wewenang yang telah di amanahkan kepada mereka.

Dari ketentuan tersebut Immamah dan Khilafah sendiri pada dasarnya memiliki perbedaan yang sangat mencolok seperti, pada perbedaan area dimana Khilafah adalah kepemimpinan dengan batas teritori tertentu, yang mengikat secara struktural setiap warga yang berada di dalamnya, sehingga tidak mengikat orang di luar area tersebut.

Sedangkan imamah adalah kepemimpinan yang melampaui batas teritorial, daerah, negara, dan lainnya tetapi mengikat secara spiritual dan teologis setiap pribadi yang meyakininya. Perbedaan yang kedua adalah obyek di dalam Alquran, surah Yunus ayat 19 misalnya, Allah menyifatkan umat – ummah serumpun dengan imam dan imamah – sebagai sesuatu yang tunggal. Hal ini menunjukkan keterkaitan langsung antara Imam dan Ummah. Sedangkan khilafah mempunyai objek warga negara yang membaiatnya. Dalam ayat Alquran, bangsa (sya’b) disebutkan dalam bentuk plural – syu’uban wa qabail.

Perbedaan yang ketiga adalah relasi, Kepemimpinan vertikal dimana imamah semestinya memang dipegang oleh orang-orang suci dan memiliki spiritualitas tinggi seperti Nabi dan wali. Kepemimpinan horisontal atau khilafah tidak niscaya dipegang oleh manusia suci. Yang keempat adalah keabsahan, Syiah meyakini Imamah sebagai kepemimpinan umat. Karenanya, ia harus dipegang oleh pribadi yang memenuhi syarat-syarat ketat yang tidak bisa disandang oleh pribadi yang tidak suci. Sedangkan Sunni meyakini kepemimpinan yang bersifat struktural dengan batas teritorial sebuah state (negara).

Karena itu, Sunni tidak menetapkan syarat kesucian bagi pemegangnya. Yang kelima adalah pemangku, Ali bin Abi Thalib diyakini sebagai imam sedetik setelah Nabi wafat karena kepemimpinan umat (Imamah) tidak dibangun legitimasinya melalui pemilihan masyarakat. Sedangkan Sunni menitikberatkan pada konsep keadilan bagi seorang khalifah, yaitu tidak cacat moral. Yang ke enam yaitu mekanisme, Ali bin Abi Thalib diyakini sebagai Imam dengan proses deklarasi pengangkatan oleh Nabi Saw saat di Ghadir Khum sebagaimana diperintahkan oleh Allah Swt dalam Alquran.

Sementara Ali bin Abi Thalib memberikan baiatnya kepada Abu Bakar sebagai pemimpin masyarakat (Khalifah), karena tidak menganggapnya sebagai pemimpin umat. Yang ketujuh adalah fungsi, sebagaimana mekanisme imamah dan khilafah berbeda, maka fungsi imamah bersifat spiritual, bukan institusional sebagaimana dalam khilafah. Yang kedelapan yaitu karakteristik, tolok ukur khilafah adalah kapabilitas, akuntabilitas, dan akseptabilitas.

Sementara konsep imamah, tak harus diterima oleh publik (sosial). Yang kesembilan adalah bentuk, imamah merupakan proses penciptaan (takwini), sementara bentuk khilafah adalah penetapan yang bersumber dari kontrak sosial (tasyri’i). Kritik Syiah terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman harus dipahami sebagai kritik terhadap kebijaksanaannya sebagai pemimpin struktural administratif. Bahkan penolakan Syiah terhadap ketiga khalifah tersebut karena dianggap tidak memenuhi syarat-syarat kepemimpinan administratif, bukan kepemimpinan spiritual.

Sayangnya, sebagian orang Syiah, juga Sunni, menganggap imamah dan khilafah sebagai satu makna. Akibatnya, substansi masalah tereduksi dan dikaburkan oleh sentimen sektarian yang memanas karena kesalahpahaman yang berkepanjangan. Yang terakhir adalah kesalahpahaman tanpa klarifikasi, yang patut disayangkan, adanya orang-orang Syiah yang memberikan pernyataan yang bisa ditafsirkan sebagai penolakan terhadap kepemimpinan struktural itu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image