Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Devi Malika Azzahra

Nasib Lingkungan di Tangan Kapitalisme

Politik | Friday, 10 Jun 2022, 13:39 WIB

Oleh: Devi Malika Azzahra, S.P.

Minggu, 5 Juni 2022 lalu, penduduk bumi memperingati Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Tema yang diangkat kali ini sama seperti 50 tahun yang lalu, yaitu "Only One Earth" (Sustainably in Harmony with Nature).

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengusung tema “Satu Bumi Untuk Masa Depan.” Berbagai kegiatan ceremony pun dilakukan untuk memperingati Hari Lingkungan Hidup ini.

2022 ini menandai 50 tahun sejak konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia yang pertama diselenggarakan di Stockholm, Swedia. Konferensi dunia pertama yang menjadikan lingkungan hidup sebagai isu utama. Para peserta konferensi mengadopsi serangkaian prinsip untuk pengelolaan lingkungan hidup yang baik.

Indonesia adalah salah satu negara yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, diikuti meningkatnya polusi global serta kepadatan penduduk yang lebih tinggi dan tingkat konsumsi yang tidak berkelanjutan.

Dengan agenda pembangunan berkelanjutan 2030 yang akan dicapai dalam waktu kurang dari satu dekade berharap konferensi Stockholm+50 tahun ini menyediakan platform bagi indonesia untuk mengadvokasi proritasnya untuk mengatasi perubahan iklim melalui konsumsi yang berkelanjutan dengan pengembangan ekonomi sirkular, pengelolaan laut secara berkelanjutan, dan pengurangan sampah plastik laut.

Memang benar, bumi hari ini sedang dalam kerusakan, bencana alam yang terus terjadi dan perubahan iklim menjadi bukti bahwa bumi sedang tidak baik-baik saja.

Sepanjang 2022 saja Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan sebanyak 1.552 kali bencana alam terjadi di Indonesia. Ribuan kejadian itu tercatat sepanjang periode 1 Januari hingga 18 Mei 2022.

"Dari dampak bencana alam tersebut menimbulkan korban meninggal dunia 87 jiwa, hilang 11 jiwa, 625 luka-luka dan terdampak dan mengungsi 1.924.302 jiwa," tutup laporan itu, (nasional.sindonews.com/19/05/22).

Kerusakan lingkungan tidak bisa dilepaskan dari bagaiaman manusia mengelola bumi, terutama dalam hal pembangunan, sementara pembangunan sebuah negara sangat dipengruhi oleh sistem perekonomian dan politik negara tersebut.

Indonesia sebagai negara yang berkiblat pada sistem kapitalisme yang dianut oleh Barat telah menjadikan pembangunan industri sebagai fokus ekonominya, alhasil sistem ini berhasil mengonversi lahan kosong alami yang tadinya berupa sawah, ladang, ataupun hutan menjadi kawasan perkotaan. Pembangunan industri yang berkelanjutan ini juga telah menimbulkan masalah limbah hasil produksi baik yang berbentuk limbah padat, cair, maupun gas.

Hal ini didukung dengan sistem demokrasi yang condong pada kepentingan para korporat dan oligarki. Penguasalah yang memberi jalan mulus pada para pemodal dalam melancarkan pembangunan industrinya. Atas nama keserakahan korporasi, pembangunan infrastruktur terjadi secara jor-joran hingga kerap mengabaikan ekosistem lingkungan.

Setidaknya ada enam faktor penting yang sangat berpengaruh secara signifikan pada kerusakan lingkungan. Pertama, meningkatnya gas karbon monoksida dari asap kendaraan bermotor. Dua, gas dan limbah industri. Tiga, penggunaan Chloro Four Carbon (CFC) secara berlebihan. Empat, penebangan hutan besar-besaran. Lima, limbah dari pertanian, perkebunan, dan peternakan. Enam, sampah plastik.

Solusi mengatasi kerusakan lingkungan berupa pembangunan infrastruktur hijaupun diyakini dapat menjadi solusi untuk kehidupan yang lebih baik, namun penggelontoran dana yang besar menuju infrastruktur hijau lagi-lagi hanya menguntungkan korporasi bahkan memperkuat hegemoni mereka.

Sebenarnya konsep infrastruktur hijau yaitu pembangunan infrastruktur yang memperhatikan ekosistem lingkungan adalah konsep yang harus didukung, karena pada fitrahnya manusia secara teknis membutuhkan tempat tinggal dengan lingkungan yang layak, di dalamnya tersedia dan terintegrasi berbagai sarana kehidupan seperti perumahan, air bersih, udara bersih, ruang publik yang asri, sarana sanitasi yang layak, juga sarana pendidikan, kesehatan, trasportasi publik, serta aman dari bencana. Sehingga setiap orang dapat hidup dan tinggal secara mudah, harmonis, dan inheren dengan lingkungan.

Hal ini akan terwujud hanya jika aktor utama kerusakan lingkungan dihilangkan, yakni penerapan sistem kapitalisme, sistem yang melakukan industrialisasi hanya demi mengejar keuntungan.

Berbeda dengan pembangunan infrastruktur dalam sistem kapitalis sekuler yang berbasis pada kepentingan korporasi, pembangunan infrastruktur dalam sistem Islam berada di bawah kendali pemerintah. Pemerintah dalam islam memiliki kewajiban melayani kebutuhan masyarakat, pihak swasta boleh perpartisipasi tetapi hanya dalam masalah teknis dan tidak mengendalikan pembangunan.

“Imam (pemmpin/ khalifah) adalah penjaga, dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhori)

Imam Badrudin Al-Aini mengatakan: “Hadits ini menunjukan bahwa urusan dan kepentingan rakyat menjadi tanggung jawab seorang imam (khalifah). Artinya, tugas seorang imam dalam hal ini adalah memikul urusan rakyat dengan memenuhi hak-hak mereka.”

Kerusakan bumi harus dihentikan segera. Sebab, jika tidak maka kelestarian kehidupan manusia akan terancam. Caranya bukan dengan jargon-jargon tanpa makna sebagaimana yang terjadi saat ini, tetapi butuh regulasi yang menjaga lingkungan.

Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma pembangunan yang eksploitatif ala kapitalisme menjadi paradigma pembangunan yang bertanggung jawab terhadap alam. Islam menggariskan bahwa manusia tidak boleh membuat kerusakan di muka bumi. Allah Swt. bahkan menetapkan manusia sebagai khalifah di bumi. Allah Swt. berfirman,

قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً َۖ

"Ingatlah ketika Allah berfirman kepada Para Malaikat, ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan manusia (perempuan dan laki-laki) sebagai khalifah di bumi." (QS. Al-Baqarah [2]: 30)

Dengan ditetapkan sebagai khalifah di muka bumi, manusia diberi tanggung jawab oleh Allah Swt. untuk mengelola bumi. Sebagai konsekuensinya, manusia akan mempertanggungjawabkan pengelolaannya terhadap bumi di hadapan Allah Swt. pada Hari Perhitungan.

Industrialisasi merupakan bagian tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Islam memang tidak mengharamkan industrialisasi, bahkan industri merupakan salah satu sektor ekonomi dalam Islam. Namun, industri dalam sistem Islam dijalankan secara bertanggung jawab sesuai dengan syariat.

Allah Swt. mengizinkan umat manusia untuk mengambil manfaat dari bumi berupa air, tanaman, hasil laut, tambang, dan lain-lain. Namun, pemanfaatan alam tersebut tidak bisa secara bebas karena alam memiliki batas daya dukung.

Air bisa disedot untuk kebutuhan manusia, tetapi penyedotan yang semena-mena bisa mematikan sumber air. Hutan boleh ditebang, tetapi penebangan yang berlebihan akan merusak habitat yang ada. Kekayaan di permukaan dan perut bumi boleh diambil, tetapi jika serampangan akan merusak alam dan mengancam nyawa manusia.

Oleh karenanya, negara harus hadir sebagai raa’in (pengatur) atas berbagai aktivitas pemanfaatan alam. Negara tidak boleh hanya mengambil peran sebagai regulator, yaitu sekadar membuat regulasi, lantas menyerahkan pengelolaan pada swasta. Tidak boleh demikian.

Pemanfaatan alam boleh dilakukan oleh individu maupun negara. Individu boleh memanfaatkan alam yang terkategori kepemilikan individu, misalnya sawah, sumur, tambang dengan deposit kecil, dan lain-lain. Sedangkan kepemilikan umum seperti sungai, laut, padang rumput, tambang dengan deposit besar dan terus menerus, dan lain-lain wajib dikelola negara, tidak boleh diserahkan pada individu/swasta. Sedangkan kepemilikan negara seperti tanah yang di-hima (dilindungi) negara maka tidak boleh dimanfaatkan oleh siapa pun, misalnya hutan lindung.

Individu maupun negara, sama-sama wajib mengelola alam sewajarnya, tidak boleh melebihi daya dukung lingkungan. Untuk itu, negara wajib mengatur aspek teknis terkait hal ini. Misalnya, terkait penebangan hutan, hutan mana yang boleh ditebang, jenis kayu yang boleh ditebang, jumlah kayu yang boleh ditebang, upaya forestasi, dan lain-lain.

Bahan bakar yang terbukti merusak alam seperti batu bara, maka harus diatur secara ketat penggunaannya sehingga bisa diminimalkan. Sedangkan bahan bakar yang ramah lingkungan dan terbarukan terus dikembangkan dengan dukungan penelitian dari negara. Hasilnya bisa dimanfaatkan untuk masyarakat luas.

Sistem keuangan di bawah Baitul Maal yang kuat dan stabil menjadikan keterlibatan asing dalam pendanaan bisa dihindari. Besarnya sumber pemasukan kas negara, yaitu salah satunya dari hasil sumber daya alam merupakan konsekuensi diterapkannya konsep kepemilikan yang mengharamkan swasta/ asing memiliki kepemilikan umum. Oleh karenanya pembangunan infrastruktur yang berfokus pada umat dan juga memperhatikan ekosistem lingkungan hanya bisa direalisasikan jika Syariat Islam diberlakukan secara kaffah (menyeluruh, totalitas) dalam sistem politik Islam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image