Kerja - Bahagia, Bahagia - Kerja
Agama | 2021-10-11 13:31:27Sigmund Freud bilang dalam tulisannya di Civilization and Its Discontents ada dua syarat manusia untuk mendapatkan kebahagiaan: âcinta dan kerja, kerja dan cintaâ. Bekerja telah menjadi hal pokok dalam kehidupan manusia untuk memenuki kebutuhannya. Dalam rangka ikhtiar dalam meraih rezeki, bekerja berperan sentral dan penting untuk diperhatikan. Bagaimana bekerja yang sesuai dengan tuntunan Islam? Bagaimana mendapatkan kebahagian dalam bekerja?
Dari Ibnu Umar bersabda: "Sesungguhnya Allah mencintai seorang mu'min yang bekerja dengan giat". (HR Imam Tabrani)
Bekerja dapat menjadi aktivitas yang mulia, bahkan Nabi Muhammad SAW lebih menyukai seorang muslim yang giat bekerja untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarga. Bayangkan jika seorang muslim yang disebut umat terbaik âkhoiru ummahâ hanya berpangku tangan, malas dalam bekerja dan menyusahkan orang lain, sungguh ironi rasanya. Bahkan Allah SWT berfirman dalam Al-Qurâan:
"Dan katakanlah: ' bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS At-Taubah [9]:105)
Maka apakah bekerja pada akhirnya hanya sebatas pemenuhan kebutuhan materil dalam hidup? Apakah bekerja pada akhirnya hanya dilakukan untuk mendapatkan uang dan kehormatan? Apakah pada akhirnya semua pemenuhan materi dan kebutuhan fisik ini membawa pada kebahagiaan yang sejati?
Untuk menjawab semua pertanyaan di atas kita harus memisahkan sudut pandang/ pandangan hidup (worldview) antara seorang muslim dan apa yang kita kenal sebagai worldview barat. Jadi ada worldview islam dan worldview barat, dan keduanya berbeda inti sudut pandang dalam memandang pekerjaan dan kebahagiaan.
Cara pandang barat lebih berorientasi pada pemenuhan fisik dan materil atau biasa yang kita kenal sebagai materialisme. Maka tujuan dari bekerja adalah memenuhi kebutuhan akan uang, jabatan, status sosial, dan barang-barang yang dapat dibeli, dengan asumsi itu semua akan membawa mereka pada kebahagiaan. Seperti pada psikologi ekonomi modern dimana manusia disebut memiliki âkeinginan tak terbatasâ (Unlimited wants). Apakah akhirnya dengan kesenangan dan tercapainya kebutuhan ini semua lantas bisa bahagia?
Belum tentu. Karl Marx yang pemikirannya masih sering dikaji hingga saat ini, memberikan sebuah konsep bernama âketerasinganâ (alienasi). Jadi dalam salah satu pandangannya, jika manusia bekerja namun tak mengetahui apa yang sedang ia produksi dan tak mengetahui akhir dari apa yang dia sedang kerjakan akan membuat manusia terasing dengan pekerjaanya, dan akhirnya berakhir pada keterasingan antar pekerja (manusia). Jadi menurut Marx jika mau bahagia mereka harus bekerja dengan setara antara pemilik modal dan pekerja, dan tentu saja semuanya akan berakhir pada upah kerja yang tidak timpang dan hanya menguntungkan satu pihak.
Namun nyatanya baik pekerja maupun pemilik modal sama-sama memiliki tujuan untuk menguasai dan memiliki. Semuanya ingin bahagia dan untung, namun seringnya mengorbankan pihak yang bertentangan.
Mungkin Epicurus lebih dalam dari Marx saat memandang pekerjaan, menurutnya pada akhirnya semua pekerjaan ini yang dicari adalah âkebajikanâ (wisdom) dan hal paling berharga dari kebajikan tersebut adalah âpersahabatanâ (friendship). Jadi Epicurus memandang ini secara humanis, bahwa kebahagiaan akan muncul saat kita fokus pada kebajikan dan tak terpaku akan materil. Jadi dari dua pandangan di atas masih bertentangan antara pekerjaan dan kebahagiaan dalam worldview barat, antara materi dan kebajikan masih saling bertubrukan.
Dalam islam sendiri konsep bahagia disebut sabagai âAl-saâadahâ, dan ini bisa didapat dari jiwa yang tenang dan baik (Nafsul muâtmainnah) yang diperoleh dari Ilmu, Kebutuhan Spritual, dan Adab dalam proporsi yang seimbang dan pada tempatnya (Al-adl) sebagaimana konsep dari Syed Naquib Al-Attas. Jadi saat seorang muslim dapat menyeimbangkan antara duniawi dan kebutuhan ruhaninya dalam tempat yang sesuai maka akan terciptalah kebahagiaan. Dengan begitu worldview islam akan berpusat pada Ketuhanan/ruhani sebagai pondasinya.
Jadi tidak membenturkan antara materil dan kebajikan dalam tujuan pekerjaan karena yang terpenting adalah âsesuai tempatnya (Adl)â maka tercapailah kebahagian sejati. Konsep ini harus dipenuhi dengan aspek ruhani dan tidak boleh diabaikan, sebab dengan abai pada kebutuhan ruhani dan hanya fokus pada materil pastinya tidak mencapai kebahagiaan. Maka dari itulah kita bisa lihat banyak kasus disaat seseorang sukses dan memiliki banyak uang hasil bekerja, namun hidupnya tetap resah dan gelisah juga diliputi rasa tidak tenang, ini semua hasil dari kebutuhan ruhani yang tak terpenuhi.
Begitupun sebaliknya saat seseorang sudah menjalankan sholat dan berbagai aktivitas ruhani, namun dalam pekerjaan dia malas, tidak serius, korupsi, dan berbuat curang, sejatinya dia berlaku tidak adil. Yakni, dia tidak menempatkan Ilmu, Spritual, dan Adab pada posisi yang seharusnya. Pada akhirnya perbuatan semacam itu malah akan mencederai ruhaninya dan membawa pada ketidak bahagiaan.
Jadi bagi seorang muslim penting untuk menempatkan semua posisinya dalam posisi yang tepat (adl). Pengasilan materil harus ditempatkan sebagai pemenuhan nafkah dan kewajiban mencari rezeki (ikhtiar), tidak dikedepankan berlebihan justru akan lebih baik ikut berkontribusi pada kebutuhan masyarakat. Lalu aspek ruhani (spritualitas) harus dikedepankan untuk menyeimbangkan aspek duniawi, ini semua melalui Ilmu dan adab yang baik sehingga seseorang berlaku adil dan mendapat kebajikan (Hikmah) dalam menjalakan pekerjaanya. Kesemua hal ini jika dijalankan dengan baik dan berusaha (mujahadah) akan membawa pada ketenangan jiwa (nafsul mutmaâinnah) dan kebahagiaan sejati (Al-saâadah).
WaAllahuaâlam Bishaawab.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.