Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image sul Ikhsan

Komitmen Guru Sebagai Pintu Kemajuan Pendidikan di Masa Pandemi

Guru Menulis | Monday, 11 Oct 2021, 00:00 WIB

Seorang kawan bertanya kepada saya mengenai bagaimana menjadi guru yang baik di masa pandemi. Sebagai guru anyar yang baru lima bulan mengajar dan kebetulan bertepatan dengan kondisi pembelajaran masa pandemi, saya agak terheran-heran dengan bunyi pertanyaan itu. Tetapi kemudian saya sadar bahwa keheranan saya bukan terletak pada keseluruhan pertanyaan, namun keheranan saya itu dikarenakan fokus saya hanya pada kata “baik” nya saja. Sebab, kata “baik” dalam pertanyaan kawan saya itu bisa jadi bermakna sangat kompleks jika konteks yang dibahas ialah terkait pendidikan di sekolah pada masa pandemi. Wong, jangankan pada masa pandemi di mana pembelajaran berjalan tidak seperti biasanya. Pada masa sebelum pandemi pun, pertanyaan menjadi guru yang baik sangat kompleks untuk diperdebatkan. Apalagi, misalnya, pertanyaan itu keluar dari seorang guru berusia lanjut yang belum terbiasa dan masih gagap dengan teknologi.

Tetapi mari kita tidak membahas makna dari kata “baik” seperti apa yang kawan saya pertanyakan itu. Sebab ia akan bermakna relatif dan akan menimbulkan pertanyaan lain setelahnya. Baik menurut siapa? Baik seperti apa? Baik yang bagaimana? Barangkali, maksud kawan saya ialah metodologi, pendekatan, atau cara khusus setiap guru dalam mencapai baik itu—di masa pembelajaran dalam jaringan. Serta mungkin, “baik” yang kawan saya maksud itu ialah baik dalam menyampaikan materi pelajaran daring, baik dalam mendidik siswa secara daring, baik dalam mengatur administrasi secara daring, dan baik dalam mewujudkan cita-cita pendidikan nasional juga secara daring.

Meski kurikulum dan sistem pendidikan kita menyediakan indikator mengenai seperti seharusnya seorang guru di masa pandemi. Jujur, saya tak punya jawaban universal untuk pertanyaan itu. Setelah saya amati tugas dan fungsi guru dalam sistem pendidikan kita di masa pandemi, praktik-praktik dari instrumen tersebut nyatanya tak selalu relevan untuk tiap-tiap siswa dan tiap-tiap sekolah yang berbeda. Bagi sekolah-sekolah kota, kultur ini mungkin dengan mudah disiasati. Tapi bagi sekolah-sekolah pedesaan tempat saya mengajar, kultur ini cukup sulit diterapkan mengingat kesenjangan pengetahuan siswa dan fasilitas yang tak cukup mendukung berjalannya kegiatan pembelajaran secara daring.

Menurut saya, setiap guru seharusnya memiliki gaya sendiri dalam menginterpretasi dan mengorganisir pekerjaanya di bidang pendidikan—pun dalam kondisi pandemi. Meski ada banyak persediaan metodologi, pendekatan, manajemen, yang disampaikan oleh para ahli atau ditetapkan dalam sistem pendidikan nasional terkait pembelajaran masa pandemi, siswa dan tiap-tiap sekolah punya sisi khusus yang sulit di universalkan dengan seperangkat aturan tersebut, yang demikian itu, setiap guru punya orientasi pencapaiannya masing-masing tanpa keluar dari rel pencapaian yang diinginkan.

Ketika dulu saya menjadi seorang siswa, saya mendapati setiap guru memiliki pendekatan khusus dalam mengajar dan mendidik siswanya. Ada yang berusaha bersikap tegas dan memberi batas antara peran guru dan siswanya, ada yang santai-santai saja, ada juga yang berusaha mengajar dan mendidik kami dengan berusaha ikut berbaur dengan kebiasaan dan pergaulan kami. Respon belajar kami pun kemudian berbeda-beda tergantung bagaimana guru tersebut mengajar dan mendidik kami. Kami—dan saya yakin kebanyakan siswa—lebih enjoy belajar kepada sosok guru yang saya sebut terakhir itu. Tetapi itu mungkin mudah diterapkan lantaran sistem pembelajaran kita masih normal. Lantas bagaimana menerapkan itu di sistem pembelajaran masa pandemi?

Untuk menjawab pertanyaan kawan saya itu, dan pertanyaan di atas, saya mencoba menawarkan konsep berikut: Guru sebagai pintu masuk kemajuan pendidikan bangsa. Mengapa demikian? Saya masih mempercayai hingga kini bahwa terwujudnya cita-cita pendidikan pertama-tama dimulai dari dan oleh seorang guru. Sebab ia memiliki tugas utama sebagai transfer of knowledge yang mana berarti setiap perwujudan pengetahuan di dalam sistem pendidikan sekolah disampaikan pertama kali oleh guru. Bukan kepala sekolah atau Menteri Pendidikan. Untuk itu, guru akan sangat menentukan seperti apa jadinya pendidikan dalam sebuah bangsa.

Tak hanya transfer of knowledge, guru juga sebagai fasilitator dalam membantu mengeksplorasi kemampuan, potensi, minat, dan bakat siswa. Dan sekali lagi saya katakan bahwa ini tugas guru, bukan kepala sekolah, bukan Menteri Pendidikan. Seperti apa yang disampaikan oleh Charles Kuralt bahwa guru yang baik tahu bagaimana membawa yang terbaik dalam diri siswa.

Barangkali, nyaris semua guru paham akan konsep demikian. Tetapi kemudian yang menjadi masalah ialah banyak guru yang kesulitan dalam mempraktikannya—terlebih lagi di masa pandemi. Pertama, kesulitan tersebut terletak pada pakem kurikulum yang menuntut guru harus mencapai A, mencapai B, yang kemudian menyebabkan guru mau tak mau lebih fokus pada urusan administrasi dan pencapaian kurikulum, bukan kepada siswa yang mereka ajar. Kedua, kesulitan internal guru, yaitu masalah financial income yang diterima guru, yang ini selalu menjadi masalah klise setiap tahunnya dalam drama pendidikan kita. Guru-guru yang seharusnya fokus pada kerja-kerja kependidikan terpaksa mencari sampingan lain untuk menjaga dapur rumahnya agar tetap dalam kondisi berasap. Kesulitan kemudian bertambah bertubi-tubi dengan sistem pembelajaran dalam jaringan.

Dalam hal ini, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk bagaimana membangun sistem yang membantu guru dan siswa, khususnya yang sebelumnya tak tersentuh teknologi, dan mensejahterakan para guru dengan memberikan financial income yang dengan pendapatannya itu, guru tak perlu berpikir menjadi tukang ojek untuk membiayai dapur dan tetap fokus dalam kerja-kerja kependidikan meskipun dalam kondisi pandemi.

Padahal, menurut saya, untuk menuju definisi guru yang baik, di kala pandemi sekalipun, seperti yang telah diurai di atas, pertama-tama, selain bertugas sebagai transfer knowledge dan fasilitator, ia harus sekaligus menjadi teman belajar dan sahabat dalam mendampingi siswa mengeksplorasi kemampuan, potensi, minat, dan bakat siswa. Untuk mewujudkan itu, maka guru harus fokus. Fokus mengamati karakteristik siswa, menyelami latarbelakang kehidupan siswa, mengamati kebiasaan belajarnya, mendalami minat dan bakatnya, serta membantu menggali potensi terpendam dalam diri siswa—meskipun dalam jaringan. Hal ini sama seperti yang pernah disampaikan oleh pakar Tasawuf, Anis Sholeh Ba’asyin bahwa salah satu wujud keagungannya sebagai guru sejati adalah: beliau tak pernah memosisikan orang-orang yang mengikuti ajaran yang dibawanya sebagai murid, tapi sebagai sahabat.

Ini dibutuhkan komitmen yang tegas dari seorang guru seperti misalnya mempelajari proses pembelajaran daring, mempelajari aplikasi-aplikasi pembelajaran daring, berkomunikasi terus-menerus dengan siswa layaknya seorang sahabat. Komitmen yang tegas seorang guru ini dibangun oleh komitmen pemerintah dalam mendukung pendidikan di masa pandemi dengan memperhatikan sekolah-sekolah yang belum tersentuh teknologi.

Pada akhirnya, sebagai guru anyar, kesulitan saya ialah benturan antara konsep tersebut dan bagaimana mempraktikannya di dalam lapangan. Meskipun demikian, saya masih meyakini dan semoga terus meyakini, bahwa guru merupakan tonggak kemajuan pendidikan. Dalam kondisi apapun, guru tetap guru. Ia tetap menjadi faktor utama kemajuan pendidikan bangsa. Yang berbeda hanya bagaimana untuk mencari metode yang tepat dan menyesuaikan dengan kondisi siswa dan sekolah. Hal itu merupakan perwujudan guru sebagai fasilitator.

Sekolah, melalui guru, dibantu oleh pemerintah sebagai fasilitator berjalannya proses pembelajaran. Seperti di sekolah saya, karena memang sekolah kami berbasis kejuruan komputer, guru-guru kami sebagai fasilitator membuat e-learning khusus yang kemudian dipelajari bersama-sama guru dan siswa. Meski banyak kendala pada prosesnya, upaya-upaya yang seperti ini seharusnya menjadi komitmen guru, dibantu oleh pemerintah dalam menyediakan sistem pendidikan yang tahan akan kondisi sulit sekalipun.

Untuk mewujudkan itu, di usia mengajar saya yang masih belia ini, saya akan berusaha menjadi transfer of knowledge, fasilitator, dan sahabat bagi mereka sambil tetap berharap pembelajaran kembali seperti biasanya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image