Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image UMI KULSUM

LEARNING LOSS DAN MULTIPERAN GURU

Guru Menulis | Sunday, 10 Oct 2021, 23:51 WIB

Pembelajaran jarak jauh (PJJ) berdampak besar dan permanen. Dikutip dari tulisan di koran Republika tanggal 17 September 2021, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Menristekdikti) Nadiem Makarim memohon kepada pemerintanh daerah agar turut membantu menyelamatkan anak-anak dengan pelaksanaan pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas. Langkah ini dipandang penting menyelamatkan mereka dari learning loss yang berpotensi mengakibatkan ketertinggalan. Dampak PJJ dapat dilihat dari aspek putus sekolah, penurunan capaian pembelajaran, dan kesehatan mental serta psikis anak-anak.

Pelaksanaan PTM dilakukan secara bertahap, sesuai dengan level PPKM di daerah masing-masing (Koran Republika, Rabu 15 september 2021). Hingga Kamis (9/9), data sekolah yang diperbolehkan melakukan PTM mencapai 490.217 sekolah.Dari 514 kabupaten/kota, 471 daerah diantaranya merupakan daerah yang menerapkan PPKM level I-III. Jika dihitung dari jumlah sekolah 540.000, 91 persen diantaranya boleh melakukan PTM.

Learning Loss dan Identitas Remaja

Learning loss adalah istilah yang mengacu pada hilangnya pengetahuan dan keterampilan baik secara umum atau spesifik, atau terjadinya kemunduran proses akademik karena suatu kondisi tertentu. Pemicu learning loss diantaranya periode libur panjang pada kalender akademik, putus sekolah akibat kemiskinan dan ditutupnya sekolah tatap muka akibat pandemi yang mengharuskan isswa melakukan PJJ.

Learning loss seringkali diakibatkan cara mengajar yang hanya dipindahkan dari dalam kelas lalu diadopsi sepenuhnya ke pembelajaran dalam jaringan (daring). Guru hanya melakukan pembelajaran satu arah yang memicu rasa bosan. Tidak ada interaksi timbal balik secara sehat yang memungkinkan peserta didik meningkatkan pengetahuan, pemahaman dan keterampilannya secara maksimal. Tantangan ini mengancam kesehatan mental dan krisis identitas peserta didik.

Dr. Paul Marsden, seorang psikolog dari University of Arts London, menjelaskan bahwa pandemi dapat mengakibatkan krisis identitas. Identitas positif didorong oleh tiga hal; rasa atas otonomi atau kepentingan, keterkaitan satu sama lain, dan kompetensi. Pandemi yang membatasi aktifitas sosial sangat memengaruhi ketiga hal tersebut. Rasa atas otonomi berhubungan dengan kebebasan dengan kebebasan diri, kendali, serta pilihan yang dapat membuat frustasi jika pilihannya dibatasi. Rasa keterkaitan satu sama lain berhubungan dengan relasi, kepedulian, dan afiliasi yang akan frustasi jika mengalami physical atau social distancing. Sementara rasa kompetensi berhubungan dengan prestasi; dapat mengakibatkan frustasi jika merasa tidak kompeten untuk menghadapi hal tersebut.

Seorang guru muda sebuah sekolah, teman penulis, menyampaikan keluh kesahnya. Ia baru saja mengajar sekitar tiga bulan di sekolah menengah tersebut. PTM telah dilakukan dan beberapa persoalan bermunculan. Sebagian peserta didik remaja menunjukkan motivasi belajar yang rendah. Mereka mengaku tidak memiliki cita-cita dan belum menemukan alasan mengapa harus belajar. Selama pandemi mereka cenderung bersantai dan tidak merasa belajar.

:Keluarga memiliki peran sangat penting selama PJJ pada masa pandemi. Pendampingan orang tua di rumah akan menentukan apakah peserta didik remaja mengalami krisis identitas diri atau tidak. Krisis identitas ini terjadi manakala ia merasa bingung dengan apa yang disukai dan tidak disukai dan mulai merasa seolah tidak yakin dengan dirinya dan apa yang diinginkan dalam hidup.

Empat jenis identitas remaja yaitu:

1. Penyebaran Identitas (Identity Diffusion), yaitu remaja yang belum melakuakn eksplorasi, belum memiliki pilihan bermakna, dan belum memiliki komitmen untuk diri mereka sendiri

2. Penundaan Identitas (Identity Moratorium), yaitu remaja yang sedang berada di tengah-tengah eksplorasi, tetapi tidak memiliki komitmen, memilki prinsip yang belum jelas

3. Pencabutan Identitas (Identity Foreclosure), yaitu remaja yang telah memiliki komitmen tetapi belum melakukan eksplorasi

4. Pencapaian Identitas (Identity Achievement) yaitu remaja yang telah mengalami eksplorasi dan sudah membuat koitmen dan ideologi untuk dirinya sendiri

Komitmen Pendampingan Guru bagi Peserta Didik Remaja

Guru, orang tua dan peserta didik menyambut baik diberlakukannya PTM, setelah lebih dari setahun terkungkung akibat pandemi. Adaptasi terhadap perubahan ini perlu disikapi secara baik melalui kerja sama antara orang tua dan guru. Peserta didik remaja yang tak punya motivasi belajar, kebingungan beradaptasi dengan perubahan akibat pandemi, perlu didampingi oleh guru di sekolah.

Guru dapat melakukan hal-hal di bawah ini untuk membantu peserta didik menemukan dab menguatkan identitas dirinya:

Ajak peserta didik untuk mencari alasan besar mereka tentang hidup dan kehidupan. Alasan besar ini perlu dimunculkan dari hasil pemikiran mereka yang terbimbing. Menemukan alasan besar dari dalam diri mereka sendiri akan meningkatkan kepercayaan diri. Dari sinilah komitmen mereka tentang hidup akan terbentuk. Lakukan dialog dan gali bersama penyebab hilang motivasi, kegiatan yang berperan dalam menghilangkan motivasi dan kegiatan yang penting untuk menaikkan motivasi. Dorong mereka untuk berkomunitas secara positif dan produktif. Proyek-proyek kebaikan dapat menjadi jalan mereka menemukan eksistensi dan merasa berharga. Aktiflah mendengar secara responsif. Hindari ceramah dan menggurui yang berlebihan. Jadilah teman bicara yang membua mereka merasa aman mengungkapkan gagasan perasaan dan keinginannya.

Memilih menjadi guru, berarti memilih menjalankan multi-peran; sebagai orang tua, sebagai sahabat, sebagai teman diskusi, sebagai konselor, dan sebagai solution-maker. Apalagi saat pandemi, dimana terjadi krisis multidimensi, termasuk diantaranya krisis identitas peserta didik remaja. Multiperan yang akan mendatangkan multipahala dan kebaikan, insyaaAllah.

#GuruHebatBangsaKuat

Subtema: Guru dan Komitmen Tanpa Batas Saat Pandemi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image