Masa Depan Pelajar Era Pandemi
Guru Menulis | 2021-10-10 16:28:59Bagaimana masa depan pelajar era Pandemi? Pertanyaan sekaligus sebuah kekhawatiran yang wajar. Pasalnya, ada banyak persoalan dalam proses belajar online yang diterapkan sejak awal pandemi. Ya, kita sedang belajar di tengah musibah. Wajar jika kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim menyebut bahwa kebijakan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) adalah kebijakan darurat di tengah krisis kesehatan. Itu artinya, PJJ atau belajar online tidak termasuk pada skema pendidikan yang ideal. Dilematis tentu saja. Di satu sisi, belajar online bagian dari upaya digitalisasi yang niscaya dilakukan di era industri 4.0. Namun di sisi lain, belajar online memiliki beberapa persoalan, baik secara teknis maupun substansi.
Setidaknya ada empat persoalan yang dihadapi dalam penyelenggaraan belajar online. Pertama, pemanfaatan teknologi yang belum merata. Masih banyak yang belum menguasai. Kedua, masalah jaringan internet yang seringkali mengganggu proses belajar. Khususnya di daerah terpencil, masalah ini sangat menghambat. Ketiga, keterbatasan interaksi antara guru dan anak didik yang membuat kurang efektifnya pembelajaran. Tidak adanya interaksi tatap muka ini, dinilai dapat memengaruhi merosotnya aspek kognisi (kemampuan berfikir) dan afeksi (sikap/moral) murid. Keempat, anak didik menjadi semakin kecanduan gadget. Intensitas anak didik dengan ponsel semakin tinggi. Persoalannya, anak didik cenderung lebih banyak bermain game dan media sosial, ketimbang belajar.
Kekhawatiran akan merosotnya kualitas pendidikan, adalah hal yang lumrah. Namun kekhawatiran itu dapat dipatahkan dengan gagasan dan kreativitas seorang guru. Satu hal yang harus juga diingat, terlepas dari musibah pandemi covid-19, sebenarnya kita memang sedang hidup di era revolusi industry 4.0. Sehingga perubahan dan kreativitas pemanfaatan teknologi sangat dituntut dalam menyongsongnya. Ya, saat ini guru dihadapkan pada dua kondisi dalam satu waktu. Sebuah pertaruhan bagi guru dalam membantu masa depan anak didiknya.
Jika masa pandemi terkait dengan pembatasan kegiatan yang mengharuskan pembelajaran jarak jauh, maka revolusi industry 4.0 menuntut kecakapan dalam memanfaatkan kecepatan teknologi. Guru yang hebat harus melihat keduanya dengan sikap optimis. Sebab perubahan itu niscaya, maka guru dituntut untuk menyikapinya dengan adaptif. Bukan hanya teknologi yang harus dipahami, namun juga memahami bagaimana interaksi pelajar dengan teknologi.
Berdasarkan riset yang bertajuk âNeurosensum Indonesia Consumers Trend 2021: Social Media Impact on Kidsâ oleh perusahaan riset independen berbasis kecerdasan buatan, sekitar 87% anak-anak Indonesia sudah mengenal media sosial sebelum usia 13 tahun. 54% di antaranya sudah mengenal sejak usia 7 tahun. Usia yang menyalahi batas usia minimum yang diterapkan beberapa media sosial seperti Youtube, Instagram, dan Facebook. Selain itu, berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2019-2020, penetrasi pengguna internet di Indonesia didominasi oleh kelompok usia 15-19 tahun (91 persen).
Artinya, para pelajar di Indonesia sudah sangat akrab dengan dunia internet, khususnya media sosial. Dan menurut survey yang dirilis oleh Cheetah Global Lab pada tahun 2018, menunjukan bahwa netizen Indonesia paling sering mengakses hiburan dengan 81,45% dengan rata-rata akses per hari selama 1,2 jam. Data tersebut menjadi referensi para guru sebagai pertimbangan dalam mensiasati proses pembelajaran.
Realita yang sedang dihadapi oleh guru adalah kenyataan bahwa anak didiknya banyak menginput hiburan dari internet. Sehingga tentu saja hal itu akan memengaruhi paradigmanya terhadap dunia sekolah. Bukan tidak mungkin, bahwa banyak di antara mereka yang kemudian memandang proses belajar sebagai rutinitas yang membosankan. Inilah yang sejatinya menjadi tantangan dalam pembelajaran online. Guru harus mampu membuat kesibukan yang menyenangkan bagi anak didik. Sehingga penggunaan ponsel tidak didominasi dengan aktivitas hiburan yang tidak bermanfaat. Dengan kata lain, kita tidak bisa memaksa pembatasan pemakaian ponsel. Yang bisa kita upayakan, bagaimana agar penggunaannya bisa lebih produktif.
Saat memberikan materi atau tugas, kita harus berusaha agar anak didik tidak merasa sedang mengerjakan tugas. Ya, ubah anggapan, âsaya sedang mengerjakan tugasâ, menjadi âsaya sedang berkarya (konten)â. Dengan anggapan sedang membuat konten, maka anak didik tidak akan merasa terbebani. Guru dapat memberi penugasan yang sinkron dengan kebiasaan bermedia sosial anak didik. Misal, memberikan tugas untuk mengulas buku dengan gaya ngevlog, dan mempostingnya di akun media sosial. Vlog yang âkerenâ dengan ike dan kolom komentar terbanyak akan mendapat reward. Dan banyak lagi yang bisa diadaptasikan agar anak didik dengan senang hati mengikuti proses belajar secara online.
Langkah tersebut bagian dari upaya sekaligus pertaruhan bagi guru. Jika tidak dilakukan, maka apa yang dikhawatirkan tentang masa depan pelajar di era pandemi, bisa saja menjadi mimpi buruk bangsa. Sebab majunya bangsa di masa depan, bergantung pada bagaimana hebatnya guru mensiasati pendidikan di masa pandemi hari ini.
Rasulullah SAW bersabda: "Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian."
#GuruhebatBangsakuat
Hilman Indrawan â Guru MTs Persatuan Islam, Bandung
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.