Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rut Sri Wahyuningsih

Layakkah Kenaikan TDL 3000 VA Disebut Berbagi beban

Bisnis | Saturday, 04 Jun 2022, 22:46 WIB

Tarif Dasar Listrik (TDL) kembali naik. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan usulan kenaikan tarif listrik di atas 3.000 VA tersebut sudah disetujui oleh Presiden Joko Widodo. "Presiden dan kabinet sudah menyetujui untuk berbagi beban, kelompok rumah tangga yang mampu, yaitu mereka yang langganan listriknya di atas 3.000 VA, boleh ada kenaikan tarif listrik, hanya di segmen itu ke atas," ujar Sri Mulyani dalam rapat bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR RI.

Ekonom yang juga Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai kenaikan tarif dasar listrik untuk golongan 3.000 volt ampere (VA) ke atas akan menyebabkan inflasi ke depan dan yang akan menerima dampaknya langsung adalah masyarakat miskin (JPNN.com, 22/5/2022).

Alasan pemerintah dengan menaikkan TDL untuk kelompok menengah ini adalah bentuk berbagi beban atas kesulitan pemerintah. Sehingga rakyat diminta untuk faham dan rel berbagi penderitaan itu. Rasanya sakit sekali, faktanya, kenaikan ini memang akan menambah sedikit pemasukan negara, namun tetap akan berdampak inflasi yang menyusahkan rakyat kelas bawah. Apalagi, sebelum kenaikan TDL harga kebutuhan pokok lainnya sudah naik. Minyak goreng pun setelah kembali banyak di pasaran harga masih tetap mahal.

Sampai kapan rakyat terus menerus menanggung beban negara? Berbagai alasan seperti subsidi tidak tepat sasaran, membebani APBN, gotong royong kerap disodorkan kepada rakyat, dengan maksud untuk dicerna dan diterima sebagai sebuah kelogisan. Bukankah negara diadakan untuk memudahkan urusan rakyat, jika begini keadaannya, rakyat kian sengsara, penguasa kian kaya.
Dengan kekuasaan yang mereka miliki, mereka mampu terus mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Menguasai sarana dan prasarana. Hal ini bisa dilihat dengan kasat mata, berbagai janji ditebar menjelang pemilu, para calon pemimpin berganti warna dan penampilan, seolah mereka benar-benar layak menjadi pemimpin sekaligus pelayan umat. Berbagai baliho terpampang wajah mereka dengan penampilan agamis. Hingga muncul pendapat di masyarakat ," kalau sudah lihat tokoh memakai peci, kerudung dan mengadakan safari kunjungan ke para ulama, maka bisa dipastikan pemilu sudah dekat".

Namun, ketika kekuasaan sudah ada di pundak, mereka lupa janji saat kampanye. Sumber daya alam yang semestinya menjadi hak seluruh rakyat ramai-ramai ditawarkan kepada asing untuk dikelola. Alasannya kita tertinggal secara teknologi, sumber daya manusia kita tidak terdidik dan yang lainnya. Padahal yang dikejar hanyalah provit investasi yang tak seberapa, sementara rakyat terkapar tak berdaya karena dihimpit berbagai persoalan tanpa ada solusi yang pasti.
Mengapa penguasa bersikap bak kerbau dicocok hidungnya? Bukankah sepatutnya penguasa memilih kebijakan yang tidak memberatkan masyarakat kelas menengah dan menyengsarakan kelas bawah. Namun, di sistem aturan hari ini sangatlah sulit. Sebab pasar, produksi, SDM, distribusi dikuasai hanya oleh segelintir orang saja. Dimana saking berkuasanya hingga mampu membalik keadaan, mempengaruhi harga di pasaran, menentukan kebijakan, menimbun, berlaku curang bahkan menjadi pelaku bisnis itu sendiri, sementara amanahnya menjadi penguasa di peringkat kesekian.
Kapitalisme yang berjalan di dalam pengaturan pemenuhan kebutuhan rakyat telah sukses menjadikan hubungan rakyat dengan penguasa menjadi hubungan bisnis. Untug rugi. Hal ini jelas bertentangan dengan Islam. Rasulullah Saw bersabda," Siapa saja yang diamanahi oleh Allah untuk mengurus rakyat, lalu mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah mengharamkan surga atas dirinya". (HR Muslim).

Semestinya, penguasa mengubah paradigma dan sistem pengelolaan sumber daya energi dengan Islam. Rasulullah Saw bersabda,"Sungguh pengkhianatan paling besar adalah saat penguasa memperdagangkan (urusan/kepentingan) rakyatnya (HR Abu Nu’aim).

Kebutuhan pokok rakyat yang harus dipenuhi negara dalam Islam adalah sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan. Penguasa yang bertakwa dan adil, sebagaimana yang Islam syaratkan, tidak akan ringan mengucapkan kita tidak mampu, baik secara teknologi maupun kecakapan manusianya sebelum mengupayakan secara maksimal.
Mengapa demikian? Sebab, pengurusan urusan rakyat ini adalah manifestasi negara sebagai pengurus rakyat sekaligus menunjukkan kedaulatan yang kokoh atas negaranya. Bukankah investasi atau mempersilahkan sumber daya alam kita dikelola asing sama dengan mengkhianati kedaulatan bangsa?
Bagaimana dengan penerapan Pancasila sila ke lima yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Secara sosial sudah nampak jurang lebar menganga antara di kaya dan miskin. Inflasi ekonomi yang ditakuti secara periodik berlangsung, sejatinya ini bukan Fenomen normal, namun ini adalah keburukan kapitalisme sebagai pengatur perekonomian yang menitikberatkan pada kemauan para pemilik modal atau korporat. Merekalah yang sesungguhnya berkuasa, Bukan penguasa itu sendiri.
Maka, tak ada solusi lain selain menerapkan syariat Islam. Mau ditolak atau diterima, syariat Islam Islam satu-satunya sistem aturan yang berisi bukan hanya akidah dan ibadah. Kapitalisme sudah menunjukkan bahwa ia adalah faham negatif, padahal baru berusia di bawah seratus tahun . Sementara negara Islam besutan Rasullah Saw, berjalan sepanjang 1.300 tahun, sekaligus memengaruhi masuk dunia barat kala itu. Wallahu a'lam bish showab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image