Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Alfito Wahyu

Sistem Bagi Hasil Sebagai Solusi Dari Praktik Riba

Eduaksi | Saturday, 04 Jun 2022, 10:47 WIB

Pembahasan mengenai Riba memang saat ini menjadi hal yang sering dibicarakan oleh masyarakat. Dalam ekonomi syariah, Riba ini hukumnya haram. Supaya tidak ada kesalahpahaman dalam mengartikan apa itu Riba, maka mari kita simak penjelasan berikut ini.

Apa itu Riba?

Riba jika ditinjau dari bahasa memiliki makna bertambah dan tumbuh. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Riba berarti bunga uang, lintah darat, atau rente. Sementara itu secara umum riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun peminjaman secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalah Islam. (Antonio, 2005)

Pada zaman dewasa ini riba dikaitkan dengan tambahan nominal dalam jual beli atau peminjaman atau yang sering disebut dengan bunga. Besarnya bunga ini ditentukan dari presentase peminjaman yang diberikan. Semakin besar presentase pinjaman yang diberikan maka semakin besar pula nominal tambahan yang harus dikembalikan (bunga).

Jenis – jenis Riba

Secara umum riba ini dibagi menjadi dua, yakni riba jual beli dan riba peminjaman. Kemudian riba jual beli ini dibagi menjadi dua, riba qard dan riba jahiliyah. Sedangkan riba peminjaman juga dibagi menjadi dua, riba fadhl dan riba nasi’ah.

Riba Qard adalah tambahan tertentu yang disyaratkan kepada yang berhutang.

Riba Jahiliyah adalah tambahan nominal hutang yang dikenakan kepada pemilik hutang karena tidak dapat membayar hutang sesuai dengan jatuh tempo yang diberikan.

Riba fadhl adalah pertukaran barang sejenis akan tetapi dengan kadar takaran yag berbeda, kemudian barang tersebut juga termasuk kedalam barang yang ribawi.

Riba nasi’ah adalah penangguhan penyerahan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan barang dengan jenis ribawi lainnya.

Hukum Riba

Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Bunga, riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. Maka riba ini hukumnya haram. Kemudian berdasarkan Surat Ar-rum ayat 39 yang juga merupakan surah dari alquran pertama yang membahas tentang riba. Dalam surah ini digambarkan adanya unsur negative dari riba.

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ

Artinya : Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).

Kemudian dalam Surah An-Nisa Ayat 161 dijelaskan pula tentang isyarat keharaman dari riba ini.

وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا

Artinya : dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

Lalu dalam surah Ali Imron ayat 130 dinyatajan keharaman salah satu bentuknya secara eksplisit.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

Pada surah Al Baqarah ayat 278 – 279 juga dijelaskan mengenai keharaman riba secara total dalam berbagai bentuk.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ

Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.(278) Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya(279).

Mudharabah Menjadi Solusi Permasalahan Riba

Setelah mengetahui apa itu riba dan bagaimana hukum riba dalam perekonomian syariah, maka mudharabah (bagi hasil) menjadi solusi dari permasalahan tersebut. Sebelumnya mari kita cari tahu lebih lanjut mengenai Mudharabah (bagi hasil) ini.

Mudharabah adalah kontrak antara dua pihak dimana satu pihak disebut rab al-mal (investor) mempercayakan uang kepada pihak kedua, yang disebut mudharib , untuk tujuan menjalankan usaha dagang yang keuntungan dari usaha tersebut dibagi dua sesuai dengan kesepakatan awal. Tidak hanya pada keuntungan, akan tetapi dalam hal kerugian akan ditanggung oleh kedua belah pihak juga. Akan tetapi jika kerugian tersebut dikarenakan factor di luar kesalahan pelaksana modal maka akan ditanggung oleh pemilik modal, selain itu akan ditanggung oleh pelaksana modal.

Meskipun mudharabahtidak secara langsung disebutkan oleh al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi merupakan sebuah kebiasaan yang diakui dan dipraktikkan oleh umat Islam, dan bentuk kongsi dagang semacam ini tampaknya terus hidup sepanjang periode awal era Islam sebagai tulang punggung perdagangan karavan dan perdagangan jarak jauh.

Dalam menyebutkan kontrak/akad haruslah jelas dan rinci jumlah modalnya. Hal tersebut jika jumlah modalnya dinyatakan dalam satuan mata uang. Modal yang diberikan dengan akad mudharabah ini tidak boleh berupa satuan hutang yang akan dipinjam mudarib pada saat melaksanakan akad. Mudharib haruslah memiliki kebebasan dalam mengelola modal yang dipinjamkan.

Investor tidak memiliki hak untuk menuntut apapun dari mudharib dalam mengembalikan modal atau modal dengan keuntungan. Karena antara investor dan mudharib ini bersifat gadai dan mudharib adalah orang uag dipercaya, maka jaminan semacam yang disebut di atas tidak perlu. Jika investor mempersyaratkan pemberian jaminan dari mudharib dan hal tersbeut dinyatakan dalam syarat kontrak, maka kontrak/akad mudharabah ini tidak sah.

Mudharib tidak boleh mengambil keuntungan dalam bentuk apapun sebelum modal investor dikembalikan secara penuh 100%. Jika modal yang diberikan dapat dikembalikan 100% baru dibagi keuntungannya sesuai prosetase yang disepakati pada awal kontrak.

Tidak hanya keuntungan saja yang dibagi dua, akan tetapi kerugian dalam akad mudharabah ini juga akan ditaggung oleh investor. Investor tidak boleh menuntut ganti rugi kepada mudharib jika pelaksanaannya telah dilakukan sesuai kesepakatan. Investor hanya bisa menuntu mudharib jika terjadi Tafrith (menyepelekan bisnis dan tidak bekerja semestinya) dan Ta’addi (menggunakan harta selain kebutuhan usaha).

Setelah memahami penjelasan di atas, tentu saja kita tahu bahwa mudharabah ini bisa menjadi solusi dari permasalahan riba. Karena jika kita melakukan peminjaman tanpa akad mudharabah maka pihak investor tidak mau tahu apakah kita sedang untung atau rugi dalam melakukan pengelolaan modal awal tersebut. Investor hanya menuntut modal awal yang diberikan dapat dikembalikan. Tidak hanya itu Investor juga menuntut tambahan nominal dari modal peminjaman awal tersebut. Jika pelaksana modal dalam keadaan rugi, maka investor tetap menuntutnya untuk mengembalikan modal awal dan tambahan nominalnya (bunga). Yah, habis jatuh tertimpa tangga pula dong.

Hal tersebut tidak berlaku dalam akad mudharabah. Jika pihak pengelola modal ini mengalami kerugian, maka pihak investorlah yang berhak menanggungnya. Akan tetapi jika pihak pengelola modal ini melaksanakan pengelolaan sesuai dengan kontrak awal.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image