Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Satriyo

Malam Berbintang-bintang itu Telah Tiba: Sebuah Usaha Menyongsong Pendidikan Berbasis Teknologi

Guru Menulis | Sunday, 10 Oct 2021, 03:45 WIB

Lewat sejarah kita belajar bahwa dunia selalu menuntut perubahan, tak ada tempat bagi mereka yang anti terhadap kebaruan. Pada tahun 1825 mesin pintal beroprasi pada pabrik-pabrik di Inggris, untuk membuat dan menjalankannya hanya dibutuhkan besi dan batu bara. Kala itu, masyarakat mengalami goncangan besar—segala sesuatu berubah, dan nyaris tak ada tatanan lama yang dapat dipertahankan. Mesin otomatis itu tak memerlukan keahlian khusus, cara pengoprasiannya dapat dipelajari dalam beberapa jam saja, dengan bantuan mesin mereka dapat menyelesaikan lebih banyak pekerjaan daripada seratus ahli tenun terdahulu. Dan yang terjadi kemudian keahlian mereka tak dibutuhkan lagi.

Terlepas dari dampak yang ditimbulkan, manusia mau tak mau harus menerima dan menyesuaikan diri dengan segala perubahan. Kekolotan pada akhirnya akan tersingkir, kalah, dan dilupakan. Awal 2020 lalu adalah contohnya. Covid-19 menuntut perubahan besar pada dunia, dan perubahan itu berlaku untuk semua hal, tak terkecuali pendidikan.

Kita tahu, virus corona menciptakan krisis kesehatan yang salah satunya—memicu ditutupnya sekolah dan kampus-kampus. Tak ada lagi perjumpaan pada tiap-tiap sekolah, pembelajaran dilakukan secara daring. Setiap guru harus menyampaikan pelajaran menggunakan teknologi, dan setiap murid harus membiasakan teknologi untuk belajar. Dan, kedua hal itu sebelumnya memang belum lumrah dilakukan di Indonesia. Lantas apa yang terjadi pada pendidikan kita kemudian?

Mengutip katadata.co.id, berdasarkan survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dengan total 246 pengaduan dari 1.700 siswa pada tanggal 13-21 April 2020. Pembelajaran daring memiliki kesulitan seperti 77.8% mengeluh karena tugas terlalu banyak, 76.7% siswa menyatakan tidak senang belajar di rumah, 42.2% tidak memiliki kuota internet, 37.1% mengeluh waktu pengerjaan tugas terbatas, dan 15.6% responden tidak memiliki peralatan seperti laptop atau ponsel.

Selain itu, pada 13 April 2020 berdasarkan data dari Kemendikbud terdapat 179.097 (81.5%) satuan pendidikan yang mempunyai akses listrik dan internet, 33.227 (15.1%) satuan pendidikan mempunyai listrik tetapi tidak tersentuh internet, dan 7.552 (3.4%) satuan pendidikan tak tersentuh listrik dan internet.

Berdasarkan data di atas kita dapat melihat bahwa pendidikan kita masih begitu timpang. Masih banyak daerah—khususnya di luar pulau Jawa, yang untuk mengikuti proses belajar daring musti jungkir balik, baik siswa, orang tua, maupun guru. Nah, pada titik inilah pentingnya peran tiga pondasi pendidikan yakni: orang tua, guru, dan pemerintah. ketiganya penting untuk memperbaiki dan memperkokoh transformasi pendidikan berbasis teknologi. Bahwa misalnya pandemi ini telah usai, siswa sudah terbiasa dengan teknologi untuk proses belajar. Dengan demikian pendidikan kita tak lapuk termakan zaman.

Saya percaya pendidikan berkualitas bukanlah mimpi bagi kita, asalkan ketiga pondasi tersebut berperan sesuai dengan porsinya masing-masing.

Misalnya, orang tua sebagai orang paling dekat dengan murid tak hanya memasrahkan pendidikan kepada guru, melainkan juga membantu guru dalam pembelajaran. Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari mendukung penuh proses pembelajaran, mendampingi, mengenalkan dan membiasakan menggunakan teknologi untuk belajar. Singkatnya menciptakan suasana yang menyenangkan dan kondusif dalam pembelajaran. Kondisi semacam itu adalah kunci, sehingga anak tak merasa tertekan dan menikmati proses belajar.

Selanjutnya, ketika ruang paling dekat dengan murid telah kondusif, peran penting setelahnya dipegang oleh guru.

Kita mungkin sering melihat postingan viral di media sosial tentang orang tua yang mengeluh dengan proses pembelajaran daring. Tentu hal itu bukan salah murid, karena pada dasarnya tak ada murid yang gagal, yang ada hanyalah guru yang gagal. Hal itu terjadi karena guru masih menggunakan metode lama untuk mengajar, sedangkan proses belajar kita telah berbeda. Sehingga teknologi hanya digunakan untuk memberi tugas, belum pada proses pembelajaran. Idealnya dengan proses mengajar daring, medium penyampaiannya juga perlu disesuaikan, entah penyampaian dengan PowerPoint, membiasakan menggunakan e-book, memberikan contoh sederhana dengan gambar dan vidio dalam setiap pembelajaran, atau dengan permainan yang mendukung, tentu dengan prinsip belajar yang menyenangkan dan tak membosankan.

Pada titik ini, ketika murid telah terbiasa belajar dengan teknologi, pendidikan kita tak akan gagap dengan segala perkembangan teknologi yang begitu pesat. Hal ini bukan tanpa sebab. Saya berkaca pada masa lampau, ketika saya baru mengenal teknologi sewaktu belajar di Universitas, waktu itu saya dibuat tak berdaya dengan perangkat-perangkat dalam komputer, absensi dan kuliah lewat google classroom, mencari referensi dan banyak hal yang belum biasa dilakukan saat duduk di bangku SMP atau SMA. Saya masih susah payah belajar teknologi untuk belajar, sementara teman-teman saya yang berasal dari kota mengemas tugas dengan cantik dan membaginya di blog yang sudah ia miliki jauh-jauh hari. Saat itulah saya sadar, pendidikan saya sebegitu tertinggalnya.

Saya rasa untuk mengurangi ketimpangan dan menyongsong pendidikan yang ramah teknologi, penting untuk menghadirkan pemerintah di tengah-tengahnya. Dengan kebijakan, kurikulum, sarana, dan pra-sarana yang memperhatikan perkembangan teknologi tentu akan memberi nafas segar bagi dunia pendidikan kita. Hal ini penting, karena tak ada bangsa yang maju tanpa adanya pendidikan yang berkualitas.

Kita tentu tak ingin bernasib sama seperti ahli tenun terdahulu, yang tak dibutuhkan, hilang, dan dilupakan. Dengan pendidikan yang berkualitas, kita akan hidup di era di mana siswa bisa masuk kelas membawa akses seisi perpustakaan penuh buku, ensiklopedia, kamus, kalkulator dan akses internet yang mengubungkan langsung dengan penulis buku yang kita baca. Malam berbintang-bintang itu telah tiba.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image