Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Eli Syarifah

GURU BUKAN MANUSIA SETENGAH DEWA

Guru Menulis | Friday, 08 Oct 2021, 13:04 WIB

Pandemi Covid-19 menyisakan banyak cerita bagi berbagi sektor kehidupan, dan salah satunya adalah bagi dunia pendidikan. Pembelajaran secara daring (dalam jaringan) tidak seindah yang dibayangkan, kurang lebih 16 bulan siswa-siswi melakukan pembelajaran dirumah ternyata mempunyai efek yang sangat besar terhadap psikologis anak-anak.

Interaksi waktu yang besar terhadap android sangat berpengaruh besar terhadap jiwa anak-anak, yang kita takutkan sebagai pendidik adalah alih-alih dengan dalil memegang HP atau android untuk pembelajaran akan tetapi jika para siswa berselancar memanfaatkan HP tersebut untuk aplikasi yang lain dengan konten berbahaya bagi seumuran mereka, seperti game-game yang tidak mendidik ataupun tontonan yang belum disensor atau tontonan tidak sesuai umur mereka. Bukannya seorang guru tidak mau menjadi “kambing hitam” tapi masalah pandemi ini adalah masalah yang harus digotong bersama-sama, pandemi datang di saat para guru belum siap menghadapi pembelajaran yang serba digital, banyak di jumpai kasus sampai ada guru yang rela kredit HP ataupun kredit laptop agar support untuk menyusun video pembelajaran ataupun materi daring lainnya.

Sungguh menjadi guru di era pandemi bukanlah pilihan yang menyenangkan ataupun mengenakkan, disatu sisi kita harus mengikuti sistem disatu sisi lain di tuntut menjadi “manusia sempurna” yang bisa menjawab semua tantangan pandemi, sungguh seorang guru hanyalah manusia biasa yang juga banyak kekurangan dan keterbatasan. Seorang guru dengan penghasilan yang tidak seberapa juga terkadang kehabisan pulsa atau paket data, jadi wajar jika lama dalam membalas whats app ( WA ) dari walimurid.

Sungguh guru bukanlah “Manusia Setengah Dewa”, pandemi yang menyisakan banyak kisah dan permasalahan ini menorehkan sebuah kisah dan pertanda bahwa sektor pendidikan di negeri yang bernama “Indonesia“ ini harus banyak dibenahi. Untuk mempermudah ilustrasinya, tidak mungkin dengan uang recehan ananda bisa masuk di hotel dengan layanan bintang lima, jadi jangan menuntut banyak pelayanan maksimal dari seorang makhuk bernama “guru” karena bisa jadi buat sang guru sehari-hari makanpun susah ( karena minimnya penghasilan mereka).

Belum kering “luka” akibat masalah “pandemi” tiba-tiba pemerintah mengeluarkan regulasi baru bernama “AKM” (Asesmen Kompetensi Minimum), dan apalah daya bagi kami seorang “guru biasa”, yang artinya mau tidak mau tetap harus mengikuti regulasi baru walaupun praktik di lapangan sangatlah tidak mudah, Bagaimana tidak, untuk mengembalikan psikologis siswa yang sudah terlalu lama “tidak sekolah tatap muka” itu saja adalah tantangan yang cukup berat. Untuk itu saya pribadi cukup memahami kekhawatiran Bapak Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim jika sekolah di ulur-ulur terus pertemuan tatap muka, bukan hanya tertinggal dalam penguasaan materi saja. Yang lebih mengkhawaturkan adalah degradasi moral, kedispilan, dan masalah sosial yang lainnya.

Para siswa akan banyak menghabiskan waktu bersama gadget yang luar biasa pengaruh buruk daripada pengaruh positifnya, mereka kehilangan panutan (qudwah atau public figure) yang seharusnya mereka dapatkan di sekolah. Maka tak heran jika dalam pertemuan tatap muka secara terbatas ini ( walau hanya sebentar, kurang lebih 2 jam untuk kelas bawah dan 3 jam untuk kelas atas) pasti kita sebagai seorang guru yang mendampingi mereka akan merasakan hal yang berbeda dalam membimbing para siswa.

Saya sebagai seorang guru dan juga seorang ibu dari tiga anak saya faham betul jika para siswa saat ini “sulit diatur”, “susah diberi tahu”, “susah untuk duduk diam dan mengerjakan”, ya karena dalam 16 bulan mereka tidak masuk sekolah banyak hal terjadi yang tidak kita ketahui, interaksi yang terlalu lama dengan benda tipis bernama “HP atau android” memberikan pengaruh “kurang baik” bagi anak-anak didik kita.

Di tengah-tengah pembelajaran, saya perhatikan betul anak-anak yang tidak bisa diam di dalam kelas, saya amati dengan seksama, dari mulai gerakan dan percakapan mereka, dan saya simpulkan “sangat mirip” dengan “sebuah game” ya betul sekali seperti sebuah adegan dan dialog dalam salah satu aplikasi game yang cukup favorit di kalangan anak-anak sekolah dasar. Rasanya ingin menangis, ingin protes tapi saya tidak tahu mengadu ke siapa, yang hanya bisa saya lakukan sebagai “guru biasa” menasehati siswa-siswi saya dalam pertemuan terbatas ini agar mengurangi interaksi dalam penggunaan HP, meningkatkan ibadah, perbanyak membantu pekerjaan rumah orang tua.

Entah dilaksanakan atau tidak, bagi saya sudah melaksanakan kewajiban saya untuk menyampaikan nasehat terhadap anak bangsa dan yang tidak kalah penting tentunya mendo’akan mereka. Do’a adalah kekuatan terakhir bagi kami “seorang yang lemah” tidak punya suara dan kekuatan untuk mengatur regulasi apapun, semoga sistem pendidikan kita “tidak carut-marut” lagi, Pendidikan bukan hanya tugas bagi seorang makhluk bernama “guru” tapi tugas bersama, seperti yang disampaikan Ki Hajar Dewantara berkata “Setiap orang menjadi guru dan setiap rumah menjadi sekolah”

Dan bagi kita seorang guru teruslah mengupgrade diri, meningkatkan kualitas diri dengan terus menambah ilmu kependidikan yang terus dinamis perubahannya, mengupgrade kemampuan digital kita. Sungguh pandemi ini datang disaat guru-guru belum siap melakukan pendidikan berbasis teknologi. Mau tidak mau, siap ataupun tidak siap, seorang guru adalah “aktor utama” dalam dunia pendidikan ini, mari kita berperan dan berkarya sesuai dengan kemampuan kita masing-masing demi menyelamatkan “anak bangsa” kita tercinta karena merekalah penerus bangsa.

Menimba ilmu tidak mengenal usia, boleh jadi kita sudah merasa “udzur“ untuk masalah teknologi, tapi tidak menjadi alasan faktor usia seorang guru untuk menguasai tekonologi, seprti yang Mahatma Gandhi ungkapkan “Hiduplah seolah-olah kamu akan mati besok, Belajarlah seolah-olah kamu akan hidup selamanya”. Selamat berjuang wahai para guru di penjuru tanah air, sungguh sangat mulia tugasmu dan sangat berat tantanganmu saat ini, tapi selalu yakinlah bahwa “Allah tidak akan membebani Hamba-Nya di luar batas kemampaun” dan selalu yakin pasti akan datang kemudahan setelah kesulitan asalkan kita mau terus berusaha dan berdo’a.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image