Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Atropal Asparina

Pendidikan Masa Pandemi: Pendidikan yang Melampaui Formalitas

Guru Menulis | Thursday, 07 Oct 2021, 12:45 WIB
Dok. Pribadi: Meski terdapat keterbatasan fasilitas komputer, namun para siswa tetap ulet dan bersabar menunggu giliran praktik komputer

Banyak kritik yang dialamatkan pada sistem pendidikan kita selama ini. Mulai dari komodifikasi pendidikan (Eko Prasetyo, 2009), kecenderungan dikotomis-atomistik pendidikan di Indonesia (Amin Abdullah, 2010), sampai pendidikan yang semakin kapitalistik (Sofyan Hadi, 2010) dan semakin serba-formalitas.

Tentu berbagai hasil analisis historis-filosofis terhadap dunia pendidikan kita itu bertolak belakang dengan idealisme pendidikan dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi, "Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air.

Formalitas yang dimaksud dalam tulisan ini adalah formalitas yang bermakna “sekadar mengikuti tata cara; basa-basi” (KBBI, 2021). Sebagai seorang manusia normal, kita semua pasti pernah mengalami formalitas dalam pengertian itu. Mulai dari hal yang dianggap kecil seperti menyisir rambut, berpakaian, sampai hal serius seperti dalam beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Namun, di dunia pendidikan, saat pandemi melanda, benteng formalitas itu justru mendapat perlawan serius dari guru, komite, institusi pendidikan sampai tingkat kementerian. Bagi penulis, di sinilah hikmah besar pandemi, memberi gambaran positif-optimistis dunia pendidikan di Indonesia.

Kritik-kritik konstruktif terhadap dunia pendidikan Indonesia—seperti tersimpul di paragraf awal—tanpa terduga sedikit-banyak terjawab justru dalam kondisi pendidikan dihimpit pandemi. Terutama sekali yang mungkin paling mencolok adalah soal serba-formalitas dalam dunia pendidikan, yang difokuskan pada dua hal: penuntasan kurikulum dan evaluasi pembelajaran.

Formalitas Menuntaskan Kurikulum

Pada saat pandemi, desakan untuk tidak menghentikan proses pendidikan di satu sisi dan ancaman covid-19 di sisi lainnya, menjadikan pola pendidikan baku yang selama ini berjalan, berhasil dipandang secara lebih esensial. Semua itu misalnya tertuang melalui surat edaran Kemendikbud no. 4 Tahun 2020, sebagai berikut:

“Belajar dari rumah melalui pembelajaran daring/ jarak jauh dilaksanakan untuk memberikan pengalaman belajar yang bermakna bagi siswa, tanpa terbebani tuntutan menuntaskan seluruh capaian kurikulum untuk kenaikan kelas maupun kelulusan; Belajar dari rumah dapat difokuskan pada pendidikan kecakapan hidup antara lain mengenai pandemi covid-19; Aktivitas dan tugas pembelajaran Belajar dari Rumah dapat bervariasi antarsiswa, sesuai minat dan kondisi masing-masing, termasuk mempertimbangkan kesenjangan akses/fasilitas belajar di rumah.” (Garis miring dari penulis)

Proses pendidikan yang diwanti-wanti harus lebih humanis, sejatinya tersirat dari surat edaran Kemendikbud. Baik guru atau peserta didik, bisa lebih luwes dan fleksibel dalam menjalani proses pendidikan sesuai dengan analisis dan kesadaran mereka pada apa yang paling dibutuhkan melalui ruang pendidikan.

Melalui pandemi pula, proses pendewasaan seluruh lingkungan pendidikan, seperti guru, peserta didik dan juga orang tua di rumah, terbangun dan terjalin dengan baik—meski secara perlahan. Oleh karena dibukanya keran “tanpa terbebani menuntaskan kurikulum” serta “pendidikan yang difokuskan pada kecapakan hidup secara kontekstual”, maka tanggung jawab dahsyat memberikan pendidikan, tidak terus terjerumus pada stigma salah kaprah yang menyebut bahwa semua itu hanya tugas guru di sekolah.

Efek besar lainnya adalah orang tua dan lingkungan (juga lingkungan maya) dapat ikut proaktif secara mendalam pada proses pendidikan formal anak. Berbeda saat kurikulum hanya dimaknai secara kaku dan rigid, sebatas formalitas yang harus diselesaikan oleh sekolah. Terlebih ketika full day school dipraktikkan beberapa sekolah bergengsi. Proses pendidikan terasa kaku dan serba-formalitas. Tapi tentu lain lagi ceritanya bagi mereka yang berhasil memaknai dan menerapkan kurikulum secara luwes dan lebih esensial.

Formalitas Evaluasi Hasil Pembelajaran

Evaluasi dalam dunia pendidikan dialamatkan untuk mengetahui sejauh mana perubahan dalam diri siswa setelah menerima pembelajaran. Setelah itu baru dapat diketahui tindakan selanjutnya yang dapat diberikan pada siswa tersebut, baik itu dalam aspek kognitif, apektif, ataupun psikomotorik (Bloom, 1956).

Evaluasi dalam bentuk kuantifikasi angka-angka sebenarnya hanya alat untuk memudahkan seorang pendidik, dalam menghadapi peserta didik yang tidak sedikit. Namun jelas, bukan itu jantung utama evaluasi. Proses evaluasi sejatinya menilai perubahan dalam diri peserta didik secara kognitif, apektif dan psikomotorik, baik secara kuantitaif lebih-lebih kualitatif. Jadi, keseimbangan perspesi mengenai hasil evaluasi antara kualitatif dan kuantitafif, harusnya dapat terjaga dengan baik. Termasuk perihal ujian nasional (UN) yang ditiadakan saat pandemi.

Evaluasi menjadi tidak melulu soal rangking yang ditentukan oleh sekadar penjumlahan angka-angka yang juga sudah diracik dengan ilmu hitung rata-rata. Nah, dalam himpitan pandemi, upaya menuju proses evaluasi yang lebih esensial justru hadir, seperti tercermin dari surat edaran Kemendikbud terkait evaluasi, sebagai berikut:

“Bukti atau aktivtas Belajar dari Rumah diberi umpan balik yang bersifat kualitatif dan berguna dari guru, tanpa diharuskan memberi skor/nilai kuantitatif.” (Garis miring dari penulis).

Bentuk timbal balik (baca:evaluasi) yang bersifat “kualitatif dan berguna” jelas disadari merupakan bentuk esensial dari proses pendidikan—tanpa menegasikan sepenuhnya fungsi dari penilaian kuantitatif. Kerja panjang pihak guru dan murid, tidak kemudian terdistorsi hanya melalui angka-angka dan rangking. Bagi murid berprestasi, tentu tidak masalah. Tapi bagi mereka yang kesulitan dalam satu-dua pelajaran, tentu menjadi problem besar pada psikologi dirinya, keluarga, dan bahkan sekolah itu sendiri.

Terakhir, pandemi jelas telah disebut menurunkan kualitas pendidikan kita. Seperti Republika (11 Juni 2021) dan media lainnya menyebut “Setengah Mati Pertahankan Kualitas Pendidikan Saat Pandemi”. Penulis sangat setuju, sebab di sisi sebalik pandemi selalu ada hikmah dan hal positif yang dapat dilihat. Bukan apa-apa, persepsi optimis dalam memotret dunia pendidikan di Indonesia, terlebih saat pandemi akan selalu penting. Semoga juga rasa optimis itu terus beresonansi pada semua civitas dunia pendidikan Indonesia, terutama pada para guru yang hebat. Sebab guru hebat adalah jaminan bangsa kuat.

Referensi

Amin Abdullah, “Islam dan Modernisasi Pendidikan di Asia Tenggara: Dari Dikotomis-Atomistik ke Arah Integratif-Interdisiplinary” dalam Konferensi Internasional Antar Bangsa Asia Tenggara, Universitas Gadjah Mada, 2004.

Benjamin S. Bloom, Taxonomy of Educational Objectives: Handbook 1: Cognitive Domain. USA: David McKay Company, 1956.

Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Resist Book, 2004

Sofyan Hadi, “Globalisasi dan Reformasi Evaluasi Kebijakan Pendidikan Yang Humanis dan Egaliter di Indonesia”, dalam Wahidul Anam & Saifullah, Implementasi Pendidikan Sains di Lembaga Pendidikan Islam. STAIN KEDIRI-NADI Press, 2010.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image