Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Lismomon Nata

Kerikil-Kerikil Proses Belajar Mengajar Daring

Guru Menulis | Wednesday, 06 Oct 2021, 23:19 WIB
Berpose Bersama Setelah Proses Belajar Mengajar Daring (Foto: Momon)

Oleh : Lismomon Nata

(Widyaiswara Ahli Muda Perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Barat)

Pendidikan merupakan basis terbentuknya peradapan adalah sesuatu hal yang tidak terbantahkan. Intensitas penyebaran ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan serta keyakinan akan penanaman nilai humanisme itu muncul dari proses pendidikan. Ketika sistem sosial kian menentukan arah perkembangan masyarakat, tak terelakkan besarnya kebutuhan terhadap partisipasi dan pembelajaran. Inilah prasyarat lahirnya kebudayaan baru. Maka, mimpi kolektif umat manusia hampir sama, yaitu mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya secara terbuka hingga ke jenjang puncak, karena begitu besarnya janji yang diharapkan setelah itu.

Kualitas pendidikan merupakan sebuah standar dalam melihat tinggi atau rendahnya sebuah negara. Di Indonesia, hakekat pendidikan diamanahkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah menjadi manusia seutuhnya. Namun kenyataannya, pencapaian tujuan tersebut tidak serta merta dapat diwujudkan begitu saja. Banyak hal menjadi tantangan dan hambatan yang mesti dihadapi untuk mencapainya, sehingga seringkali dirasa antara harapan dengan kanyataan “jauh panggang dari api”, biasa disebut dengan masalah. Demikian juga dengan hari ini, di mana lebih kurang satu setengah tahun dampak pandemi Covid-19 dirasakan. Kondisi tersebut juga membawa perubahan terhadap pola serta metode yang dilakukan dalam Proses Belajar Mengajar (PBM).

Kegiatan biasanya dilakukan secara klasikal kemudian berganti secara daring. Perubahan seringkali memberikan keterkejutan dan bahkan bisa saja ditolak karena merasa telah berada pada posisi nyaman atau ketidakmampuan untuk mengikuti perubahan tersebut. Demikian juga halnya bila menggunakan perangkat baru yang sebelumnya tidak pernah digunakan, seperti perangkat dalam telepon cerdas (smart phone). Tantangan ini seringkali seperti ‘kerikil’ bagi siapa saja yang belum terbuka cara pandang serta keinginannya untuk mau belajar dan mencoba, karena menggunakan peranti tersebut membutuhkan sebuah keterampilan. Agak sedikit berbeda mungkin bila bagi mereka yang berada pada usia relatif muda atau yang disebut generasi milenial yang sebagian besar telah terbiasa dan melek teknologi.

Di lain sisi, meskipun seberapa sulitnya ekonomi orang tua, tetapi mereka akan terus berupaya untuk memenuhi kebutuhan anak, termasuk untuk membeli laptop atau komputer, setidaknya telepon cerdas sebagai alat utama pembelajaran daring. Bayangkan saja bila ada sebuah keluarga memiliki anak tiga atau empat orang dan mereka semuanya bersekolah, maka butuh minimal dua, tiga atau empat pula alat tersebut karena waktu PBM yang bersamaan, sehingga agak menyulitkan bila mereka menggunakan alat yang sama secara bergantian. Namun, kerikil lain yang seringkali menjadi kendala dalam pembelajaran daring adalah belum meratanya ketersediaan jaringan internet secara baik di setiap daerah. Kondisi seperti itu menjadi permasalahan pula, tidak sedikit dari peserta didik pergi ke suatu tempat yang jauh agar mereka mendapatkan sinyal ponsel yang bagus. Namun, ketersediaan sinyal tersebut tidak menjamin berjalannya PBM secara baik pula karena bisa saja sinyal yang sewaktu-waktu tidak stabil menyebabkan pesan yang disampaikan tidak terdengar dengan baik, hilang bahkan terputus, sehingga terlempar dari ruang virtual (kelas).

Kemampuan peserta didik dalam menggunakan perangkat juga menjadi kerikil selanjutnya. Misalnya karena tidak terampil dalam mengoperasikannya, sehingga tertinggal dalam mengikuti PBM, atau terkait pengetahuan terhadap aplikasi yang lemah juga menjadi masalah. Contohnya ketidakcakapan menghidupkan atau mematikan mikrofon yang menyebabkan suara-suara lain terdengar dan tidak jarang menimbulkan keributan dan mengusik kelas atau kenyamanan peserta didik lainnya.

Kerikil lain adalah semangat belajar dari peserta didik yang masih cenderung belum kuat. Baik apakah bagi peserta didik yang masih anak-anak, seperti pada tingkat Sekolah Dasar (SD), jenjang yang lebih tinggi hingga mahasiswa. Jika dahulu peserta didik membolos dengan cara tidak masuk kelas saat jam pelajaran berlangsung, sekarang bentuk bolosnya bisa saja dengan tidak menghidupkan video. Dengan demikian meskipun ia seolah-olah mengikuti PBM, namun membuka peluang untuk melakukan hal-hal lain, seperti tidur-tiduran atau bahkan bepergian, perangkat tersebut tetap dihidupkan kemudian ditinggalkan atau dimasukan ke dalam saku. Hal tersebut seringkali membuat PMB tidak terkontrol dengan baik.

Guru dan peserta didik yang tidak bertatap muka secara fisik juga seringkali menyebabkan kurang terkendalinya pengetahuan dan pantauan pengajar terhadap peserta didik. Hal ini terjadi seperti tidak terukurnya terhadap pemahaman peserta didik. Apakah mereka mengerti atau tidak? Demikian pula halnya terkait dengan tugas-tugas yang diberikan, apakah mereka yang mengerjakan atau tidak? Secara psikologisnya orang tua condong untuk ‘ikut berpartisipasi’ mengerjakan tugas anaknya agar mendapatkan nilai yang bagus. Maka, tentu nilai kejujuran dan praktiknya perlu untuk diperhatikan secara bersama. Keyakinan bahwa bukan hanya persoalan nilai yang paling penting didapatkan oleh anak, melainkan lebih jauh adalah bagaimana mereka mengerti dan paham terhadap apa yang mereka pelajari.

Oleh karena itu, perubahan yang terjadi adalah suatu bentuk kekuasaan Tuhan terhadap keseimbangan kehidupan manusia. Kerikil-kerikil yang dihadapi tentu akan dapat diminimalisir dan dihindari dengan cara yang baik dan tepat pula. Hal tersebut dapat dilakukan dengan terus meningkatkan kemampuan dan keterampilan dalam media pembelajaran serta bisa saja dengan menggunakan metode 'blanded learning'. Namun yang dibutuhkan juga adalah sebuah kesadaran bahwa sehebat apapun mesin, tidak akan mempu menggantikan rasa dan hati, sehingga meskipun pembelajaran tidak terlepas dari alat teknologi, hati dan perasaan guru untuk selalu tulus ikhlas, serta penuh cinta kasih dalam mendidik dan mengajarkan anak didiknya mesti harus tetap dipertahankan, agar peradaban dan nilai-nilai kemanusiaan tetap terjaga dan mewujudkan bangsa yang kuat.

#GuruHebatBangsaKuat

#GuruMenulis

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image