Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Khasbi Abdul Malik

Konsep Pendidikan Ki Hadjar di Tengah Pandemi

Guru Menulis | 2021-10-05 21:22:47
Foto: Republika.co.id/Antara/Muhammad Iqbal

Mengenal pendidikan di Indonesia, tentu merujuk pada konsep pendidikan Tamansiswa yang diberi nama dengan “Tri Pusat Pendidikan,” yaitu suatu pelaksanaan pendidikan dengan melibatkan alam keluarga, alam perguruan, dan alam masyarakat untuk membentuk manusia-manusia unggul, berbudi, dan cerdas secara lahir maupun batin.

Dalam buku Ki Hadjar Sebuah Memoar, Ki Hadjar menjelaskan bahwa sebelum mengenal alam perguruan dan alam masyarakat, maka anak harus terlebih dahulu dikenalkan pada alam keluarga. Alasannya sederhana, karena keluarga adalah alam pertama yang harus disiapkan untuk mendidik dan menyiapkan generasi masa depan.

Ki Hadjar menilai, sekolah pertama sesungguhnya itu keluarga. Anak sebagai peserta didik, keluarganya sebagai tenaga didik yang membimbing, mengarahkan, dan memberikan pelajaran hidup untuk pertama kalinya. Sehingga pendidikan dalam keluarga akan membawa pengaruh besar bagi perkembangan anak didik di kemudian hari.

Baru setelah alam keluarga, ada alam perguruan. Yaitu, lembaga pendidikan resmi yang sangat penting, karena melalui alam perguruan inilah seorang peserta didik akan diberi bermacam-macam ilmu pengetahuan. Hal ini, bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan masyarakat dengan tersedianya ruang-ruang kelas tempat anak-anak belajar dengan tenang dan nyaman.

Setelah anak-anak mendapatkan banyak materi pelajaran di alam perguruan, maka langkah berikutnya adalah mengajak anak-anak untuk mempraktikkan ilmu yang telah didapat dari alam keluarga dan alam perguruan ke dalam alam masyarakat. Tepatnya, dalam konteks lingkungan yang lebih luas, di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Hal itu sangat berkaitan dengan etika dan moral masyarakat sebagai kontrol sosial yang baik.

Dengan demikian, poros pendidikan di Indonesia sebenarnya tertuju pada Tri Pusat Pendidikan yang diusung oleh Ki Hadjar Dewantara. Yaitu, mengenalkan peserta didik pada alam keluarga, alam perguruan, dan alam masyarakat. Ketiga inilah yang membantu peserta didik mendapatkan pola pendidikan yang baik untuk meningkatkan kecerdasan jiwa dan budi pekertinya.

Tantangan Pendidikan

Di era globalisasi ini, dunia pendidikan cukup memiliki dampak positif atau pun negatif. Positifnya, tenaga didik tertuntut oleh zaman untuk lebih kreatif dalam membimbing dan mengajar, tentunya dibantu dengan alat pendukung teknologi terkembang. Tetapi, justru dampak negatif inilah yang terkadang lebih mendominan seperti anak-anak mudah candu dengan smartphone, game online.

Melihat fenomena di atas, sebagai pendidik khususnya orang tua, harus semakin gigih dalam memperbaiki fungsi pembimbingan pada anak-anaknya di lingkup rumah tangga. Selain itu, lembaga pendidik juga kembali meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas dan perannya di lembaga pendidikan yang dikelolanya.

Sebagai pengingat, dalam amanat Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003, Pasal 40 ayat 1 dan 2, ada tiga utama pendidik yang tersirat di dalamnya yaitu, mendidik, mengajar, dan membimbing peserta didiknya. Melihat amanat ini, para pendidik memiliki tugas untuk mempertahankan tata nilai yang baik untuk generasi bangsa Indonesia.

Hal yang sampai saat ini belum terbantahkan adalah adanya faktor-faktor penghambat atau pendukung untuk pengimplementasian tugas pendidik dalam Proses Belajar Mengajar (PBM). Faktor-faktor tersebut bersumber dari diri sendiri, luar dari pendidikan atau dari kedua-duanya; seperti kondisi ekonomi keluarga, status perkawinan, jumlah anak, pekerjaan sampingan, perbedaan budaya, lokasi dan kondisi sekolah, dan lain sebagainya.

Selain itu, juga terdapat tantangan baru yang terus bermunculan dalam rangka pelaksanaan tugas keprofesionalan guru atau pendidik, seiring terbitnya UU RI No. 14 Tahun 2005 dan PP RI No. 19 Tahun 2005 adalah tantangan normatif berupa sertifikasi guru sebagai jaminan lulus uji kompetensi sebagai guru professional. Dari sini, guru atau pendidik harus berkualitas menurut standar tertentu dengan dibuktikan selembar sertifikat.

Dua kriteria utama di atas yakni; memenuhi kualifikasi akademik pendidikan formal minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1), dan memenuhi standar kompetensi sebagai agen pembelajaran (PP RI No. 19 Tahun 2007, Pasal 28, ayat 1-3). Hal ini untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional yang tercantum dalam PP RI No. 19 Tahun 2005, Pasal 8, Ayat 1.

Tetapi sangat disayangkan, ketika guru honorer tidak memenuhi kualifikasi tersebut, dan terpaksa sertifikat itu tidak didapatkan. Sehingga hak-hak sebagai guru tidak terpenuhi secara maksimal, padahal berapa banyak guru honorer yang sudah pontang-panting puluhan tahun mengajar tetapi haknya tersendat karena adanya sertifikasi.

Pandemi dan Sekolah Daring

Sejak Coronavirus muncul pertama di Kota Wuhan, 1 Desember 2019 dengan gejala meliputi demam, malaise, batuk kering, dan dispnea yang didiagnosis sebagai gejala infeksi virus pneumonia. Pada 12 Januari 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sementara menamai virus baru 2019 novel coronavirus (2019-nCoV). 12 Februari 2020, resmi mengubahnya menjadi penyakit Coronavirus Disease 2019 (COVID-19).

Menurut data dari laman covid19.go.id, update Senin (4/10), secara global dari 115 negara terkonfirmasi sebanyak 157.989.963, meninggal 3.308.368. Sedangkan di Indonesia, 4.220.206 terkonfirmasi, 31.054 kasus aktif, 4.046.891 kasus sembuh, 142.261 kasus meninggal, 40.059.078 spesimen diperiksa PCR+TCM dan Antigen, 26.786.789 total orang diperiksa PCR+TCM dan Antigen, 94.223.690 vaksinasi ke-1, 53.006.923 vaksinasi ke-2, dan Suspek 108.264.

Data ini menunjukkan betapa besar resiko virus corona sehingga merenggut jutaan nyawa manusia, bahkan semua sektor penting pun terkena dampaknya. Begitu juga dengan dunia pendidikan, sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) menguluarkan surat edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijakan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran COVID-19, tertanggal 24 Maret 2020. Surat edaran ini dipertegas dengan surat edaran dari Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tentang Pedoman Penyelenggaraan Belajar dari Rumah (BDR) dalam Masa Darurat COVID-19.

Selanjutnya, berdasarkan Surat Keputusan Berama (SKB) empat menteri (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri) NOMOR01/KB/2020, NOMOR 516 TAHUN 2020, NOMOR HK.01.01/Menkes/363/2020, NOMOR 440-882 TAHUN 2020 tertanggal 7 Agustus 2020, BDR dilaksanakan di hampir seluruh wilayah Indonesia.

Pada tanggal 20 November 2020, pemerintah menyatakan bahwa berdasarkan SKB empat menteri di atas, pembelajaran tatap muka untuk semester genap 2020/2021 (mulai januari 2021) dapat dilakukan dengan kewenangan pengambilan keputusan diserahkan pada pemerintah daerah.

Dari catatan surat edaran di atas, dunia pendidikan mendapatkan sebuah tantangan baru pembelajaran dengan metode BDR. Dengan demikian, para pendidik atau guru dituntut untuk melakukan BDR sesuai pedoman yang diberikan oleh Kemendikmud dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Namun setelah dilakukan BDR, ternyata memiliki dampak buruk terhadap siswa di antaranya seperti siswa mudah bosan, siswa kesulitan memahami pelajaran, bahkan menurut Tim Peneliti Satgas Penanggulangan COVID-19, Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia, siswa pada jenjang pendidikan SMP, SMA, dan SMK, menunjukkan tingkat gejala trauma yang tinggi selama masa belajar dari rumah dilaksanakan.

Meskipun demikian, ada banyak sekali kemudahn-kemudahan yang dipeloleh dari hasil BDR. Hal ini menunjukkan, bahwa perkembangan zaman di era digitalisasi dalam dunia pendidikan mau tidak mau harus diterima oleh guru atau pun murid. Suasana pandemi mengajarkan bagi guru untuk lebih kreatif, dan berfikir metode yang tepat untuk mengajar selama BDR berlangsung.

Para siswa juga dilatih untuk dapat menerima semua pelajaran dari gurunya meskipun melalui daring jarak jauh. Hanya saja, seringkali terkendala dalam pembelajaran daring yaitu, perangkat siswa atau guru yang belum mendukung untuk beberapa Aplikasi. Bahkan tidak jarang, jaringan telekomunikasi menjadi masalah di beberapa daerah tertentu.

Hal ini menunjukkan, sebenarnya BDR atau daring jarak jauh tidak efektif untuk benar-benar mengimplementasikan apa yang dimaksudkan oleh Ki Hadjar; meningkatkan kecerdasan jiwa dan budi pekertinya. Kecerdasan mungkin saja meningkat, tetapi jiwa dan budi pekerti tidak bisa diperoleh jika pembelajaran hanya sebatas daring.

Kata orang Jawa Tengah, guru itu diartikan digugu lan ditiru. Artinya, dipercaya omongannya dan diambil contoh segala perbuatannya. Bagaimana pendidikan ini dapat diperoleh para siswa, sedangkan pembelajarannya saja masih sebatas di depan layar. Apa yang dapat ditiru dari seorang guru? Kalau sekedar ilmu, para siswa juga bisa mendapatkannya di buku-buku atau pun video-video Youtube.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image