Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Arbaiyah Satriani

Perkuat Kebjikan BPKH untuk Penguatan Peran Perbankan Syariah Indonesia

Lomba | Monday, 04 Oct 2021, 20:36 WIB
www.republika.co.id

Untuk berangkat haji ke Tanah Suci, beragam cara dilakukan oleh Muslim di Indonesia. Namun yang lazim dilakukan sebagian kita adalah menabung di bank hingga mencapai jumlah tertentu untuk kemudian disetorkan agar mendapatkan nomor tunggu (waiting list). Mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim maka tak heran jika hampir seluruh perbankan di negeri ini - baik bank konvensional maupun bank syariah - menawarkan tabungan haji dalam produk layanan mereka.

Namun, ada baiknya para Muslim menabung dana haji ini di bank syariah yang jumlahnya cukup banyak di Indonesia. Bagaimanapun, berangkat haji adalah ibadah suci yang selayaknya dilakukan dengan cara terbaik; menghindari unsur riba maupun tindakan-tindakan yang “menyerempet” dosa baik dalam persiapan maupun terutama pelaksanaannya. Salah satu ikhtiar untuk menghindari “terserempet” dosa ini adalah dengan menghindari riba dan menabung di bank syariah. Apalagi, hal ini sejalan dengan amanat UU No 34 Tahun 2014 mengenai Pengelolaan Keuangan Haji yang menyebutkan bahwa Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS BPIH) adalah Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah yang ditunjuk oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).

Karena itu, keputusan untuk menempatkan dana haji di perbankan syariah menjadi sebuah keputusan yang sangat baik sehingga dapat membantu untuk meningkatkan peran perbankan syariah di Indonesia. Kita mengetahui bahwa sebagian Muslim di Indonesia masih terkesan enggan untuk menyimpan dananya di perbankan syariah. Alasannya beragam, mulai dari ketidaktahuan hingga penilaian negatif terhadap perbankan syariah yang dinilai sama saja dengan perbankan konvensional. Untuk menjawab semua keraguan dan ketidaktahuan tersebut, perlu dilakukan sosialisasi yang masif dan berkelanjutan. Tentu saja, strategi sosialisasi pun harus beragam dan menyentuh semua kalangan.

Selain itu, upaya sosialisasi ini sebaiknya tidak hanya dilakukan oleh insan perbankan syariah tetapi harus didukung oleh instrumen kebijakan yang bersifat mengikat bagi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Salah satunya adalah dengan ketetapan pemerintah yang diamanatkan dalam UU No 34/2014 seperti disebutkan di atas. Tentu saja, keputusan dan dukungan yang mengikat ini harus pula diimbangi dengan peningkatan profesionalisme perbankan syariah dalam mengelola keuangan haji.

Pengelolaan yang profesional adalah dengan menempatkan dana haji ini pada investasi yang bermanfaat, tidak mengandung unsur riba dan meragukan, serta memberikan manfaat bagi masyarakat secara luas. Dengan penunjukan oleh BPKH terhadap bank syariah untuk menerima setoran dana haji dari masyarakat, diharapkan likuiditas perbankan syariah meningkat secara signifikan dan stabil. Dikatakan stabil karena jumlah jamaah calon haji di Indonesia setiap tahun bertambah sementara kuota haji dari Pemerintah Arab Saudi terbatas jumlahnya.

Sebagai contoh, pada 2019, kuota haji Indonesia sebanyak 124 ribu jamaah sedangkan jumlah jamaah tunggu mencapai 4,2 juta orang. Jika mereka terus melakukan setoran dana haji secara rutin agar mencapai jumlah ongkos naik haji (ONH) yang ditetapkan pemerintah maka jumlah dana yang terkumpul akan sangat banyak. Inilah yang menjadi peluang bagi perbankan syariah untuk berkontribusi dalam pembangunan di Indonesia.

Jumlah dana yang sangat besar itu, tidak bisa dikelola secara sembarangan. Apalagi, sebagai lembaga pengelola dana haji, BPKH harus memastikan bahwa uang yang diperoleh dari para jamaah calon haji ini harus dikelola secara aman dan akuntabel. Selama ini kinerja perbankan syariah sudah menunjukkan performa yang sangat baik dengan masuk ke berbagai sektor investasi baik di pusat maupun di daerah, tanpa meninggalkan aturan yang berlaku.

Di sisi lain, perbankan syariah Indonesia juga masih terus berjuang untuk memperkuat perannya di bidang ekonomi Tanah Air. Jika perbankan syariah tidak didukung oleh masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam maka penguatan peran perbankan syariah ini menjadi lebih lambat dari yang seharusnya.

Selain itu, penguatan peran perbankan syariah juga harus didukung dengan kebijakan dari BPKH untuk menempatkan sejumlah dana yang dikelolanya di sana. Selama ini memang jumlah dana jamaah calon haji yang ditempatkan di perbankan syariah cukup besar. Namun dari tahun ke tahun jumlahnya mengalami penurunan. Seperti data yang disampaikan oleh Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), pada 2018 perbandingan penempatan dana haji dibandingkan dengan total aset perbankan syariah adalah 13 persen, pada 2019 sebanyak 10 persen dan selama 2020 menjadi tujuh persen.

Karena itu, sudah selayaknya penempatan dana haji oleh BPKH di perbankan syariah dapat ditingkatkan. Tujuannya, agar kemanfaatan bagi umat juga bisa lebih besar mengingat permintaan terhadap pembiayaan dari perbankan syariah semakin tinggi. Permintaan tersebut belum semuanya dapat dipenuhi karena keterbatasan dana yang dimiliki.

Untuk itu, mengutip pernyataan Sutan Emir Hidayat selaku Direktur Infrastruktur Ekosistem Syariah, Manajemen Eksekutif KNEKS, diperlukan regulasi yang memberikan kewenangan bagi BPKH dalam melakukan investasi pada sektor ekonomi dan keuangan syariah. Selain itu, sambung dia, perlu ada sinergi untuk memberikan dukungan BPKH dalam melakukan investasi pada ekosistem ekonomi dan keuangan syariah. Dengan demikian, langkah yang dilakukan oleh BPKH tidak menyalahi ketentuan dan perbankan syariah dapat meningkatkan perannya dalam ekonomi dan keuangan syariah yang pada ujungnya diharapkan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

#BPKHWritingCompetition

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image