Mengenang Prof Dr. Moestopo, Kiprah dan Semangat Pahlawan Nasional di Dunia Pendidikan (bagian I)
Sejarah | 2022-05-28 13:06:57Prof. Dr. Moestopo adalah seorang pahlawan nasional dan pencetus berdirinya Universitas Prof. Dr. Moestopo (Beragama). Kiprahnya sebagai dokter gigi, tentara serta pendidik, memiliki kontribusi besar bagi perjuangan bangsa dan negara. Prof. Dr. Moestopo lahir di Ngadiluwih, Kediri, Jawa Timur, pada 13 Juli 1913. Prof. Moestopo adalah anak keenam dari delapan bersaudara.
Ayahnya bernama Raden Koesoemowinoto. Sejak usia 5 tahun, Moestopo kecil tinggal bersama pamannya sampai beliau masuk usia sekolah. Ketika Moestopo duduk di kelas lima, Ayahnya meninggal dunia. Karena itu, Moestopo tinggal di rumah kakak ibunya. Selain sekolah di HIS, Moestopo juga bersekolah di Madrasah pada sore harinya. Di samping itu, Moestopo menjadi seorang pembantu di kediaman Kepatihan Kediri dan bekerja sebagai juru tulis di pasar ternak kambing pada setiap hari Rabu, minggu terakhir.
Prof. Moestopo hidup di zaman perjuangan menyebabkan dirinya mau tidak mau terlibat dengan aktivitas perjuangan. Meski sudah berpendidikan tinggi pada saat itu, dia mengikuti pendidikan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor dan menjadi lulusan terbaik bersama-sama dengan Soedirman dan Gatot Soebroto. Disertasi Moestopo tentang bambu runcing yang ujungnya diberi kotoran/tahi kuda membuatnya lulus dengan nilai sempurna. Oleh Jepang, Moestopo diberi jabatan sebagai Daidancho/Komandan Batalion yang berkedudukan di Gresik/Surabaya.
Sadar bahwa Belanda hendak melanjutkan penjajahannya di negeri ini, Moestopo dan kawan-kawan seperjuangan mengambil prakarsa untuk mengambil alih semua senjata Jepang yang dikuasai oleh Letnan Jenderal Iwabe mulai dari Cirebon sampai ke Besuki dan Madura. Dengan Kenpeitai (Polisi Militer Jepang) sempat terjadi pertempuran. Namun, berkat diplomasi dengan Letjen Iwabe, semua senjata Jepang akhirnya diserahkan kepada Badan Keamanan Rakyat (BKR) Jawa Timur.
Moestopo dikenal sebagai sosok yang penuh dengan ide, kreativitas dan berjiwa mandiri. Sebagai seorang idea maker, banyak ide yang disumbangkan kepada masyarakat. Ide yang dinilai banyak kalangan sangat berguna karena cepat menyerap ilmu dan kemudian mengembangkannya. Beliau pernah berkata, “Ambil lah salah satu bagian dari ilmuku dan kembangkan. Anda akan menjadi orang yang terkenal dan ahli di dalam masyarakat."
Perkenalan dengan Sri Sultan membawanya larut dalam perjuangan di berbagai wilayah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Seluk beluk kehidupan Sri Sultan dikenalnya dengan baik. Selama aksi militer, Moestopo sempat bekerja di Rumah Sakit Katolik Boro Sleman dan wilayah Kulon Progo. Selama itu pula, dia mengetahui bahwa Sri Sultan sering mengadakan perjalanan keliling di desa-desa secara inkognito (menyembunyikan identitasnya), yang sebenarnya cukup membahayakan jiwa Sri Sultan sendiri jika bertemu muka dengan pasukan belanda. Akan tetapi, menurut Moestopo, Tuhan Yang Maha Esa selalu melindungi Sri Sultan karena memang rakyat setia melindunginya.
Moestopo mengingat betul bagaimana kedekatan rakyat dengan Sri Sultan. Pernah Raja Yogyakarta itu menanyakan kepadanya, “Apakah Pak Jenal (Namanya waktu itu) masih bisa menghilang?”. Pertanyaan seperti itu timbul dari latar belakang pengalamannya ketika Moestopo dengan pasukannya terkurung oleh tentara Sekutu. Dalam keadaan terkepung, lantas Moestopo dan pasukannya sholat dan setelah itu menutupi badan mereka dengan tikar. Satu regu pasukan tewas, namun lainnya selamat. Sejak itu, penduduk mengatakan bahwa Moestopo dan pasukannya “bisa menghilang”.
Anak buah Moestopo yang merupakan eks-pelacur ditugaskan untuk menyebarkan gosip jika dukun itu merupakan titisan Diponegoro yang hidup lagi dan membalas dendam terhadap musuhnya (Belanda). Pemimpin-pemimpin rakyat dan ulama-ulama yang mendatangi sang dukun (Moestopo) kemudian diberinya pisau gobed yang disertai mantra untuk digunakan melawan Belanda. “Dengan ini terbentuklah pasukan rakyat yang kompak untuk menyerang Belanda dengan caranya masing-masing,” kenang Moestopo.
Lain waktu, anak buah Moestopo melakukan penyerangan malam hari dengan cara yang cukup unik. Badan mereka dicat hitam serta rambut dibiarkan terurai sehingga para eks-pelacur bagaikan “wewe gombel” dan “kuntilanak”, sedangkan anak-anak eks-maling bagaikan “tuyul”. Pada satu waktu, setelah Moestopo memberi komando dengan suara pistol, mitraliur dibunyikan secara berpindah-pindah, seolah-olah TNI mengepung tangsi Belanda di Karanganyar. Eks-pelacur yang berdandan layaknya kolong wewe dan eks-maling yang bagaikan tuyul berlari kesana kemari sehingga rakyat Karanganyar panik dan Belanda lari ke arah Gombong. Hasilnya, Moestopo berhasil menduduki Karanganyar. (bersambung)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.