Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Eri Hendro Kusuma

Menjadi Guru Paripurna Pasca Pandemi

Guru Menulis | 2021-10-01 22:35:39
Suasana Pembelajaran Daring (foto.dok pribadi)

Membaca buku "Pendidikan Karakter Ki Hadjar Dewantara" karya Sita Acetylena (2018), membuat saya tergerak untuk mengutip berikut. Pergaulan dengan kebudayaan-kebudayaan merupakan hal yang berhubungan dengan arah kemajuan kebudayaan. Hendaknya jalan itu dicapai dengan melalui petunjuk "Tri-Kon", yaitu kontinuitas dengan alam kita sendiri, konvergen dengan alam di luar, dan akhirnya bersatu dengan "universal" dalam persatuan yang "konsentris" (bersatu namun tetap memiliki kepribadian sendiri).

Konsep "Tri-Kon" yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara tersebut sebenarnya sudah tidak asing lagi bagi para guru. Sebuah konsep yang mengantarkan kepada guru untuk selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman, tanpa meninggalkan nilai-nilai kepribadian bangsa saat melaksanakan proses pembelajaran. Bagi saya konsep "Tri-Kon" tersebut amatlah sempurna dan sangat relevan dalam menjawab tuntutan pendidikan saat ini.

Transformasi sistem pembelajaran dari ruang kelas secara tradisional menjadi kelas virtual akibat Pandemi Covid 19, telah memberikan pelajaran yang sangat penting untuk dunia pendidikan nasional kita. Pandemi Covid 19 yang melanda lebih dari satu setengah tahun ini, telah membawa perubahan yang sangat besar tentang pola dan sistem belajar. Paradigma pembelajaran yang sebelumnya terbatas pada ruang kelas, saat ini telah berubah menjadi "belajar tanpa ruang kelas". Perubahan itu pada akhirnya memaksa guru untuk segera beradaptasi secara cepat dengan pola Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Guru pun akhirnya dipaksa untuk menyesuaikan dengan penggunaan teknologi pembelajaran yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Bagi guru, penggunaan teknologi pada awal pelaksanaan PJJ menjadi masalah yang sangat fundamental. Pertama, karena sebagian guru tidak memiliki fasilitas pendukung pelaksanaan pembelajaran seperti gawai dan jaringan yang memadai. Kedua, guru memiliki fasilitas pendukung pembelajaran tetapi tidak dengan peserta didiknya. Ketiga, ada fasilitas teknologi pembelajaran yang dimiliki guru akan tetapi guru belum mampu dalam hal pemanfaatan dan penggunaannya.

Guru pada akhirnya harus berjibaku dengan keadaan yang ada. Penyampaian materi pembelajaran oleh guru pun akhirnya dilakukan dengan berbagai macam cara, mulai dengan penggunaan handy talky (HT), menjadi penyiar di radio, Tiktokers, youtuber, hingga menjadi "selebriti" dadakan di stasiun televisi lokal. Guru juga harus belajar secara "otodidak" cara pemanfaatan dan penggunaan berbagai macam teknologi maupun aplikasi pembelajaran. Sehingga, saat ini guru bukan hanya dituntut untuk menjadi "inspirator dan "motivator" saja, tetapi juga akan menjadi "kreator" dan "illustrator" konten pembelajaran digital. Semua itu dilakukan agar tidak terjadi learning loss saat PJJ berlangsung.

Kebiasaan belajar yang selama ini masih terbatas pada "ruang kelas" bukan berdasarkan "sistem", akhirnya juga menimbulkan cukup banyak permasalahan saat pelaksanaan PJJ. Banyak peserta didik yang menganggap jika PJJ ini libur sekolah, sehingga mereka tidak mengikuti PJJ dengan maksimal dan serius. Banyak "akun" siswa yang aktif dalam kegiatan virtual, tetapi ketika diajak berinteraksi ternyata "orangnya' tidak ada. Ketika dikonfirmasi ke orangtua, ternyata anak itu saat pembelajaran "disambi" bermain game online. Peserta didik juga banyak yang malas untuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh para guru. Ditambah lagi semakin memudarnya budaya sekolah seperti kebiasaan bangun pagi, disiplin diri, maupun cara berpenampilan dan cara berpakaian.

Tentu permasalahan-permasalahan tersebut menjadi kendala tersendiri bagi para guru saat pelaksanaan PJJ. Sehingga selain membuat konten pembelajaran berani kreatif dan interaktif, guru juga harus belajar bagaimana caranya memperkuat karakter siswa saat PJJ berlangsung. Kegiatan seperti cyber konseling maupun home visit "terbatas" juga dilakukan guru untuk menguatkan pendidikan karakter dan peningkatan capaian belajar. Sebuah kegiatan yang sebelumnya "mungkin" tidak dilakukan oleh guru mata pelajaran ketika pembelajaran tatap muka di sekolah, karena kegiatan tersebut menjadi tugas dari guru Bimbingan Konseling (BK). Hal semacam itu menyebabkan beban pekerjaan guru ketika PJJ juga semakin berat dari pada pembelajaran tatap muka di sekolah.

Model pembelajaran era Pandemi Covid 19 telah memberikan poros lain untuk dunia pendidikan nasional kita. Prinsip long life education secara tidak langsung juga sudah dilakukan oleh para guru, karena banyak hal baru yang telah dipelajari saat pelaksanaan PJJ. Belajar dari pengalaman PJJ ini, nantinya akan semakin banyak menghasilkan kualitas guru yang paripurna, yaitu guru yang beradaptasi terhadap teknologi dan perkembangan global, mampu membuat pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan generasi, tidak lagi terjebak pada paradigma bahwa belajar hanya di ruang kelas, dan tentunya mampu memperkuat pendidikan karakter bangsa melalui berbagai macam dimensi ruang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image