Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ayipudin

Menyoal Peran Guru Sebagai Insan Pembelajar

Guru Menulis | Friday, 01 Oct 2021, 16:18 WIB

Pandemi Covid-19 telah membuka mata kita bahwa persoalan yang menjadi kekurangan di dalam dunia pendidikan di Indonesia makin terlihat jelas. Kondisi ini tentu menimbulkan kecemasan dan kekhawatiran berbagai pihak. Disamping itu pandemi ini sangat berpeluang mengancam kualitas pendidikan dan menimbulkan dampak jangka panjang yang mempengaruhi keberlangsunag pendidikan negeri ini. Jika kita mengikuti perubahan kurikulum pendidikan di Indonesia setidaknya sudah mengalami perubahan sebanya 11 kali. Kurikulum yang pertama dimulai pada tahun 1947 dengan Rencana Pelajaran setelah itu pada tahun 1964 menjadi kurikulum Rencana Pendidikan Sekolah Dasar, Kurikulum Sekolah Dasar di tahun 1968, berlanjut Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan pada tahun 1973. Di tahun 1975 Indonesia memasuki kurikulum Sekolah Dasar kemudian berganti menjadi kurikulum 1984, berlanjut menjadi kurikulum 1994, pada tahun 1997 merevisi kurikulum 1994, pada tahun 2024 menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Selang dua tahun di 2006 beralih menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan terakhir Kurikulum 2013 (K-13).

Lantas apakah setelah gonta-ganti kurikulum kualitas pendidikan menjadi lebih baik? Dan yang mencengangkan melihat hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) yang terakhir diterbitkan pada maret 2019 lalu yang memotret masalah pendidikan di Indonesia. Ada tiga indikator yang menjadi tolakukur; kemampuan literasi membaca, sains, dan matematika, skor Indonesia tergolong rendah karena berada di urutan ke-74 dari 79 negara. Sementara itu lebih dari 70 % siswa memiliki literasi yang rendah. Indonesia sendiri telah mengikuti PISA sejak tahun 2000.

PISA sendiri merupakan lembag survei evaluasi sistem pendidikan di dunia yang mengukur kinerja siswa kelas pendidikan menengah per tiga tahun sekali. Menurut data yang diterbitkan The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) mengumumkan hasil Programme for International Student Assesment (PISA) 2018 dari periode survei 2009-2015, Indonesia konsisten berada di urutan 10 terbawah. Lantas apa sajakah penyebab utama Indonesia selalu mendapat peringkat rendah? Apakah perubahan kurikulum dan menteri yang berganti-ganti adalah satu-satunya fakto mutu pendidikan kita rendah? Tentuny banyak sekali indikator penyebab mutu pendidikan kita rendah bukan semata kurikulum yang terus berubah ubah yang menyebabkan pendidikan kita jalan ditempat melainkan program pengembangan kompetensi guru yang terlalu lambat dan tidak merata. Mari kita analisa lebih jauh bahwa sampai sekarang pendidikan kita hari ini masih memakai Kurikulum 2013 dimana tentunya dengan perubahan yang begitu cepat menyongsong teknologo 4.0 harusnya K-13 sudah disesuaikan dan diganti. Idealnya kurikulum terus berubah mengikuti perkembangan zaman. Sementara kompetensi pengembangan guru begitu lambat dan belum semua guru mengikuti pelatihan kurikulum 2013 yang dicanangkan kemendikbud. Kebijakan menghapuskan Ujian Nasional dan menggantinya dengan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM) dan Survei Karakter jika dilihat dari konteksnya, asesmen ini mirip dengan Taksonomi Bloom yang terdiri dari kemampuan bernalar menggunakan bahasa (literasi), matematika (numerasi), dan penguatan pendidikan karakter. Kebijakan ala Nadim dengan konsep merdeka belajarnya maka hasil kebijakan Nadiem akan diuji dalam survei PISA 2024 nanti.

Kompetensi dan profesionalisme guru sejatinya mengalami ujian ketika pendemi, kita lihat saja ketika PJJ diberlakukan maka secara keseluruhan sekolah-sekolah mengalami kendala dan itu sangat wajar karena di Indonesia tidak memiliki sistem pembelajaran daring sehingga guru hanya membagikan tugas melalui Whatsapp selain itu banyak murid yang mengeluh tidak ada penjelasan dari guru tentang materi-materi yang mereka kerjakan. Padahal, guru bisa saja membuat materi ajar dan merekammnya sebelum memberikan tugas kepada murid. Masalahnya, mereka kurang dibekali dengan pendidikan literasi digital dan kecakapan teknologi untuk memanfaatkan sarana yang ada. Ditambah lagi, Kemendikbud pun tidak memberikan arahan yang spesifik dalam pelaksanaan daring di masa pandemi COVID-19 sehingga guru dan sekolah dituntut untuk berinovasi dan membuat kebijakannya masing-masing. Tak mengherankan guru yang berada di wilayah terpencil mengalami keterbatasan fundamental seperti akses internet yang tidak ada atau tidak stabil, keterbatasan ekonomi orangtua murid, dan fasilitas digital sekolah yang terbatas. Pada akhirnya guru kerap terpaksa mendatangi murid ke rumah masing-masing meskipun berisiko menyebarkan penyakit COVID-19. Kirannya itulah potret masalah-masalah pendidikan kita hari ini dalam menghadapi wabah pandemi.

Pembelajar Sepanjang Hayat

Pandangan umum bahwa tugas guru hanyalah menyampaikan materi tentunya sangat keliru. Jika tugas guru dimaknai hanya sebatas menyampaikan pengatahuan semata tak ubahnya youtub. Padahal tugas guru lebih dari sekedar merencanakan, melaksanakan dan menilai pembelajaran murid. Guru dengan kesadaran yang dimilikinya baik secara individu atau kolektif dituntut untuk terus belajar guna meningkatkan kemampuan dirinya itulah yang dinamakan guru sebagai insan pembelajar artinya setiap waktunya guru harus siap belajar sepanjang hayat itulah yang membedakan profesi guru dengan profesi lainnya. Semakin guru menyadari keterbatasan ilmunya maka akan memberikan implikasi terhadap peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.

Guru juga harus menyadari bahwa banyak hal yang harus dipelajari untuk meningkatkan kapasitas diri terutama menghadapi dinamika peserta didik yang makin hari tantanggannyapun makin besar dan semangat mencari ilmu harus terus dijaga, bukan hanya peserta didik lebih penting para guru wajib menjadi insan pembelajar sepanjang hidupnya. Situasi lainnya yang harus dihadapi guru saat ini dan di masa depan adalah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin cepat dan derasnya arus informasi membuat guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar dimana implikasi positif yakni semakin mudahnya para peserta didik mengakses informasi untuk bisa belajar mandiri. Kompetensi guru di era digital harus cepat menangkap dan beradaptasi, maka guru juga harus mampu mengikuti kemampuan sebagaiman dipersyaratkan di era digital. Penguasaan teknologi wajib dikuasai agar tidak tertinggal dengan peserta didik dan Program sertifikasi harus dipahami sebagai sebuah kebijakan yang berupaya meningkatkan profesionalisme guru, sehingga berpengaruh pada kualitas pendidikan. Yang esensinya, guru harus belajar sepanjang hayat selama masih berprofesi sebagai guru itulah yang membedakan profesi guru dengan profesi lainya.

Optimisme

Kreativitas biasanya muncul ketika ada masalah dan pendidikan adalah cara membangun optimisme. Hambatan sejatinya dapat membuka peluang munculnya daya pikir dan daya juang dan sekolah harus menjadi tempat yang menyenangkan dengan dukungan dan pengenalan teknologi sejak dini bagi anak-anak atau siswa. Anak-anak harus merasa senang ketika memulai peroses kegiatan belajar mengajar walaupun tidak melalui tatap muka langsung karena belum usainya wabah. Sekolah juga ketika Pertemuan Tatap Muka (PTM) harus menjadi sekolah ramah anak, tempat apresiasi kepada siswa menjadi hal yang utama. Sekolah tidak hanya memberikan pencerdasan secara akademik maupun intelektual, tapi juga menumbuhkan semangat dan karakter yang baik. Siswa dipandang sebagai individu-individu yang membutuhkan bimbingan tanpa melihat siapa mereka, dari mana mereka berasal, dan apa status sosial mereka. Sekolah tidak sekadar berkutat pada materi pembelajaran, tetapi juga adanya contoh praktis melalui keteladanan, ketaatan pada tata tertib, nilai-nilai pergaulan, budi pekerti, dan akhlak serta nilai-nilai luhur. Siswa diberikan kesempatan luas untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa tak lagi dipandang sebagai beban, tetapi secara sadar dipahami bahwa Siswa sebagai proses pembelajaran kehidupan untuk menghadapi masa depan. Siswa juga diharapkan memiliki kesadaran penuh bahwa sekolah memberikan proses bermakna bagi kehidupan mereka. Disinilah peran sekolah untuk menumbuhkan optimisme dan kegembiraan. Perubahan paradigma pembelajaran masa pandemi harus berinplikasi pada jatidiri siswa. Harapan sekolah menjadi tempat yang ramah dan membawa kegembiraan bagi siswa akan terwujud jika kita semua peduli. Anak-anak bangsa yang memiliki kecakapan intelektual dan berkarakter tentu akan menjadi harapan bersama dan semua pihak harus bahu membahu, bergotong-royong untuk mencari solusi dan strategi mewujudan kualitas pendidikan yang lebih bagus. Secara berangsur, jaman memang terus berubah! Kehadiran teknologi internet menjadikan dimensi ruang, jarak dan waktu yang tak bersekat harus membumi, masih banyak kekurangan untuk kearah yang lebih baik namun upaya-upaya optimisme harus tetap dijaga dan guru dan semua elemen pendidikan harus berbenah dan siap menghadapi perubahan paradigma.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image