SUBSIDI BIAYA HAJI
Agama | 2022-05-26 16:26:32Persiapan Pelaksanaan Haji sudah dimulai ada beberapa persyaratan baru yang ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi dalam Penyelenggaraan haji tahun 1443 H / 2022M, sehingga pemerintah Indonesia juga harus mengikuti peraturan tersebut, di antaranya: Kuota Haji Indonesia tahun 2022/1443H sebanyak 100.051 Jemaah, dengan rincian 92.825 jemaah haji regular dan 7.226 jemaah haji khusus.
Dalam pelaksanaan ibdah haji harus memenuhi persyaratan wajib yaitu Istitho'ah dalam Pelaksanaan Haji, sesuai dalam firman Allah Ta’ala:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا
mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (QS Ali Imran 97)
Istitho’ah adalah salah satu syarat wajib haji dan istilah “melaksanakan ibadah haji bila mampu” seringkali diartikan kemampuan sebatas finansial saja (bekal yang cukup). Namun terdapat perkembangan secara makna bahwa mampu tidak hanya secara materi tetapi juga kesehatan dan peluang (kesempatan).
Berdasarkan Permenkes 15 tahun 2016 tentang Istitho’ah menjelaskan bahwa istitho’ah adalah kemampuan melaksanakan ibadah haji secara fisik, mental dan perbekalan dan istitho’ah kesehatan yakni kemampuan kesehatan jemaah haji secara kesehatan fisik dan mental dengan pemeriksaan kesehatan yang terukur. Pemerintah Indonesia juga harus mengikuti persyaratan aturan haji 2022 M/1443H dari Pemerintah Arab Saudi pasca pandemic covid 19 yang mensyaratkan beberapa aturan di antaranya usia Jemaah harus di bawah umur 65 tahun berbanding terbalik dengan amanah UU PIHU Nomor 8 tahun 2019 yang memberikan prioritas kuota bagi Jemaah haji lanjut usia dan sudah vaksin covid-19 yang diakui oleh arab Saudi serta tes PCR dalam kurun 72 jam sebelum keberangkatan.
Istitho’ah yang umum diartikan kemampuan financial seorang jamaah haji adalah adanya kemampuan keuangan guna Perpebakalan dan Perjalanan. Maka seandainya beban haji sesungguhnya adalah Rp. 81,7 Juta untuk tahun 2022, dan seseorang hanya “mampu” menyiapkan dana sebesar Rp. 39,8 juta, maka sesungguhnya yang bersangkutan belum masuk kategori mampu (istitho’ah). Dan bila untuk itu yang bersangkutan harus disubsidi dengan cara “mengambil” hak pihak lain. Tentu ini menjadi masalah, baik dari perspektif syariah maupun keadilan karena adanya perpindahan hak (nilai manfaat) dari jamaah tunggu kepada jamaah yang akan diberangkatkan.
BPKH dan layanan Virtual Account
Usia BPKH yang muda dikarenakan baru berdiri tahun 2017 berdasarkan UU 34 tahun 2014. Di dua tahun pertama, BPKH masih sangat direpotkan oleh proses membangun infrastuktur organisasi. Sehingga sampai saat ini belum berhasil dibangun portofolio yang ideal setidaknya seperti yang diarahkan UU dan belum bisa dicapai hasil nilai manfaat yang optimal. BPKH merupakan lembaga yang berwenang untuk mengelola Dana Haji (BPIH, Dana Efisiensi Penyelenggaraan Haji dan Dana Abadi Umat), Dana kelolaan haji tahun 2021 sebesar Rp158,88 triliun setelah dua kali tidak mengirim jemaah haji dengan nilai manfaat yang didapat Rp10,55 triliun yang rata-rata hasil investasinya 5% sehingga setiap tahunya ini dapat menimbulkan masalah sustainability jika adanya resiko investasi seperti hasil manfaat yang kecil dan kerugiaan. Dikarenakan pengelolaan manfaat tersebut masih sangat besar diperuntukan buat subsidi biaya pelaksanaan haji (Indirect Cost) di tahun pelaksanaan sebesar sekitar Rp 7 sampai Rp 8 triliun dengan maksud membuat biaya haji tetap terjangkau bagi Jemaah, tentu ini adanya “memakan” sebagian hak jamaah tunggu. Artinya, bila tidak serius dikendalikan, maka dapat terjadi apa yang disebut dengan skema Ponzy. Yakni, akan termakan dana pokok (dalam hal ini setoran jamaah) untuk menyubsidi jamaah yang berangkat. Contoh yang mirip dalah kasus First Travel.
Walaupun pemerintah sudah membuat regulasinya yaitu mengatur dengan cermat pengelolaan dana haji yang tertuang dalam PP Nomor 5 tahun 2018, di antarnya yaitu dana haji tidak bisa diinvestasikan jangka panjang semua karena BPKH harus menyediakan dana setara dua kali penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun. Maka akan muncul pertanyaan, apakah dana penyelanggaraan tersebut diambilkan dari dana setoran haji Jemaah? Jika iya, maka bagaimana jika pendaftar haji kedepanya lebih sedikit daripada saat ini, tentu dana penyelenggaraan tersebut tidak menyukupinya dan jadi lebih mahal.
Virtual Account dinyatakan dalam UU No. 34 tahun 2014 Pasal 26 ayat C huruf f dan PP No. 5/2018 pasal 37 ayat 1. Virtual Account adalah rekening milik masing-masing jamaah haji tunggu (waiting list). Rekening ini digunakan sebagai media menampung bagi hasil nilai manfaat yang dihasilkan dalam suatu periode. Inilah sesuatu yang belum pernah ada sebelum BPKH dibentuk.
VA atau rekening jemaah untuk menerima return / nilai manfaat pengelolaan dana haji yang diterima setiap tahunnya harus berwujud riil dan tidak berdasarkan kebijakan yang politis dan populis, sehingga ada ketentuan bagi hasil yang jelas dari awal. Contohnya, sepanjang tahun 2020 dana VA dialokasikan sebanyak Rp 1 Triliun, selanjutnya pada tahun 2021 senilai Rp 2 Triliun, sedangkan tahun 2022 berapa?.
Akan muncul pertanyaan?
1. Di dalam VA hanya dicantumkan bagi hasil dimulai tahun 2018, Bagaimana dengan tahun-tahun sebelumnya?, berapa persentasenya hak Jemaah lunas tunda mendapatkan return / manfaat dari Investasi padahal sudah mendaftar sejak tahun 2012 dan melunasi BIPIH?
2. Berapakah persentase hak Jemaah tunggu mendapatkan return / manfaat dari Investasi padahal sudah mendaftar sejak tahun 2011 dan tahun-tahun sesudahnya?
Tugas Berat dari BPKH untuk bisa menyantumkan nilai return / manfaat dari investasi bagi setiap Jemaah lunas tunda dan tunggu sejak ia mendapatkan nomor porsi antrian karena berkaitan dengan prinsip dan azas penyelenggaraan haji yaitu keadilan, professional, akuntabel dengan prinsip nirlaba dan hak dan kewajiban Jemaah haji yang tertuang dalam UU Nomor 13 tahun 2008 yang direvisi menjadi UU Nomor 8 tahun 2019.
Jika dilihat akad calon Jemaah haji ketika membayar biaya naik haji awal hanya wakalah seharusnya ditambah wakalah bil ististmar muqoiyadhoh, sehingga dana yg dikelola bisa ada hitungan bagi hasilnya dengan jelas dan berkeadlian bukan hasil kebijakan politis antara Pemerintah dan DPR.
BPIH dan Bipih
UU Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (PIHU) dikenalkan dalam struktur biaya haji dengan istilah Bipih dan BPIH yang dalam UU sebelumnya dikenal BPIH saja dalam Penyelenggaraan Ibadah haji. Perbedaanya yaitu Bipih adalah Sejumlah uang yang harus dibayarkan langsung oleh Jemaah yang akan menunaikan ibadah haji, dipergunakan untuk direct cost. Pada tahun haji 1443H / 2022 M Pemerintah bersama DPR dalam Rapat Kerja pada rabu 13 April 2022 menetapkan Bipih sebesar Rp 39.886.009 setiap Jemaah Haji dengan rincian sebagai berikut:
Setelah adanya kesepakatan di atas maka diterbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 5 Tahun 2022 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) 1443 H/tahun 2022 M yang bersumber dari biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), nilai manfaat, dan dana efisiensi. Sehingga adanya perubahan Besaran Bipih disesuaikan sesuai dengan Embarkasi Keberangkatan Haji, biaya termurah dari embarkasi Aceh sebesar Rp 32.660.857 hingga biaya termahal dari Embarkasi Makassar sebesar Rp 42.686.506. Aturan ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 48 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji.
Sedangkan BPIH adalah Sejumlah dana yang digunakan untuk operasional penyelenggaraan ibadah haji, dipergunakan untuk inderct cost dan dikenal biaya subsidi sebesar Rp 41.861.835,04 yang meliputi beberapa komponen, diantaranya: 1.Pelayanan Jemaah di Arab Saudi, 2.Pelayanan Jemaah di Dalam Negeri, 3.Operasional Haji di Arab Saudi, 4.Operasional Haji di Dalam Negeri, 5.Dana Cadangan Kurs mata uang (Safeguarding). Dana Indirect Cost diambilkan dari return / nilai manfaat investasi Dana Haji dan Dana Efisiensi yang besaranya disesuaikan dengan kebutuhan waktu pelaksanaan, untuk tahun 2022 kira-kira sebesar Rp 4.228.442.095.519,71 Triliun sesuai isi Keppres Nomor 5 Tahun 2022.
Dana Indirect Cost bisa dimasukan dalam porsi VA setiap tahunya dalam membuat kebijakan pembagian return / nilai manfaat investasi dana haji antara Pemerintah (kemenag-BPKH) dan DPR, sedangkan untuk persentase antara Jemaah Lunas tunda yang akan berangkat dan Jemaah tunggu (waiting list) dibedakan, seperti 70:30 sehingga adanya akuntabilitas dalam VA Jemaah dan Rasionalisasi biaya Penyelenggaraan Ibadah haji.
Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, Anggota DPR Pak Hidayat Nur Wahid dan MUI serta tokoh-tokoh nasional sudah meminta subsidi ini dikaji kembali dan dilakukan Rasionalisasi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji, BPKH juga menyetujui akan hal ini namun yang memiliki kebijakan akan hal ini adalah Pemerintah dan DPR. Apakah Landasan utama kebijakan Subsidi tetap dipertahankan karena untuk Kepentingan Politis dan Populis demi anggapan Biaya Perjalanan Haji paling Murah se ASEAN. Bagaimana jika biaya haji dirasionalisasi dan menghilangkan istilah Subsidi apa akan mempengaruhi survei-survei tahunan terkait kepercayaan publik terhadap kinerja pemerintah.
Kesimpulan
Sudah saatnya Jemaah Haji diberi pemahaman yang komprehensif terkait Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) ketika mendaftar hingga masa keberangkatan, mengetahui apa yang menjadi hak-hak dan kewajiban bagi Jemaah haji secara akuntabel dan transparan. Tugas berat bagi BPKH untuk membuat skema Rasionalisasi biaya Penyelenggaraan Ibadah haji dan pengelolaan keuangan Haji yang menghasilkan Profit yang lebih besar lagi supaya bisa mempertahankan biaya haji tetap terjangkau bagi rakyat Indonesia bukan hasil dari keputusan yang politis dan populis. kita mengharap agar Pemerintah dan DPR menghasilkan kebijakan-kebijakan yang selalu pro rakyat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.