Senja Tak Boleh Tenggelam
Guru Menulis | 2021-09-27 22:34:37Bagi orang-orang yang pernah membeli buah. Tak jarang akan menjumpai si penjual menyodorkan contoh buah yang akan dibeli untuk dirasakan terlebih dahulu. Ketika si pembeli merasa buah yang dicicipi lolos uji rasa, maka buah tersebutlah yang dipilih. Yang terpilih itulah yang terbaik. Begitu juga dengan hidup. Jika kita membayangkan kehidupan layaknya buah, dapat dicicipi terlebih dahulu, agar kita bisa memilih yang terbaik. Namun sayangnya, hidup bukan seperti membeli buah yang dapat mencicipi terlebih dahulu. Kemudian kita bisa request sesuai harapan kita, kemauan kita, dan tujuan kita. Membuang hal yang tidak kita sukai dan mengganti dengan hal yang menyenangkan. Kita tidak bisa request kepada Tuhan untuk memberikan hidup yang kita inginkan. Bukan Tuhan yang pelit, Justru Tuhan menjadikan kita layaknya pembeli buah yang tidak dapat mencicipi buahnya terlebih dahulu. Dengan harapan kita harus berhati-hati dan bijak dalam memilih. Baik buruknya tak bisa kita cicipi terlebih dahulu jika kita tak menjalaninya. Seperti halnya membeli buah, kita berharap buah yang kita beli akan memiliki rasa yang manis, tidak masam sedikitpun, tidak cacat dan mampu memanjakan lidah kita. Begitupun dengan hidup. Kita memiliki harapan bahwa hidup kita harus bahagia, tanpa masalah sedikitpun. Bukankah begitu?
Jam akan setia berputar, tahun akan tergulung dan ribuan asa tergantung. Orang-orang akan sibuk merapal doa untuk menjadi lebih baik, dengan tekad yang kuat mereka akan menuliskan barisan impian yang belum tercapai ditahun berikutnya. Banyak harapan yang tersusun rapi tatkala bulan akan selesai pada masanya.
Sejak kemunculan Pandemi virus Corona (COVID-19) kegiatan yang sudah jadi kebiasaan, justru menjadi sesuatu yang sulit dilakukan. Seperti halnya berlibur, berlebaran bersama, reuni, sekolah bahkan bekerja dengan menghirup udara bebaspun kini sulit. Namun, adapula berkat pandemi Virus Corona dapat mempersatukan orang-orang yang kehilangan waktunya untuk berburu rupiah, dengan bekerja dari rumah. Saya sebagai garda terdepan untuk anak didik harus rela kehilangan waktu untuk melihat keceriaan mereka. Hal yang biasa saya lakukan-mengajar siswa setiap pagi- kini hanya bisa menjadi sebuah doa yang saya langitkan. Ternyata mengajar melalui daring tidak semudah yang dibayangkan. Tatkala orangtua mengeluhkan pembelajaran daring. Guru sebenarnya juga merasa kesulitan untuk menyampaikan materi.
Bagi guru yang ditempatkan di daerah perkotaan dengan fasilitas yang mumpuni dapat melenggang begitu saja. Sedangkan bagi guru yang ditempat tugaskan di daerah terpencil harus terseok-seok. Kebanyakan dari mereka terhalang oleh akses jaringan internet dan juga gawai yang kurang mumpuni. Informasi yang baru saja di bagikan tak jarang baru tersampaikan 2 hari setelahnya bahkan lebih. Miris memang.
Bagi saya yang mengajar ditempat jauh dari perkotaan, BDR-Belajar Dari Rumah- berbasis tekhnologi sedikit memprihatinkan. Contoh hal kecil, saya berusaha membuat grup whatsapp/telegram/google classrom alih-alih agar mempermudah untuk menyebarkan informasi baik materi, tugas sekolah ataupun informasi yang berkaitan dengan sekolah justru seperti formalitas saja. Ya, kami-sebagai guru-mengakui bahwa pembelajaran daring saat ini memang melelahkan, membosankan, dan hanya sedikit ilmu yang ditransfer.
Dengan demikian, kehadiran sosok guru di hadapan siswa tidak bisa digantikan oleh apapun dan siapapun. Mereka membutuhkan guru sebagai pengganti orangtua tatkala di sekolah. Sekolah yang biasanya menjadi tempat aman bagi penghuninya kini berubah menjadi sesuatu yang menyeramkan. Kebiasaan yang dilakukan di sekolah kini harus dinikmati sendiri. Jarak mengajarkan kepada kami, bahwa sebuah pertemuan merupakan hal yang istimewa. Sekolah yang seharusnya setiap hari dipenuhi dengan canda dan tawa anak-anak. Berubah menjadi bangunan tak berpenghuni. Pandemi Covid-19 ini telah membuat sekat antara kami-guru dan siswa. Kami pernah sedekat Desember ke Januari, Sebelum kini sejauh Januari ke Desember.
Tahun 2021 merupakan tahun semoga. Semoga semesta lekas pulih, semoga kisah air mata ini terhenti, semoga dapat menghadirkan kembali senyuman dibalik tingkah konyol anak-anak di sekolah. Semoga sekolah menjadi seperti senja kembali, yang dirindukan setiap kehadirannya, yang dinantikan setiap keindahannya. Senja tak boleh tenggelam. Karna dibalik senja, kami-sebagai seorang guru- ada kewajiban yang harus diselesaikan. Kami harus menebus dosa-dosa kepada siswa yang rindu akan sekolah. Penebusan dosa seorang guru yang tidak dapat mentransfer ilmu dengan baik dan menyenangkan. Kini, kami para guru mulai menyulam asa. Mengajar tanpa terhalang jarak berupa pandemi. Kami telah menyiapkan berbagai metode dan alat bantu mengajar yang dapat memanggil memori anak-anak kembali.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.