Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fahmi Rizki Fahroji

Paradoks Isolasi: Mengarungi Kesepian dan Menempa Diri di Masa Pandemi

Lomba | Saturday, 25 Sep 2021, 23:14 WIB
Sumber: Republika

Prolog

Bagaimana kita bisa menempa diri dari hantaman yang sama sekali tak kasat mata sekaligus juga mesti bersekutu dengan kesepian yang lahir tanpa sepengetahuan manusia akibat imbas dari kondisi-kondisi pembatasan yang harus ditaati? Apakah lantas kita berhenti menaati protokol kesehatan supaya bisa pergi begitu saja? Tapi bukan kah ini hanya akan menuntun efek bawaan kalau kita akan rentan terpapar virus yang tak ayal mudah melumpuhkan sendi-sendi kehidupan?

Krisis pandemi COVID-19 tidak hanya berimbas pada tataran biologis, tetapi juga psikologis dan sosiologis. Secara simultan, virus ini melesat-pesat menyebar dari Wuhan di Tiongkok hingga kota-kota lain di dunia, sampai akhirnya ke Indonesia.

Terhitung sejak kasus pertama diumumkan pada awal Maret 2020, laman-laman berita didominasi oleh sejumlah pertumbuhan kasus. Warta ini juga menandai pengaturan "jaga jarak" pertama kali diberlakukan oleh pemerintah Indonesia melalui skema Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang hari ini dikenal sebagai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Hingga tulisan ini dibuat, kebijakan-kebijakan ini tampaknya telah memicu peralihan kebiasaan baru, baik di skala nasional, lokal, hingga urusan privat. Pendek kata, orang jadi belajar, bekerja, dan berinteraksi secara sosial dari rumah.

Paradoks Isolasi dan Timbulnya Kesepian

Putusan untuk merumahkan segala aktivitas tentu bukan hal mudah. Akan selalu ada konsekuensi dan penyesuaian tertentu. Di awal-awal kita menjumpai fenomena panic buying: situasi di mana orang panik dan walhasil membeli banyak kebutuhan dapur khawatir kalau hidup mereka akan benaran terisolir. Di kesempatan lain, orang-orang juga heboh membangun portal-portal sementara untuk menutup kompleknya menghindari paparan virus dari luar.

Akan tetapi, sadar tidak sadar, kita luput akan satu hal yang sebenarnya selalu mengiringi perjumpaan ini, yaitu kesepian. Belakangan ini, saya mencoba mencerna efek kesepian dari krisis ini, baik secara sosial maupun personal, yang juga mereproduksi bentuk-bentuk habitus baru di keseharian masyarakat.

Kesepian, sejauh penelusuran saya, adalah perasaan emosional yang subjektif-personal yang dialami oleh individu. Studi mengenai kesepian pernah dilakukan oleh Ozama-de Silva (2020), antropolog kawakan Amerika, yang menengarai bahwa kesepian erat kaitannya dengan perasaan "kebutuhan untuk dibutuhkan" (need to be needed). Sebab, kesepian hadir dari kurangnya pemenuhan relasional yang diakibatkan oleh kondisi dan ekspektasi sebelumnya terkait seperti apa kebutuhan relasional itu biasanya didapatkan.

Dari penelitian etnografinya pada orang-orang Jepang, Silva mengidentifikasi kondisi 'tidak dibutuhkan' ini berimplikasi pada keputusan final seseorang untuk bunuh diri karena 'makna dalam hidup'-nya sudah lapuk oleh perasaan kesepian.

Bagi saya, riset Silva ini penting untuk catatan kita dalam menanggulangi situasi sulit seperti ini, utamanya bagi kesehatan mental. Hasil survey yang diberitakan Republika sendiri mengindikasikan sekitar 98% responden cenderung merasa kesepian, bahkan hampir dari setengah total persentase di antaranya merasa ingin melukai diri. Sayangnya, keterbukaan diri dan penerimaan masyarakat soal ini masih cenderung rendah.

Di lain kisah, upaya mengarungi kesepian ini rentan terjadi pada kelompok lansia. Misalnya, cerita seorang nenek di Oklahoma, negara bagian selatan Amerika, yang memposting dirinya di iklan baris untuk mencari teman Natal. Ia menulis, "Ada yang membutuhkan nenek untuk Natal? Aku akan membawakan makanan dan hadiah untuk anak-anak! Aku tidak punya siapa-siapa dan itu benar-benar menyakitkan."

Cerita nenek tadi semakin mengukuhkan ironi persoalan sosial yang dilematis di masa pandemi. Walau sebenarnya, apabila merujuk pada studi yang sudah-sudah, kesepian semakin diakui sebagai masalah sosial, masalah kesehatan publik, dan bahkan epidemi global. Tetap saja, berdasarkan laporan dari salah satu lembaga kesehatan Amerika, kesepian dapat merusak kesehatan seperti halnya merokok 15 batan sehari. Terlebih, efek ini dapat meningkatkan risiko demensia pada lansia sebanyak 20 persen.

Sekilas kita melihat situasi ini sungguh 'paradoks' bahwa sementara pembatasan jarak sosial dan fisik digalakkan untuk mencegah penyebaran virus corona, hal itu juga dapat berkontribusi pada kesehatan yang buruk dalam jangka panjang.

Penggalan-penggalan fakta dari beberapa fenomena itu menunjukkan bagaimana krisis yang timbul dari COVID-19 membuat kita memaknai ulang situasi dan peranan kita dalam interaksi sosial.

Maka, usahakan lah agar tetap terkoneksi dengan mereka; orang terdekat, orang tua, lansia dan kelompok rentan lainnya. Meskipun kita sadar untuk terhubung secara langsung agak mustahil dilakukan belakangan ini. Bagaimana pun keberadaan kita akan banyak menolong mereka di masa seperti ini.

Epilog - Refleksi Ke Depan

Ketimbang memikirkan bagaimana merealisasikan rencana-rencana liburan, kongkow, atau sebatas keluyuran untuk memuaskan hasrat diri, kiranya kita perlu terlebih dahulu menarik diri ke dalam; mengevaluasi, merenungi dan memberikan ruang dialog secara intrapersonal serta menciptakan ketenangan batin (mindfulness).

Umpamanya pandemi ini pergi, perlu diingat bahwa kita mesti bersama-sama bijak menyambut situasi 'baru'. Senang boleh, tapi jangan sampai "seperti kuda (yang) lepas dari kandangnya". Seolah-olah momen itu adalah titik akhir kebebasan lepas dari kungkungan virus yang membersamai kita di sekian rangkaian cerita hidup. Agaknya pula, kita mesti berhati-hati dalam menyikapi hubungan sosial dengan orang lain, mengingat mekanisme penanggulangan tiap orang akan berbeda.

Karenanya, keseimbangan dalam hubungan lantas menjadi faktor penting mengatasi situasi tersebut, Menutup ini, merenungi diri dan adil terhadap pilihan-pilihan pascapandemi adalah paket keseimbangan yang mestinya kita miliki. Semoga saja, saat waktunya tiba, saat pandemi sirna, kita semua sudah siap menyikapi kehidupan sosial kita, utamanya kehidupan personal kita.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image