Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Frima Rahmulia

Simalakama Belajar Dengan Papa Mama

Lomba | 2021-09-25 23:12:20

Terhitung sejak Maret 2020, Indonesia dikepung pandemi covid-19 selama 18 bulan. Praktis banyak sektor yang semula berjalan tegap, dipaksa tiarap. Sektor ekonomi, pariwisata, hingga pendidikan menjadi sasaran. Banyak kebijakan yang dilahirkan untuk membatasi aktivitas masyarakat di luar rumah. Di antaranya Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ yang diberlakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (kemendikbudristek).

Tak ingin penularan kian merebak, Pembelajaran Tatap Muka (PTM) diubah menjadi PJJ yang dimulai April 2020 hingga saat ini. PJJ dilaksanakan oleh 218.950 sekolah di Indonesia. Ditandai dengan penerbitan Surat Edaran nomor 3 tahun 2020 oleh Mendikbud Nadiem Makarim. Surat Edaran tersebut ditujukan pada seluruh satuan pendidikan untuk mencegah penularan di lingkungan pendidikan.

“Kita bergerak bersama untuk bisa lepas dari situasi ini,” ucap Nadiem melalui rilisan Kemendikbud (12/03/2020).

Ruang kelas dan gedung sekolah yang semula menjadi ruang belajar siswa, kini rumah sebagai ruang kelas alternatif. Orang tua menambah peran sebagai guru bagi anak-anaknya. Telepon genggam, netbook, dan laptop mengambil posisi sebagai media pembelajaran di rumah. Menghubungkan antara guru, siswa, dan orang tua.

Pembelajaran daring berjalan bukan tanpa hambatan. Sejumlah masalah bermunculan. Republika mengabarkan, stres dan kejenuhan banyak dialami oleh orang tua dan anak. Orang tua dituntut mendampingi anak-anaknya belajar. Di waktu yang sama, pekerjaan dan tugas rumah pun harus dituntaskan.

Sedangkan, anak-anak yang terbiasa beraktivitas di luar rumah, mau tidak mau harus menghadapi konsep belajar baru. Menghadap telepon genggam ataupun laptop demi tetap mengikuti pembelajaran. Interaksi sosial berupa bermain dengan teman sebaya yang menjadi kebutuhan anak, minim terpenuhi.

“Kelihatannya akan sama-sama stres karena anak dimarahi terus. Orang tua juga stres karena harus ngajarin anaknya,” ucap seorang psikolog Agustina Twinky Indrawati dalam artikel Republika.

Lebih dari itu, apakah semua orang tua mempunyai kapasitas sebagai seorang pengajar? Diberitakan oleh artikel Beritasatu.com, sebuah survei telah dilakukan oleh Tanoto Foundation terkait PJJ kepada 332 kepala sekolah, 1368 guru, 2218 siswa, dan 1712 orang tua. Fakta menunjukan di antaranya, 56% orang tua merasa kurang sabar dan jenuh menangani kemampuan dan konsentrasi anak usia SD dan 34% untuk anak usia SMP/MTS. Kedua, sebanyak 19% orang tua merasa kesulitan menjelaskan materi pelajaran ke anak untuk SD/MI dan 28% untuk SMP/MTS. Ketiga, materi pelajaran juga sulit dipahami oleh 15% orang tua untuk materi SD/MI, dan 24% SMP/MTS.

Bagi orang tua yang belum terbiasa membimbing anak belajar, akan lebih rentan mengalami stres. Sebab, membimbing belajar bukan hanya dibutuhkan pemahaman orang tua terhadap materi belajar. Namun juga perlu memahami cara menyampaikan materi hingga dapat dipahami oleh anak. Keterampilan komunikasi inilah yang tidak semua orang tua dapat lakukan. Materi yang tidak dapat dipahami oleh anak, dapat menimbulkan kejengkelan orang tua. Lantas berdampak pada anak yang merasa tertekan. Kondisi seperti inilah yang menjadi lingkaran setan dalam fenomena PJJ.

Lingkaran setan ini kian memburuk dengan adanya kabar duka yang datang dari Lebak, Banten. Republika memberitakan, sepasang suami istri, Lia Handayani (26) dan Imam Syafi’e (27), melakukan pembunuhan terhadap anak kandungnya sendiri. Korban bernama Keysya Safiyah (8) yang baru kelas 1 SD.

“Ibu kandungnya itu melakukan pemukulan lebih dari lima kali hingga meninggal dunia,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal (kasatreskrim) Polres Lebak, Ajun Komisaris David AdhiKusuma di Lebak.

Juga ditemukan data berupa foto dalam telepon genggam pelaku yang memperlihatkan luka lebam pada korban. Pelaku dikabarkan memang kerap melakukan pemukulan pada korban. Pelaku mengaku merasa kesal, sebab korban susah memahami pelajaran.

Lalu pada Desember 2020, publik kembali digegerkan dengan viralnya sebuah video. Video tersebut memperdengarkan tangisan seorang anak yang mengalami kekerasan dari orang tuanya. Peristiwa tersebut dikabarkan oleh Kompas, terjadi di kawasan Pondok Gede, Bekasi. Kanit Reskrim Polsek Pondok Gede, Iptu Santri Dirga membenarkan kabar tersebut.

“Akibat kekerasan fisik tersebut, sang bocah akhirnya harus menderita luka di bagian paha dan kaki,” ujar Dirga.

Peristiwa-peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak semacam itu tentu sangat tak patut dan mengiris hati banyak pihak. Sungguh amat disayangkan, secara tidak langsung pandemi covid-19 menjadi penyebabnya. Andai pandemi lekas pergi, penganiayaan tersebut seharusnya tak terjadi.

Andai pandemi lekas pergi, tak perlu lagi pembelajaran daring dijalani. Anak-anak kembali belajar di sekolah. Dibimbing langsung oleh para guru. Memperoleh pemahaman optimal tentang materi pembelajaran.

Andai pandemi lekas pergi, tak perlu lagi guru memberi tugas yang terlampau bertubi. Banyaknya tugas akan kian membebani di saat lelahnya anak dan penatnya orang tua. Bertambah runyamlah urusan belajar ini.

Andai pandemi lekas pergi, tak usah lagi orang tua merasa jengkel dan kesal berhari-hari. Setelah dijalani lebih dari satu setengah tahun, PJJ menjadi memudar efektifitasnya. Membimbing ala kadarnya. Kesabaran menipis stoknya. Kekerasan verbal maupun fisik, dianggap solusinya. Berdalih agar anak dapat memahami pelajaran dan mengerjakan tugas dengan seharusnya.

Andai pandemi belum juga pergi, semoga orang tua rela menambah sabar dan lapang hati. Andai pandemi belum juga pergi, semoga orang tua bersedia saling berkolaborasi. Tiap anggota keluarga berbagi peran dan tugas secara efisien dan nyaman, demi terbentuknya aktivitas rumah yang selaras. Sebab pandemi belum juga pergi, dan sekolah tatap muka belum sepenuhnya nyaman di hati, semoga seluruh anak, orang tua, dan guru di tiap penjuru negeri senantiasa bersinergi, menjaga kualitas pendidikan sebaik yang diimpi saat ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image