Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Niswana Wafi Alfarda

Memberantas tuntas korupsi di Indonesia

Info Terkini | Thursday, 19 May 2022, 07:51 WIB

Upaya pemberantasan korupsi di negeri ini mengalami kemunduran. Banyak kalangan menuturkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia memang kian suram. Kerugian negara yang dialami pun makin besar. Apalagi penindakan kasus korupsi juga makin lemah setelah revisi UU KPK. Revisi UU KPK tersebut telah mengebiri kewenangan KPK dalam menindak pidana korupsi.
Korupsi marak di negeri ini antara lain karena keserakahan para pelaku, lemahnya hukum, juga mahalnya biaya politik di dalam sistem demokrasi. Untuk menjadi kepala daerah saja, seorang calon harus mempunyai dana minimal 20 hingga 30 miliar rupiah. Padahal, setelah menjabat menjadi kepala daerah gaji yang mereka terima hanyalah puluhan juta rupiah. Selain itu, pemilihan Caleg di berbagai tingkat juga memakan biaya yang tinggi. Inilah yang mendorong sejumlah kepala daerah dan anggota dewan ramai-ramai melakukan tindak korupsi.
Sistem pemerintahan demokrasi memang memberikan celah bagi para penguasa untuk melakukan korupsi tanpa bisa teradili. Padahal di sisi yang sama, Tuhan telah menurunkan sistem terbaik untuk diterapkan dan diaplikasikan dalam kehidupan manusia yakni sistem pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan Islam telah diterapkan selama kurang lebih 13 abad dan saat penerapannya, sistem ini terbukti menutup rapat seluruh jalur untuk korupsi.
Berdasarkan sistem Islam, para politisi dan penguasa tiap daerah tidak menentukan undang-undang, kebijakan, anggaran, proyek, dan pengisian jabatan. Mereka hanya fokus pada fungsi kontrol dan koreksi. Adapun penentuan kepala daerah, ia ditunjuk langsung oleh kepala negara Islam (Khalifah). Kemudian dalam keberlangsungannya, masyarakat juga menentukan tingkat penerimaan para kepala daerah tersebut. Jika masyarakat tidak menerimanya atau meminta kepala yang menjabat untuk diganti, maka Khalifah pun harus menggantinya. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Rasulullah dalam mengganti al-'Ala' bin al-Hadhrami sebagai gurbernur Bahrain ketika masyarakat mengajukan keberatan atasnya.
Syariah Islam memberi batasan yang jelas dan hukum rinci berkaitan harta para pejabat. Harta yang diperoleh di luar gaji atau pendapatan mereka dari negara diposisikan sebagai kekayaan gelap (ghulul). Selain itu, Islam juga telah mengharamkan segala bentuk suap (risywah) untuk tujuan apapun. "Rasulullah telah melaknat penyuap dan penerima suap" (HR. at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Dalam Islam, pejabat negara dilarang menerima hadiah (gratifikasi). Nabi Saw. pernah menegur Amil Zakat yang beliau angkat karena terbukti menerima hadiah saat bertugas dari pihak yang menerima zakatnya. Beliau bersabda "Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri dia upahnya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah kecurangan" (HR Abu Dawud). Dalam hadist lain, beliau bersabda "Hadiah yang diterima oleh penguasa adalah kecurangan" (HR al-Baihaqi). Yang termasuk ke dalam kekayaan gelap pejabat adalah yang didapatkan dari komisi atau makelar dengan kedudukannya sebagai pejabat negara. Pada awalnya, komisi merupakan hal yang halal dalam muamalah. Namun, jika seorang pejabat menggunakan kedudukannya atau kekuasaannya untuk memuluskan transaksi bisnis, maka itu adalah cara kepemilikan harta yang haram. Dan hal ini pun marak terjadi di era sekarang yakni dalam kubangan sistem demokrasi kapitalis.
Islam menetapkan bahwa korupsi merupakan salah satu kepemilikan harta yang haram. Perbuatan tersebut termasuk kejahatan dan tindakan kha'in (pengkhianatan). Korupsi dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat negara dengan sewenang-wenang, baik dengan memanipulasi atau dengan melakukan tekanan kepada pihak lain untuk menyerahkan sejumlah harta yang bukan haknya, baik itu harta milil negara, milik umum, atau milik orang lain. Islam memberikan sejumlah hukuman yang berat kepada pelaku korupsi, suap, dan penerima komisi haram yaitu berupa ta'zir atau sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuk sanksinya bisa mulai dari yang paling ringan, seperti sekedar teguran atau nasihat dari hakim, bisa berupa penjara, pengenaan denda (gharamah), pengumuman pelaku di hadapan publik (tasyhir), hukuman cambuk, hingga sanksi yang paling tegas yaitu hukuman mati. Berat ringannya ta'zir ini disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. Agar kekayaan gelap (ghulul) dari harta pejabat mudah teridentifikasi, sistem Islam melakukan pencatatan jumlah harta pejabat sebelum menjabat dan melakukan perhitungan setelah menjabat.
Memberantas korupsi memang utopis dalam sistem Demokrasi Kapitalisme. Hanya dengan penerapan sistem Islam korupsi bisa diberantas dengan tuntas dan mudah karena dibangun atas ketakwaan individu, berjalannya kontrol dari masyarakat, dan pelaksanaan hukum yang berasal dari Wahyu oleh negara.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image