Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Faiz Romzi Ahmad

Memulangkan Diri ke Pandeglang

Sejarah | Friday, 24 Sep 2021, 08:09 WIB

Untuk mengenal dan mengetahui identitas suatu daerah, salah satunya adalah dengan menelisik asal – usul penamaannya. Menurut sejarah, nama Pandeglang yang digunakan sebagai nama ibu kota dan kabupaten berasal dari kata “Pandai Gelang”, pendapat ini berkaitan dengan legenda “Ki Amuk” yang konon kabarnya pada zaman Kesultanan Banten mahsyur seorang tukang besi di Kadupandak.

Pandeglang pada saat itu menjadi salah satu titik penting penyebaran agama Islam Kesultanan Banten. Sultan Banten memerintah Ki Amuk untuk membuat meriam, karena tukang besi di daerah lain tidak sanggup membuatnya. Sehingga, daerah Kadupandak dan sekitarnya disebut sebagai orang Pandeglang, karena kepiawannya sebagai tukang pandai besi.

Pandeglang merupakan kabupaten yang terletak di bagian paling barat Pulau Jawa, masuk dalam wilayah Provinsi Banten. Bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Serang, bagian timur dengan Kabupaten Lebak, bagian selatan dengan Samudera Indonesia, dan bagian barat berhadapan langsung dengan Selat Sunda.

Tepat pada awal bulan April tahun ini, Kabupaten Pandeglang berumur 147 tahun. Di bulan istimewa ini pula dalam perjalanannya selama 147 tahun itu hendaknya kita merenungi, muhasabah diri secara berjamaah, membuat resolusi, apa yang kita buat untuk Pandeglang tercinta? Lalu, sekuat apa tekad kita untuk mencapai resolusi itu?

Barometer Keberagaman

Penulis hendak mengajak pembaca pada persitiwa Minggu Berdarah 10 tahun silam (2011). Saat massa menyerang Jemaah Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang. Tiga orang meregang nyawa, sebuah mobil dibakar massa, satu dimasukkan ke dalam jurang, dan satu rumah dirusak. Massa tidak bisa dikontrol, polisi tidak cukup daya untuk menghentikan peristiwa mengerikan itu. Seketika, sehabis peristiwa itu para pemerhati kemanusiaan menyoroti kejadian penyerangan pada Jemaah Ahmadiyah di Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang.

Di tengah segala permasalahan SARA yang terjadi, Kabupaten Pandeglang memiliki lanskap kehidupan keagamaan yang menarik dan unik. Ini adalah salah satu monografi singkat tentang potret kerukunan umat beragama di tempat penulis tinggal, Kecamatan Labuan. Daerah pesisir di ujung barat Kabupaten Pandeglang.

Sepintas dianggap daerah yang dihuni oleh penduduk Muslim kental, karena menjadi basis Syarikat Islam saat masa perlawanan nasional dan keberadaan makam – makam ulama kharismatik pejuang kemerdekaan maupun pra kemerdekaan seperti Mama Asnawi Caringin, Syekh Daud Cigondang, dan Abuya Mukri. Namun, siapa sangka wilayah dengan populasi penduduk 56.000 orang ini mempunyai heterogenitas keagamaan dan etnis yang sedikit berbeda.

Untuk skala kabupaten Pandeglang, di Labuan di luar agama Islam sebagai agama mayoritas penduduk, dua komunitas agama lain (Hindu dan Kristen) dapat mengekspresikan kegiatan keagamaannya di rumah ibadah; Vihara Dhamma Ratana Labuan dan Gereja Pantekosta Labuan.

Selain rumah ibadah yang berdiri kokoh tanpa ada upaya konfrontasi, contoh kecil kerukunan itu terejawantah dalam kegiatan keagamaan atau tradisi tahunan seperti ngaleupeut (musim ketupat) dan Imlek. Masyarakat saling antar makanan sebagai perajut kebersamaan. Di tengah heterogenitas agama tersebut, interaksi sosial umat beragama begitu cair dan tak berjarak.

Dengan adanya modal sosial berupa sikap saling percaya (interpersonal trust) dan jaringan kewargaan (civic engagement) yang terkontruksi antar masyarakat membuat tindakan – tindakan terkoordinasi dengan baik. Di sini, komunitas muslim di Kecamatan Labuan tak memposisikan diri sebagai superioritas. Pola interaksi timbal balik (reciprocity interaction) antara anggota masyarakat yang berbeda keyakinan mampu menciptakan tatanan masyarat yang guyub dan toleran.

Pasca peristiwa mengerikan Minggu Berdarah 10 tahun silam itu, banyak pihak beranggapan bahwa Kabupaten Pandeglang menjadi daerah rawan konflik sektarian dan sulit untuk membangun kerukunan.

Dari apa yang sudah dipaparkan di atas, soal kesadaran akan pentingnya toleransi dan interaksi sosial yang cair antarwarga meski berbeda etnis dan agama, berdirinya rumah ibadah agama lain di luar agama Islam (Vihara Budharatana dan Gereja Pantekosta) di Labuan tanpa persoalan/konflik mencirikan bahwa politik identitas dan kontestasi simbol keagamaan di Pandeglang telah melahirkan interaksi sosial keagamaan yang mencerminkan pluralisme.

Tampaknya penulis tidak berlebihan jika menyebuit bahwa masyarakat Kabupaten Pandeglang kedepan secara natural sangat bisa membangun kerukunan dan toleran dalam kehidupannya.

Pemertahanan Kearifan Lokal

Sekarang perkembangan dalam segala aspek kehidupan menjadi serba digital, perkembangannya semakin cepat, kita menyebutnya dengan sebutan era digital/era informasi, kini kita sudah memasuki digital society 5.0.

Dikutip dari laman binus.ac.id digital society 5.0 adalah suatu konsep society yang berpusat pada manusia (human – centered) dan berbasi teknologi (technology based) yang pertama kali dikembangkan oleh Jepang. Konsep ini lahir sebagai pengembangan dari revolusi industry 4.0 yang dinilai berpotensi mendegradasi peran manusia. Melalui society 5.0 kecerdasan buatan (artificial intelligence) akan mentransformasi big data yang dikumpulkan melalui internet pada segala bidang kehidupan (the internet of things) menjadi suatu kearifan baru, yang akan didedikasikan untuk menignkatkan kemampuan manusai membuka peluang – peluang bagi kemanusiaan. Trasnformasi ini akan membantu manusia untuk menjalani kehidupan yang lebih bermakna.

Teknologi sangat membantu dan mempermudah manusia dalam segala aktifitasnya Kanal – kanal digital yang menuntun manusai pada era digital itu sendiri. Di era digital situlah kita dapat terkoneksikan bahkan bisa melintasi batas teritori. Ini membawa efek manfaat yang besar dengan tantangan yang juga tidak kalah besarnya.

Ketika penulis di usia kanak – kanak, belum begitu diakrabkan dengan gadget yang canggih. Penulis keasikan bermain dengan teman sebaya yang nyata, emprak, hong – hong an, gobag adalah sebagian dari jenis permainan yang mewarnai hari – hari asik di usai itu. Ini sangat sukar kita temui pada anak – anak generasi sekarang, tangan mereka sudah akrab dengan game – game yang disediakan app market di gawai canggih mereka, mereka berteman dengan teman mayanya. Ini yang menjadi salah satu persoalan dari efek era digital.

Itu baru permainan tradisional, jika dikontekstualisasikan dengan kearifan lokal yang dimiliki Kabupaten Pandeglang misalnya. Bahasa Sunda Banten di Pandeglang sebagai wahana kebudayaan, apakah mengalami perubahan? Tetap dilestarikan? Dan apakah masih digunakan sebagai alat komunikasi oleh penuturnya?

Contoh lain misalnya, penulis bersama rekanan di Labuan membuat satu komunitas kepemudaan dengan nama Tjiringinese, salah satu maksudnya adalah mengajak para pemuda untuk tetap memegang akar kebudayaannya dengan erat, agar tidak tercerabut dan dijauhkan oleh laju zaman. Dalam satu diskusi yang digelar, komunitas penulis mengundang para pemuda lintas komunitas yang ada di Labuan, malam itu kami membincang serius cerita rakyat masyarakat Labuan, Regen Boncel.

Benar saja, yang dikhawatirkan terjadi. Cerita Regen Boncel ini tidak terwarisi dengan baik pada generasi penulis. Padahal, cerita Regen Boncel bisa menjadi values yang baik yang harus terus berlanjut ke generasi selanjutnya melalui tradisi tutur. Dalam jurnal Sopyan Sauri ada 14 cerita rakyat yang menjadi khazanah kebudayaan Kabupaten Pandeglang, yang dikhawatirkan penulis adalah prihal nasibnya yang hampir sama dengan cerita rakyat Regen Boncel, asing di telinga generasi mudanya.

Kita tidak bisa menyalahkan bahwa ini adalah dampak era digital, soal mempertahankan kearifan lokal itu harus memulai dari kesadaran. Tentu, ini menjadi tugas kolektif kita, agar local genius yang dipunyai Kabupaten Pandeglang dapat terus bertahan. Jangan sampai kemajuan zaman mengakibatkan kemunduran kebudayaan. Kearifan lokal menjadi cerminan bagi suatu daerah, menjaga kultur kemasyarakatan dan kedaerahan harus terus diupayakan. Melihat tantangan ke depan yang lebih keras, pengaruh dari era globalisasi dan era digital. Patologi seperti ini menjadi kewaspadaan terhadap lahiran generasi yang akan datang.

Daya dan Potensi di Kabupaten Pandeglang

Kabupaten Pandeglang adalah wilayah dengan garis pantai terpanjang di Provinsi Banten, ada 300 km garis pantai yang mengelilingi Pandeglang. Sangat mungkin panjangnya garis pantai itu dimanfaatkan secara ekstraktif dan non ekstraktif. Secara ekstraktif, Pandeglang dikelilingi Samudera Indonesia dan Selat Sunda yang sangat produktif akan potensi ikan laut. Kita mengenal Pelabuhan Ikan di Labuan, Panimbang, Sumur dan Binuangeun sebagai tangkapan daratnya, menyaksikan begitu melimpahnya kekayaan bahari yang dimiliki oleh Pandeglang. Selain surga ikan, mungkin saja di kolong laut itu terdapat kandungan gas, minyak atau mineralnya juga.

Potensi pemanfaatan ekosistem garis pantai secara non ekstraktif adalah dengan melihat panorama pesisir pantai dari Carita sampai Sumur yang dijadikan sebagai destinasin wisata. Berjemur dan berenang di tepian pantai, berselancar dan menyelam keindahan bawah laut dapat dinikmati oleh masyarakat Kabupaten Pandeglang, bahkan wisatawan dari luar Pandeglang dan mancanegara.

Selain itu, kekayaan pertanian di Kabupaten Pandeglang cukup menjanjikan. Sebagai daerah lumbung padi di Banten, sawah – sawah di Pandeglang ketika panen menyumbang 30 persen dari total produksi beras Provinsi Banten. Belum lagi, sektor holtikultura seperti durian dan talas beneng yang memiliki keunggulan kompetitif dan ekonomis, sangat mungkin untuk mengembangkan kawasan agroeduwisata dengan komoditas unggulan durian dan talas beneng di 35 kecamatan di Pandeglang.

Sematan Daerah Tertinggal dan Godaan Tinggal di Kota

Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Tahun 2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015 – 2019 Kabupaten Pandeglang ditetapkan sebagai daerah tertinggal. Dan pada tahun 2019 yang lalu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KemendesPDTT) mencabut status Kabupaten Pandeglang sebagai daerah tertinggal.

Berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMPD) Provinsi Banten, pencopotan status daerah tertinggal bagi Kabupaten Pandeglang merupakan hasil pendataan Indeks Desa Memangun (IDM). Untuk desa dengan status sangat tertinggal dari 33 menjadi 11 desa, tertinggal 161 menjadi 136, berkembang dari 119 menjadi 163 desa, maju dari 12 menjadi 15 desa. Serta satu desa yang statusnya sebagai desa mandiri.

Bagaimanapun Kabupaten Pandeglang adalah daerah dengan persamuhan desa – desa, luas wilayah ini adalah pedesaan. Masyarakatnya tinggal menempati desa, sisanya menyambung hidup di kota. Tak terelakkan, arus urbanisasi dewasa ini membuat gerakan perpindahan masyarakat pedesaan di Pandeglang ke kota semakin masif. Urbanisasi adalah fenomena yang jamak di hampir seluruh dunia. Tak dipungkiri, kompetisi pasar yang membutuhkan lapangan kerja dan lembaga pendidikan tinggi yang membutuhkan mahasiswa mendukung berbagai sektor yang dikembangkan.

Ini adalah pengalaman penulis, ketika kota (luar wilayah Kabupaten Pandeglang) memilki magnet yang besar bagi teman – teman penulis di desa di Kabupaten Pandeglang untuk mencari kerja, menjadi primadona bagi merekan yang terpelajar untuk melanjutkan studinya dan memiliki impian meneruskan kehidupan di sana dan melupakan tempat asalnya. Pada titik tertentu, mereka memilih untuk bermukim secara permanen di kota, beranak pinak di kota, dan mengabdi di kota.

Peralihan pekerjaan dan strata sosial pada masyarakat desa menjadi delitimasi tersendiri. Hanya karena prestise dengan menyandang ‘pegawai pabrik’ dan ‘kaum terdidik kota’ mereka beralih dari desa. Sehingga, pada klimaks persoalan, Pandeglang tidak lagi dianggap sebagai entitas yang berwujud, yang harus dikembangkan, dirawat kekayaan sumber daya alam dan kebudayaannya.

Memulangkan Diri ke Pandeglang

Sematan tertinggal itu tetap melekat walaupun Kemendes PDTT sudah mencabut penetapan Perpres di tahun 2015 itu. Yang menumbuhsuburkan sematan itu karena Kabupaten Pandeglang belum mampu mengoptimalisasi kekayaan alam, kekayaan intelektual, dan kekayaan kebudayaan yang dimilikinya.

Sebagian besar kekayaan Kabupaten Pandeglang terwujud dalam sumber daya alam: sawah, ladang, kebun, laiut, sungai, pegununga, dan lain – lain. Surplus kekayaan kebudayaan: bahasa daerah, cerita rakyat, rampak bedug, dan lain – lain. Kita menjadi saksi bahwa kekayaan kebudayaan dan alam itu belum dapat dioptimalisasi dan terkapitalkan dengan baik.

Pembangunan di Pandeglang adalah derap kaki kebudayaan yang ada di Pandeglang itu sendiri, pembangunan mesti tegak di atas gerak nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Sehingga, ukuran pembangunan tidak seakdar kalkulasi ekonomi semata. Tapi, sejauh mana diimbangi dengan system nilai kebudayaan. Kita jangan terjebak pada pembangunan yang satu arah saja, pada proses perubahan dan perbaikan ekonomi semata. Sehingga, yang dikejar adalah variable ekonomi: pertumbuhan ekonomi, jumlah investasi dan segudang data lainnya. Tentu itu sangat penting, namun, memahami pembangunan haruslah dua arah: infrastuktur dan suprastrukturnya.

Kita belum dapat bernapas lega terlebih dahulu bila melihat sawah – sawah dan kebun – kebun menjanjikan panen raya, jalan – jalan penghubung antar desa dalam kondisi baik, ibu yang mau melahirkan di pelosok desa di Pandeglang dapat bersalin dengan nyaman dan aman. Dibalik rasa syukur yang kita ucapkan akan kekayaan yang dipunyai pandeglang, terselip gurat sedih karena 147 tahun Pandeglang belum mengalami kemajuan yang signifikan.

Dari apa yang sudah penulis paparkan di atas, Pandeglang dengan kekayaan sumber daya alam dan kebudayaannya harus bisa mengimbangi kecepatan perubahan zaman. Bertahan dengan kearifan lokal, kemampuan menjaga interaksi sosial di saat ego identitas yang semakin kuat, dan arus urbanitas yang semakin deras menjadikan tantangan Pandeglang kedepan yang semakin kompleks.

“Setinggi – tinggi bangau terbang, jatuhnya ke kubangan jua”artinya sejauh – jauh orang merantau, pada akhrinya akan kembali ke kampung halaman juga. Membangun Pandeglang harus dilakukan dengan semangat keswadayaan, semangat kebersamaan, dan semangat kesadaran. Rasanya tidak berdosa jika punya impian untuk sukses di luar kota, namun ada baiknya tetap menjadikan Pandeglang sebagai halaman depannya.

Artinya, ke daerah manapun merantau, Pandeglang yang menjadi asal muasal mereka tidak hanya dikunjungi saat memasuki hari raya saja. Atau masuk pada usia pensiun dan purna sebagai manusia, lalu mereka pulang ke kampung, menjadi tetua di desa, dan dimakamkan di makam keluarga di desa.

Dalam orientasi berikutnya, memulangkan diri ke Pandeglang adalah dengan membangun kawasan perdesaannya, kawasan pariwisatanya, mensuburkan pertaniannya, membuat perkebunannya semakin produktif, meliterasikan cerita rakyatnya, melestraikan kebudayaannya, karena hal – hal itulah yang merupakan masa depan pembangunan Pandeglang.

Biodata singkat: Penulis adalah anak desa yang punya banyak mimpi. Saat ini belajar dan menjadi pembakti di Mathla'ul Anwar. Sesekali menulis di beberapa platform digital.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image