GURU DAN KOMITMEN TANPA BATAS SAAT PANDEMI
Eduaksi | 2021-09-23 20:39:10Pandemi lagi dan terus pandemi yang akan menjadi pembahasan kali ini. Sudah hampir dua tahun istilah ini melekat erat dalam pendengaran kita. Bukan hanya menjadi pembicaraan kelompok tertentu, tetapi hampir seluruh kalangan menjadikan kata â pandemiâ ini menjadi santapan sehari-hari. Awal munculnya kata ini dulu kita mendengarnya menganggap sebagai angin lalu. Setelah berjalan beberapa waktu telinga yang mendengar akan merasa ketakutan, dilanda situasi mencekam dan akhirnya hanya bisa pasrah berserah diri pada Sang Penguasa Kehidupan. Namun seiring berjalannya waktu, karena sudah terlalu sering mendengar, akhirnya keberadaan kata pandemi ini menjadi hal yang biasa. Tidak ada lagi perasaan khawatir yang berlebih karena sudah dianggap bukan momok yang menakutkan lagi meskipun kewaspadaan tetap ada.
Di dunia pendidikan dampak adanya pandemi sangat berpengaruh luar biasa. Kegiatan belajar mengajar yang harusnya dilakukan di lingkungan sekolah akhirnya harus dijalankan dengan sistem daring atau pembelajaran jarak jauh. Satu setengah tahun lebih anak-anak tidak merasakan bagaimana belajar di kelas dengan segala aktivitasnya, tidak kenal siapa teman sekelasnya, tidak hapal nama guru yang mengajarnya dan masih banyak lagi hal-hal yang seharusnya mereka alami di masa usia sekolah. Di sini peran seorang guru sangat besar pengaruhnya. Dalam pembelajaran normal, situasi di kelas lebih banyak peran siswa, guru sebagai motivator dan pengambil kesimpulan. Tetapi di saat pembelajaran daring, peran seorang guru sangat dominan karena keberadaan siswa yang sebagian besar tinggal di rumahnya masing-masing dengan kondisi geografis dan ekonomi yang berbeda membuat seorang guru harus bisa mengolah sistem pembelajaran dengan baik agar semua siswa bisa menerima materi yang diberikan. Guru dituntut untuk lebih kreatif, dan inovatif serta yang saat ini perlu adalah guru harus memiliki kesabaran ekstra agar semua kegiatan belajar mengajar bisa berjalan sebagaimana mestinya. Komitmen guru di masa pandemi memang dituntut lebih tinggi karena begitu banyak kendala yang dihadapi. Kendala dari anak didik, dari lingkungan, keluarga, atasan, teman sejawat bahkan dari diri sendiri. Memotivasi diri sendiri untuk menjadi lebih baik, memang membutuhkan perjuangan yang luar biasa. Bagi guru yang usia sudah setengah abad lebih, menjalankan pembelajaran daring tentu membutuhkan usaha yang tidak mudah. Kendala fisik seperti mata, kemampuan IT yang mulai menurun, menjadikan proses pembelajaran membutuhkan pengorbanan yang besar. Di sinilah komitmen yang tanpa batas perlu dimiliki seorang guru. Rasa memiliki, rasa cinta terhadap profesi akan membuat segalanya menjadi lebih mudah. Namun apa yang tersurat belum tentu sesuai dengan yang tersirat. Begitu banyak keluhan yang sering terdengar terutama dari kalangan guru BALITA (Batas Limapuluh Tahun) ke atas.
Selain dituntut terus aktif memberikan materi kepada siswa secara daring, tuntutan administrasi sekolah yang semakin banyak, belum lagi harus meng-upload laporan-laporan yang seperti tidak ada habisnya, sementara hak insentif selalu diberikan tidak tepat waktu dan masih banyak lagi hal-hal yang menjadikan semangat seorang guru kendor. Sebagai manusia biasa, seorang guru juga merasakan lelah, bosan, kecewa, dan sakit hati . Tapi kembali lagi pada komitmen yang sudah terpateri erat dalam jiwa, semangat untuk menjadikan anak bangsa menjadi lebih baik, membuat guru mampu bangkit dari keterpurukan tadi. Rasa lelah menjadi lillah, rasa bosan dijadikan cambukan, rasa kecewa harus mampu menjadi bahagia, dan sakit hati dianggap sebagai motivasi.
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Memang ungkapan itu tepat karena seberat apapun perjuangan seorang guru dalam mendidik anak-anak muridnya, tak kan ada tanda jasa yang disematkan dalam bajunya. Guru jaman dulu yang digugu dan ditiru, sekarang hanyalah sekedar mitos karena guru di masa milenia ini menjadi guru yang diguyu dan tidak ditiru. Anak jaman sekarang diberi kebebasan berekspresi, namun kebebasan itu akhirnya menjadi kebablasan. Murid menganggap guru seperti teman yang bisa diejek, dibully bahkan dihajar dan ujung-ujungnya orangtua ada yang tega melaporkan guru pada pihak berwajib. Begitu besar tantangan yang dihadapi seorang guru. Orangtua mempercayakan pendidikan anak-anaknya di sekolah. Tetapi disaat anak bandel, melawan kalau diingatkan, selama di sekolah, kenapa orangtua tidak terima? Bukankah seorang guru tidak akan mengajarkan hal-hal yang jelek kepada murid-muridnya? Mengapa orangtua marahnya kepada guru? Hal-hal seperti ini yang sering menjadi pertanyaan yang tak terjawab. Kembali lagi pada komitmen tanpa batas, pengabdian pada profesi, rasa keterlibatan, loyalitas yang ikhlas menjadikan cobaan seberat apapun lewat.
Di balik semua kepedihan yang dihadapi guru, banyak juga kebahagiaan, kebanggaan dan rasa syukur yang dialami. Bahagia dan bangga saat melihat anak didiknya berprestasi, bersyukur saat anak didiknya tidak pernah melupakan dirinya meskipun fisik sudah renta. Guru tak pernah berharap mendapat balasan disaat memberi ilmu pada murid. Bahkan guru selalu mendoakan agar anak-anak didiknya menjadi orang sukses. Inilah luar biasanya GURU, memberi yang tak berharap kembali, berbagi ilmu dengan ikhlas hati, memaafkan mesti sering diabaikan.
Terima kasihku kuucapkan,
pada guruku yang tulus,
ilmu yang berguna selalu dilimpahkan
untuk bekalku nanti, setiap hariku dibimbingnya
agar tumbuhlah bakatku
kan kuingat selalu nasehat guruku
terima kasihku ucapkan
Guru, kelak surga tempatmu. Aamiin.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.