Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image illian _

Akhir Pandemi dan Mula Kita Benahi Relasi

Lomba | Thursday, 23 Sep 2021, 19:46 WIB

Pandemi Covid-19 yang menghantam Indonesia sejak Maret 2020, nyatanya tidak hanya berpengaruh besar terhadap sektor kesehatan, ekonomi, dan pendidikan, tetapi juga pada kesehatan mental serta bagaimana manusia saling berhubungan secara sosial. Satu hal yang tentu pernah kita dengar, bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan interaksi dengan sesamanya. Dalam bukunya yang berjudul “Social”, Matthew Liebeman, seorang peneliti yang berkecimpung di bidang neuroscience, menyatakan bahwa kebutuhan manusia untuk menjalin hubungan ini bahkan sama pentingnya dengan kebutuhan mendapatkan makanan dan air.

Pemberlakuan pembatasan sosial sebagai bagian dari protokol kesehatan selama pandemi memang bertujuan untuk menghambat penyebaran Covid-19. Namun di sisi lain, ada efek samping dari perintah karantina di rumah, keharusan menjaga jarak 1,8 meter, serta selalu mengenakan masker kemana pun kita pergi. Interaksi antara satu sama lain jadi terhambat dan saat berkomunikasi, kita pun tidak bisa melihat ekspresi masing-masing. Selain itu, kita tak bisa leluasa berjabat tangan, memeluk, atau memberi bentuk sentuhan yang lain. Padahal, dilansir dari HealthLine, kontak fisik ini diperlukan untuk menjaga kesehatan mental dan emosional karena mampu mengurangi hormon kortisol akibat stres.

Tekanan eksternal akibat kehilangan pekerjaan dan mengalami permasalahan finansial, sayangnya akan dirasakan berkali-kali lipat lebih berat jika harus dihadapi sendiri, atau dalam kondisi terpisah dari orang lain. Menurut ahli psikologi, rasa kesepian berkorelasi dengan data peningkatan kasus bunuh diri di Indonesia selama pandemi Covid-19 mendera. Banyak orang menanggung beban yang begitu berat sehingga tak mampu melihat jalan lain selain mengakhiri hidupnya. Tentunya, permasalahan ini tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang sepele dan harus segera mendapatkan solusi. Tak hanya ekonomi, aspek kesehatan mental dari tiap-tiap individu di negara ini pun juga harus dibenahi.

Andai pandemi pergi, saya berharap tidak ada lagi yang memberikan stigma negatif terhadap orang yang mengalami gangguan kesehatan mental, baik itu depresi, kecemasan, pikiran bunuh diri, dan lain-lain. Sudah saatnya kita bangkit dan bergandengan tangan, memberikan dukungan bagi mereka yang membutuhkan akses layanan kesehatan mental. Kita harus menormalisasi orang yang pergi menemui psikolog untuk melakukan terapi, alih-alih memberikan cap ‘gila’, ‘lemah’, atau ‘berlebihan’. Sebab hidup ini sudah terasa berat bagi beberapa orang, dan pandemi Covid-19 kian menambah babak belur secara mental. Akan lebih baik jika kita memanfaatkan momen ini untuk belajar menempatkan diri di posisi orang lain dan mengasah empati, bukan?

Andai pandemi pergi, saya berharap masing-masing dari kita memperbaiki cara berelasi dengan sesama. Mari kita ingat, apakah kita sudah baik saat berkomunikasi dengan orang lain sebelum pandemi? Pada kenyataannya, kita lebih sering sibuk dengan gawai masing-masing saat berkumpul dengan keluarga, kawan-kawan, kekasih, atau orang asing sekalipun. Kita tak menatap mata lawan bicara, tak sungguh-sungguh mendengarkan dan memahami. Seringkali kita duduk berdampingan, namun pikiran melayang-layang entah kemana. Kita tak pernah benar-benar ada untuk sesama. Kini, setelah pembatasan sosial yang menyiksa, bukankah kita ingin melepas rindu dan saling menjalin hubungan dengan cara yang lebih baik?

Kesepian, sesungguhnya telah menjadi pandemi global yang tidak pernah disadari sebelum Covid-19. Di era teknologi internet yang pesat, kita seolah-olah saling terhubung dengan semua orang dan segala hal, namun kenyataannya kita justru hidup dalam gelembung-gelembung dunia yang sepi sendiri. Pandemi ini seharusnya menyadarkan bahwa kita membutuhkan hubungan yang lebih nyata dengan sesama. Jika ada kesempatan untuk kembali bertemu dengan orang-orang yang kita cintai, sudah seharusnya kita memberikan seluruh energi dan atensi tanpa dibagi-bagi. Dengarkan jika orang terdekat kita sedang mencurahkan isi di hatinya tanpa menyela. Validasi perasaan-perasaannya. Tak harus memberikan solusi permasalahan, sebab merasa didengar dan dipahami saja sudah mengurangi bebannya. Demikian pula sebaliknya, jangan takut untuk berbagi keluh kesah kepada seseorang yang kita percayai jika kita menghadapi masalah yang dirasa terlalu berat.

Sense of togetherness. Kita hadir untuk sesama, menghadapi pandemi dan bangkit pun, bersama-sama.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image