Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Achmad Zunaidi

STORYTELLING DAN TRANSFORMASI DIGITAL

Eduaksi | Saturday, 18 Sep 2021, 20:23 WIB

Perebutan mencuri perhatian menjadi urusan penting bagi individu dan organisasi di masa pandemi Covid-19 dan setelahnya. Menurut Indonesian Digital Report 2020, arenanya berada di lima platform aplikasi digital media sosial (Medsos): YouTube, whatsapp, Facebook, Instagram, dan twitter. Di belakang fenomena tersebut, jelas ada storytelling.

Kata ‘transformasi digital’ sering dikaitkan dengan fenomena meluasnya penggunaan internet dan teknologi digital, termasuk Medsos. Ibarat tanaman, kondisi masa pandemi Covid-19 adalah lahan subur penetrasi penggunaan teknologi digital. Karena, hampir semua aktivitas mengharuskan dilakukan secara daring: jual-beli, bertukar kabar berita, aktualisasi diri, sekolah, rapat, sosialisasi, seminar, bahkan ibadah.

Sebagai bukti, pengguna internet di Indonesia sebesar 73,7 persen atau 196,71 juta orang dari 266,91 juta populasi (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, 2020). Data dicatat tahun 2020 quartal II, awal Covid-19 ditetapkan sebagai pandemi di Indonesia. Dan Medsos mendominasi penggunaan internet di Indonesia, hampir 90 persen (Hermawansyah & Pratama, 2021). Saat pandemi dan setelahnya, jumlah pengguna internet dipastikan semakin meningkat dengan model bekerja Work from home (WFH) dan conference yang memunculkan platform baru.

Untuk mendukung transformasi digital, masyarakat perlu dibekali kemampuan, seperti storytelling. Bukan sekadar fasih menyebutkan frase transformasi digital, masyarakat wajib memahaminya dan sekaligus diberdayakan untuk berperan sesuai kemampuannya.

Transformasi Digital dan Peran Pemerintah

Transformasi digital merupakan proses penggunaan teknologi digital untuk menciptakan hal baru atau memodifikasi proses bisnis, budaya, dan pengalaman pelanggan dalam rangka memenuhi perubahan model bisnis dan kebutuhan pasar (Republika 17/03/2021). Model dan proses bisnis serta budaya (organisasi) menjadi urusan internal organisasi. Sementara, pengalaman pelanggan terjadi di luar organisasi yang mencakup bagaimana mereka diperlakukan dalam menggunakan produk. Di sinilah storytelling mengambil peran: mengisi konten soal pengalaman yang menarik pelanggan secara emosional.

Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mewadahi transformasi digital dalam Program Konektivitas Digital. Program tersebut bertujuan agar seluruh pelosok nusantara dapat dihubungkan secara digital melalui tol langit. Wujud nyata program berupa penyediaan kapasitas satelit multifungsi pemerintah SATRIA, pembangunan menara-menara BTS, program digital talent scholarship, dan gerakan nasional literasi digital (Republika 26/02/2021). Secara umum, bentuk literasi digital mencakup keamanan digital, keterampilan digital, etika digital, dan budaya digital.

Entah karena masalah pemberitaan atau sebab lain, setahun sebelumnya, progres Program Konektivitas Digital sempat dipertanyakan oleh mahasiswa (Republika 14/05/2020). Namun menurut penulis, keduanya benar tetapi berbeda cara melihat hasil program.

Pemerintah melihatnya dari sisi pencapaian fisik (output). Palapa ring, menara BTS, sosialisasi literasi digital telah dikerjakan pemerintah. Dari sudut pandang ini, program sudan on track.

Sementara itu, mahasiswa melihat dari sudut dampak bagi masyarakat (outcome). Perubahan signifikan memang belum terjadi di masyarakat setelah program dijalankan. Jelas belum terjadi perubahan apa-apa, karena provider belum menggunakan infrastruktur tersebut. Dan mahasiswa melihat fakta ini: signal masih sulit bahkan tidak ada sama sekali di daerah tertentu.

Menyambut Transformasi Digital

Dalam Program Konektivitas Digital, pemerintah telah mengupayakan kesiapan sumber daya melalui literasi digital tetapi jangkauan dan kesinambungan masih dipertanyakan, apalagi dampaknya. Sebenarnya, ada aspek lebih praktis yang dilupakan: bagaimana memberdayakan dan mengarahkan masyarakat agar mendapat manfaat sebagai individu maupun organisasi.

Sebagai contoh, kasus progres Program Transformasi Digital karena ketiadaan unsur storytelling. Berita pemerintah yang bekerja keras terkubur di lautan informasi Medsos. Mungkin beritanya muncul tetapi tidak mampu menarik perhatian masyarakat (sebagai pelanggan). Hal inilah yang membentuk opini mahasiswa: pemerintah kurang serius.

Penulis The Story of Gondes, Nursodik Gunarjo menyatakan storytelling bagus bukan mengungkapkan hal-hal hebat tetapi mengungkapkan sesuatu secara hebat. Intinya bukan sekadar kata-kata tetapi penggalian informasi di balik sesuatu yang menjadikannya tersambung secara emosial dengan penerima pesan.

Konten dalam platform digital adalah bagian penting dalam transformasi digital, baik sebagai pengirim pesan maupun sebagai produk itu sendiri. Karena kedudukannya, kemampuan storytelling dibutuhkan oleh individu dan organisasi (swasta dan publik). Bagi individu, kebutuhan dalam relasi sosial maupun aktualisasi diri (narsisisme) terpenuhi. Bagi organisasi, brand organisasi menjadi lebih dikenal dan persepsi pelanggan terkait produk bagus terbentuk. Namun harus dipahami, konten-konten tersebut didasari oleh adanya produk yang terbukti memberi manfaat kepada pelanggan.

Keberadaan storytelling jelas memberi dampak. Misal, storytelling atau narasi yang baik merupakan nilai tambah dalam pengalaman berwisata karena dapat menghidupkan suasana saat wisatawan berkunjung ke suatu destinasi wisata (Republika 12/06/2021). Menurut Wawan Russiawan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, kelemahan produk Indonesia belum didukung oleh desain yang menarik dan narasi yang kuat. Padahal dua aspek tersebut berperan penting untuk menarik konsumen dan berakhir adanya transaksi pembelian produk (Republika 31/08/2020).

Kemampuan storytelling sudah ada di masyarakat. Agar sejalan dengan arah transformasi digital, pemerintah tinggal mendorong, memberdayakan, dan mengarahkan kemampuan tersebut setelah pandemi usai.

#LombaMenulisOpini

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image